Mohon tunggu...
Kanti W. Janis
Kanti W. Janis Mohon Tunggu... -

Seorang penulis cerita yang sering menyanyi, melukis, dan bermain alat musik, bisa juga menjadi konsultan hukum karena dulu sekolah hukum dan tercatat sebagai advokat PERADI. Hobi memasak dan jalan-jalan. Buku karya Kanti W. Janis:\r\n1. Saraswati - AKOER (2006)\r\n2. Frans dan Sang Balerina - GPU (2010)\r\n3. Amplop Merah Muda Untuk Pak Pos - Optimist Plus (2010)\r\n\r\ntwitter @kantiwjanis\r\nwebsite : kantiwjanis.com, civismofoundation.org, optimist-plus.com, rja-lawfirm.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Harga Mahal Sebuah Kebebasan Berpendapat

24 April 2012   19:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:09 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kanti W. Janis, novelis, Jakarta

Dalam rangka menulis sebuah cerpen, secara setengah sengaja saya mencari-cari data tentang tragedi Semanggi, yang terjadi pada pertengahan ‘98. Akhirnya pencarian itu membawa saya pada kisah perjuangan Bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari kungkungan Orde Baru mulai dari kasus 27 Juli. Sebuah perjuangan keras untuk kebebasan berpendapat. Dan perjuangan itu ternyata sangat menyakitkan, berdarah-darah, menyayat hati, memakan nyawa juga harga diri.

Waktu tahun 1998 saya masih SMP, dan saya sudah ingat betul apa yang terjadi. Kami satu keluarga besar demi keamanan bersama akhirnya memilih untuk tinggal di dalam satu rumah, yaitu di rumah nenek untuk sementara waktu.

Waktu itu saya masih polos, belum mengerti banyak. Keadaan yang sebenarnya mencekam malah saya nikmati. Pada periode itu sekolah sering diliburkan atau dipulangkan lebih cepat. Masa itu saya jadi sering menginap rame-rame bareng sepupu-sepupu di rumah nenek.

Kemudian saat Soeharto diumumkan mengundurkan diri pada 21 Mei, saya pun dengan riang gembira ikut-ikutan turun ke jalan,masih dengan pakaian tidur,dan alas kaki seketemunya. Saya masih ingat jalan kaki di jalan tol Taman Ria Senayan yang tepat berada di depan Gedung MPR/DPR bersama ribuan orang. Kemudian besoknya di sekolah guru-guru dan teman-teman heboh bilang lihat saya ikutan demo, ah, rupanya wajah saya tertangkap kamera TV!

Akibat Tragedi Semanggi dan lengsernya Soeharto kata reformasi tiba-tiba menjadi populer. Sebelumnya kata itu hampir tidak dikenal. Orang-orang yang dulu ngga berani ngomong apa-apa mulai jumawa macam-macam. Pokoknya reformasi katanya. Segala perubahan entah baik atau buruk semuanya masuk ke dalam kategori reformasi. Lalu muncul juga para reformis kesiangan. Tapi yang membuat saya paling tidak habis berpikir adalah orang-orang yang memanfaatkan situasi. Dengan kejamnya mereka menyebarkan isu SARA, sehingga terjadi chaos besar-besar. Penjarahan di mana-mana, pemerkosaan, pembunuhan....

Waktu itu saya tahu kondisi Indonesia sedang buruk, tapi saya ngga ngeh kalau kondisinya benar-benar mengenaskan. Saya baru benar-benar sadar bahwa harga kebebasan berpendapat itu begitu mahal beberapa saat kemudian, terutama saat saya mendengar berita tentang teman kakak yang jadi korban kerusuhan. Dia tewas di lalap api karena terjebak kebakaran di rumahnya, ngilu dengarnya. Pergi ke sekolah juga ngga sama lagi. Kebetulan saya bersekolah di sekolah Katolik dengan mayoritas murid keturunan Tionghoa, hingga banyak sekali dari mereka yang pindah keluar negeri, begitu juga dengan sahabat saya.

Selain itu saya dengar si ini jadi korban pemerkosaan, si itu anaknya meninggal, atau si itu rumahnya dibakar ludes, dan kerabat dekat kami Elang Mulya juga tewas akibat kebrutalan peluru tentara...Betapa mahalnya....

Sekarang kita sudah bisa begitu bebas berpendapat, bersuara, berbagai fasilitas mendukung kita untuk mengungkapkan pendapat; seperti fasilitas blog yang tersedia kapan saja, gratis. Kita bisa memperbaharui status seenaknya lewat twitter, sedikit punya pendapat langsung kita unggah ke twitter atau facebook. Mau menggalang partisipan untuk membela Prita Mulyasari tinggal lewat Facebook. Mau mendukung Ariel tinggal bikin fans page. Dulu mau nulis hal-hal yang berbau politik sedikit mesti mikir ribuan kali.

Sekarang orang bisa menggalang massa demo ribuan orang untuk protes kelakuan pemerintah cuma lewat Facebook, semuanya dapat dilakukan hanya dalam hitungan menit. Karena itu rasanya miris sekali kalau harga yang mahal itu sekarang hanya dihambur-hamburkan untuk menjelekan orang, atau lebih parahnya, memfitnah. Sekarang masyarakat kita daripada bicara kebenaran lebih banyak menghujat. Coba buka situs-situs yang menyediakan kolom untuk meninggalkan komentar, bisa dipastikan mayoritas isinya hujatan. Berita-berita di media juga isinya hanya saling memanas-manasi, segala cara ditempuh demi meraih rating tinggi.

Cita-cita saya menuliskan ini hanya ingin mengingatkan bahwa, betapa mahalnya harga sebuah kebebasan berpendapat yang telah kita peroleh sekarang. Karena itu jangan sia-siakan, berpendapatlah dengan baik, jangan saling tuding atau menghujat. Yang paling penting berpendapatlah untuk kebenaran!

Catatan:

1.  Kalau mau mengingat-ingat kembali (berhubungan kita orang Indonesia cepet lupa) perjuangan menuju kebebasan berpendapat, silahkan cek;http://www.semanggipeduli.com/

2. Tulisan ini pernah dimuat di media online indomovement.com

3. Ditulis tahun 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun