Bagaimana umat Islam seharusnya merefleksikan komunitas Islam?
Menurut Prof. Kuntowijoyo (2018) dalam Identitas Politik Umat Islam, awalnya, Al-Qur'an dan contoh konkret Rasul adalah upaya individu Muslim untuk menghayati (internalisasi) dan mengekspresikan (eksternalisasi) pada sebuah komunitas. Banyak Muslim yang menganggap bahwa agama adalah urusan perorangan, dalam penghayatan dan pelaksanaan. Ada pelaksanaan bersama, tetapi bersifat cair dan tidak mengental. Ada pula orang yang perlu mengerti perlunya Islam menjadi sebuah komunitas, tetapi segan untuk menyatakan identitas politiknya atau tidak sampai hati menyinggung teman-teman sebangsanya. Oleh karena itu berarti politisasi agama. Ada keseganan tertentu akan "Islam politik".
Internalisasi
Syariah; akhlak; sufisme; pembentukan individu
Syariah adalah pengakuan penuh kepada sumber syariah, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Pengakuan bahwa Al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber syariah itu adalah akibat dari kesaksian bahwa "Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya". Syariah diantaranya memuat rukun Islam yang terdiri lima rukun: syahadat; salat; zakat; puasa; dan haji. Melaksanakan kelimanya artinya individu telah menjadi seorang Muslim. Untuk menjadi Muslim yang baik dituntut lebih dari pelaksanaan kelima rukun itu. Pengertian syariah sebenarnya lebih daripada rukun Islam.
Epistemologi relasional menuntut orang untuk berpikir holistik, keseluruhan, tidak per bagian. Semua itu diikat oleh Tauhid, seperti sapu lidi yang diikat oleh sebuah tali pada pegangannya.
Akhlak/moral dan etika adalah inti dari agama rasul mengatakan bahwa Dia diutus tidak lain untuk memperbaiki akhlak. Fazlur Rahman Anshari mengatakan bahwa konsepsi masyarakat Islam modernmenyebutkan perlunya "Peniruan etika Tuhan" sebagai dasar bagi perbaikan moral manusia. Ia menyebutkan lima etika ketuhanan sebagai landasan moral manusia yaitu: rahman (pengasih), barr (pemulia), ghaffar (pemaaf), rahim (penyayang) dan ihsan (berbuat baik).
Definisi kepentingan politik umat Islam harus berupa suatu realitas yang objektif, yang dengan mudah dikenal, supaya jelas bagi diri sendiri dan bagi orang lain.
Sufisme atau usaha untuk selalu mendekatkan diri pada Tuhan (taqarrub) barangkali keberadaannya dalam politik dianggap sebagai sebuah kontradiksi. Tetapi, kenyataannya mungkin banyak orang sufi akan direkrut dalam politik. Setidaknya dengan vote gather. Partai politik jelas senang dengan golongan ini, sebab sebenarnya mereka dianggap tidak tahu menahu soal politik, sehingga urusan "dunia" akan lebih banyak diserahkan pada politisi.
Individu Islam dalam masa kini, dituntut untuk lebih arif, terutama kalau Ia menjadi panutan umat. Semua orang dituntut menjadi Islam secara kaffah yang artinya menyeluruh, sepenuhnya, komplit dan total dalam internaslisasi agama. Kalau kebetulan Ia seorang ulama, maka Ia harus mampu menjadi examplary center bagi orang lain, sebab Ia juga ahli waris Nabi.
Eksternalisasi