Mohon tunggu...
Kanwil Ditjenpas Maluku
Kanwil Ditjenpas Maluku Mohon Tunggu... Editor - Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Maluku

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesadaran kolektif dalam penerapan Restorative Justice

24 Januari 2025   08:47 Diperbarui: 24 Januari 2025   08:47 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keadilan Restoratif (Restoratife justice) adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Restorative Justice saat ini sudah berlaku bagi Anak yang Berkonflik dengan Hukum (Anak Pelaku) lewat proses diversi dan Restorative Justice bagi pelaku dewasa secara umum masih dalam penyusunan draft aturannya. 

Perlu kita tahu bahwa pertimbangan sosiologis dan yuridis menjadi andil dalam perubahan regulasi aturan bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum terlebih khusus Anak Pelaku. Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak lahir sebagai jawaban dengan menitikberatkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan dan memberikan perlindungan khusus kepada Anak Pelaku. Restorative Justice bagi Anak Pelaku saat ini pun masih belum optimal. Dibutuhkan persiapan hingga pengawasan yang ekstra. 

Menurut penulis ada beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penerapan Restorative Justice. Pertama, belum adanya koordinasi dan kerjasama (MOU) antar lembaga untuk bisa menampung anak ketika Restorative Justice melalui proses diversi telah berhasil melahirkan kesepakatan. Rekomendasi dalam Laporan Peneitian Kemasyarakatan (Litmas) masih terus menerus bertumpu pada satu hasil kesepakatan diversi saja. Sehingga,  dengan tidak adanya koordinasi dan kerjasama (MOU) antar lembaga pendidikan atau pelatihan akan mengurangi alternatif pilihan kesepakatan diversi sesuai pasal 11 UU SPPA. Akibatnya para pihak yang berperkara akan memilik untuk melanjutkan proses peradilan pidana hingga jalur persidangan yang berpotensi anak pelaku dapat masuk ke Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Jika lembaga pendidikan dan pelatihan telah tersedia maka harus tersedia pula petugas yang kompeten dan memiliki program pembinaan untuk dapat memberikan pelayanan yang terarah dan terukur bagi Anak pelaku.

Kedua, aparat penegak hukum harus mengerti dan sepaham tentang penerapan Restoratife Justice. Seyogyanya, yang harus menangani perkara anak adalah aparat penegak hukum yang telah mengkuti pelatihan khusus terkait penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) dan bersertifikat. Namun nyatanya, banyak aparat penegak hukum baik itu penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim tidak memiliki pengetahuan yang mendasar terkait penanganan ABH sehingga sering terjadi tumpang tindih tugas, adanya ego sektoral dari masing-masing aparat penegak hukum dan juga terkait persiapan, pelaksaan pelaporan yang tidak sesuai aturan.

Ketiga, regulasi penempatan aparat penegak hukum yang telah mengikuti pelatihan khusus penaganan ABH tidak sesuai dengan kebutuhan pemenuhan pelaksaan sistem peradilan pidana anak sehingga terjadi kekosongan keahlian bagi aparat penegak hukum dalam menangani ABH terlebih khusus Anak pelaku

Keempat, tokoh agama, tokoh masyarakat serta keluarga tidak mengerti tentang Restoratife Justice. Ketika UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA dan PP Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi diundangkan maka pemerintah berkewajiban untuk mengsosialisasikan aturan ini kepada masyarakat. Keberhasilan Restoratife Justice bukan bertumpuh saja pada aparat penegak hukum semata tapi masyarakat dalam hal ini tokoh agama, keluarga dan tokoh masyarakat juga bertanggung jawab dalam pengulangan tindak pidana anak serta pemulihannya.

Menurt penulis harus ada kesadaran kolektif dalam pelaksanaan Restorative Justice. Polisi, jaksa, hakim, peksos, PK, tokoh agama, tokoh masyarakat, mempuyai andil yang tidak bisa disepelekan dan harus sepahaman dalam penanganan anak. Keberhasilan bertumpu pada proses dan akhir (pembinaan) yang tepat sasaran bagi anak. Ketika anak kembali melakukan pengulangan tindak pidana bisa dikatakan kita gagal menjalankan peran kita masing-masing. 

Bagaimana dengan Restorative Justice bagi dewasa? Apakah sebagai momentum pembaharuan hukum pidana semata?. Ini adalah pertanyaan besar para pemangku kebijakan untuk dapat membuat aturan yang dapat mengsinergikan berbagai pihak yang bertanggung jawab dalam penanganan perkara dewasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun