Dari tabel diatas, terlihat bahwa pada tahun 2015, secara nominal, memang terjadi peningkatan utang luar negeri. Namun, satu hal yang harus dicermati adalah komposisi utang dan perbandingannya dengan devisa yang dimiliki. Pada tahun 1998, utang jangka pendek berkontribusi terhadap lebih dari sepertiga utang LN Indonesia. Hal ini dibarengi dengan cadangan devisa yang tidak memadai untuk melunasi utang jangka pendek. Akibatnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Rupiah mengalami pelemahan yang signifikan dan memicu terjadinya krisis.
Sedangkan pada tahun 2015, dapat dilihat bahwa utang jangka pendek memegang porsi yang lebih sedikit terhadap keseluruhan utang. Kecilnya porsi utang jangka pendek akan memberikan ruang lebih bagi negara untuk mengatur pembiayaan utang. Selain itu, perekonomian Indonesia dalam waktu dekat ini dapat dikatakan stabil karena cadangan devisa masih lebih besar daripada utang yang akan jatuh tempo (lebih dari 2 kali ULN jangka pendek).
Selain dari perbedaan komposisi utang LN, alasan mengapa pelemahan Rupiah saat ini belum tentu menggambarkan potensi krisis adalah kondisi nonfundamental perekonomian Indonesia. Ada dua faktor nonfundamental yang juga berpengaruh pada terjadinya pelemahan Rupiah. Kedua faktor tersebut adalah perekonomian Amerika Serikat (AS) yang mulai pulih dan tindakan pemerintah China yang mendevaluasi mata uangnya – Yuan –.
Pertama adalah pulihnya perekonomian AS dari krisis tahun 2008. Pada awalnya, subprime mortgage crisis tahun 2008 menyebabkan arus modal mengalir keluar dari AS. Akan tetapi, pulihnya perekonomian AS menyebabkan kembalinya arus modal dari negara-negara berkembang ke AS. Akibatnya, permintaan dollar AS mengalami peningkatan dan kurs US$ menguat terhadap mata uang lainnya, termasuk Rupiah. Oleh karena itu, “sebagian” dari pelemahan nilai Rupiah dapat dikatakan berasal dari pergerakan Rupiah ke nilai wajarnya.
Kedua adalah devaluasi yuan. Devaluasi yuan dilakukan pemerintah China untuk memacu kembali perekonomian negaranya yang mulai melambat, mengingat –salah satu indikatornya – ekspor China terus mengalami penurunan sejak awal tahun 2015 . Devaluasi yuan memang menyebabkan harga barang-barang dari China lebih murah, sehingga barang yang diekspor menjadi lebih kompetitif di pasar global.
Bagi negara yang aktif melakukan perdagangan dengan China, pelemahan yuan akan “memudahkan” mereka untuk mengimpor dari China. Peningkatan impor tentu harus dibarengi dengan penambahan valuta asing. Penambahan (permintaan) valuta asing inilah yang pada akhirnya menyebabkan pelemahan mata uang negara-negara non-China, termasuk Indonesia.
Data Pelemahan Valuta Asing (Perbandingan dengan pelemahan Yuan)
Dari faktor-faktor yang memengaruhi pergerakan Rupiah, terlihat bahwa faktor tersebut merupakan hal yang lebih bersifat sementara dan tidak hanya mempengaruhi Indonesia. Oleh karena itu, sebenarnya tidak perlu kepanikan yang berlebihan diantara masyarakat, apalagi mengkhawatirkan adanya kemungkinan krisis. Potensi krisis memang selalu ada, namun dengan tindakan pencegahan dan kebijakan yang tepat, seperti upaya penguatan fundamental ekonomi dan peningkatan daya beli, maka ‘stabil’ akan menjadi kata yang akrab dengan kondisi perekonomian Indonesia.