Mohon tunggu...
Kanya Saraswati
Kanya Saraswati Mohon Tunggu... -

Fresh graduate, Bachelor of Communication

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

To Be None Jakarta Or Not To Be...

24 Februari 2013   09:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:47 1492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


“Waduh gue tuh nggak none banget!!”

Pernyataan ini mungkin adalah salah satu yang paling sering saya dengar ketika menawarkan seseorang untuk mengikuti ajang Abang None Jakarta, khususnya wilayah Selatan yang telah menjadi keluarga saya mulai tahun lalu.

Kata-kata tersebut kemudian diiringi dengan embel-embel seperti, “gue kan nggak cantik”, “gue kan pendek”, “gue orangnya tomboy banget…” dan sederet alasan, dari mulai sepele sampai masuk akal, kemudian sering juga ditutup dengan: “pokoknya gue sih gak ikutan yang pageant-pageant kayak gitu”.

Komentar-komentar tersebut mengingatkan saya akan tahun lalu, ketika saya mendapat ajakan untuk mendaftar menjadi Abang None Jakarta Selatan 2012. Pemikiran saya waktu itu sama. None Jakarta pastinya cantik, tinggi, putih, pintar. Belum lagi anggun, selalu berkata-kata baik, bahkan hal-hal seperti cara berjalan, cara duduk, cara berdiri pastilah harus sempurna. Bayangkan saja Miss Universe dalam balutan kebaya Betawi dan kerudung.

Di satu sisi, saya merasa tidak percaya diri membayangkan harus bergabung dengan barisan wanita-wanita cantik tinggi semampai yang pintar dan luwes.

Di sisi lain, saya juga mempunyai sebuah sudut pandang. Mungkin orang-orang pun sudah mengenal stigma yang melekat dalam kontes kecantikan, tak terkecuali pada Abang None Jakarta. Bagaimanapun kontes kecantikan memang diawali dengan fisik dan diakhiri dengan fisik, sampai ada asumsi bahwa wanita-wanita alumni kontes kecantikan hanya bisa melambaikan tangan sambil senyam-senyum manis. Pertanyaan dewan juri tentang pengetahuan umum hanyalah hiasan, formalitas. Belum lagi drama sikut-sikutan dibalik gemerlap panggung final.

Bahkan dengan pikiran negatif seperti itu, saya tetap maju mengikuti seleksi Abang None Jakarta Selatan tahun 2012 lalu. Entah bagaimana, saya akhirnya dapat tembus menjadi Finalis Abang None Jakarta Selatan 2012 yang kemudian juga menempatkan saya sebagai bagian dari keluarga Abnon Selatan ini. Jujur, None-None Jakarta Selatan ini jauh berbeda dari apa yang saya bayangkan.

Ada si tomboy yang suka bermain basket, tidak suka belanja baju, dan kadang kelewat malas untuk melakukan apapun selain duduk di depan komputernya.

Ada juga si jenius yang, entah kenapa suka sekali bengong di dunia nyata, sehingga kadang ia tak menangkap isi pembicaraan walaupun performa di kampusnya lebih baik dari yang baik sekalipun.

Ada lagi si hijab yang ternyata sangat urban dan berdarah dingin. Sifatnya yang sangat berani dan ceplas ceplos bertentangan dengan apa yang seseorang pikirkan ketika mereka melihat hijabi.

Ada si cantik yang terlihat pendiam, kemayu, tetapi bekerja ini-itu, naik turun bus kota dan kereta tiap hari. Ditambah lagi, wanita ini adalah seorang bendahara yang sangat ketat, sehingga hampir pelit.

Awalnya, saya terkejut dengan kumpulan wanita-wanita yang jauh dari kesan kontes kecantikan ini. Tapi kemudian saya heran dengan diri saya sendiri. Mengapa harus terkejut dengan pilihan-pilihan yang kesannya “ajaib” tersebut? Toh saya sendiri adalah seorang yang jauh dari apa yang menjadi stigma seorang kontestan pageant. Saya canggung, tidak ramah, tidak suka dandan, dan kadang keras kepala.

Lalu, sebenarnya siapakah yang pantas menjadi seorang None?

Jujur saja, menurut saya kecantikan dapat dipoles dengan kosmetik. Tinggi badan dapat diakali dengan hak sepatu. Pengetahuan dan cara bicara dapat diolah dan ditambah melalui pembelajaran. Cara berjalan, duduk, berdiri, makan, semua dapat dilatih dan diperbaiki. Lebih dari fisik dan keterampilan, banyak faktor yang harus lebih disiapkan untuk menjadi seorang None.

Dari pengalaman saya (yang sukses menjadi finalis walaupun tidak sukses menjadi wakil Selatan di tingkat provinsi), hal yang malah harus diutamakan adalah kesiapan hati untuk pelatihan yang keras. Buka pikiran untuk sebuah pengalaman baru dan lalui semuanya dengan ikhlas. Jangan kaget jika banyak pelajaran disiplin yang membutuhkan ketahanan mental di dalam pelatihan nanti.

Jangan pernah berpikir sekalipun bahwa Abang None dapat dilalui sendirian. Dalam Abang None, siapapun takkan dapat melaju tanpa membantu satu sama lain. Bagi para None, ada para Abang yang siap membantu. None pun tak lupa mendukung Abangnya masing-masing. Belum lagi hubungan sesama Abang dan None lainnya. Bergabung dengan Abang None, baik dari wilayah Selatan maupun yang lainnya, berarti bergabung dengan sebuah keluarga besar, dan semua yang mementingkan ego diri akan tergilas dengan sendirinya.

Yang terakhir dan paling penting adalah langkah pertama. Mungkin bagi beberapa orang, mengikuti kompetisi seperti Abang None adalah ide yang gila. Hanya saja, kadang kita tak pernah tahu bahwa ide gila tersebut dapat memberikan banyak manfaat dan pengalaman, lebih banyak dari sekedar pemanis Curriculum Vitae.

Jika tidak dicoba, tidak akan tahu, kan?

Kanya Saraswati

Ps: Saya hanya menulis dari sudut pandang seorang None, karena saya belum (dan sepertinya tidak akan pernah) menjadi Abang. Cheers!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun