Awalnya, pemerintah berharap kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% dapat meningkatkan pendapatan negara. Namun, dalam situasi saat ini, kebijakan ini berisiko memberikan lebih banyak beban daripada manfaat. Kelas menengah, yang menjadi konsumen utama dan penggerak ekonomi Indonesia, sedang mengalami tekanan akibat penurunan daya beli. Sebuah studi yang dilakukan oleh Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas, menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 8,5 juta jiwa yang turun dari kelas menengah. Dari studi tersebut juga ditemukan, porsi populasi rentan meningkat dan kelas menengah menyusut. Hal ini membuktikan bahwa daya beli masyarakat semakin berkurang (Rezki et al., 2024).
Disisi lain, situasi perekonomian nasional juga berada dalam kondisi yang lesu. Hal ini didukung dengan selama tahun 2024, Indonesia mengalami deflasi selama 5 bulan beruntun (Tim CNN Indonesia). Pengenaan pajak yang lebih tinggi dalam situasi ekonomi yang lemah berpotensi menjadi kontraproduktif terhadap tujuan awal kebijakan ini.Â
Situasi kontraproduktif ini sejalan dengan teori yang dijelaskan oleh ekonom Amerika Serikat, yaitu Arthur Laffer yang memperkenalkan konsep Kurva Laffer. Kurva ini menggambarkan hubungan antara tingkat pajak dan penerimaan pajak pemerintah. Teori tersebut menjelaskan bahwa dari tingkat pajak nol seperti yang ada di grafik 1 hingga ke titik tertentu, setiap kenaikan tarif pajak akan memberikan pendapatan lebih untuk negara. Namun, pada titik tertentu atau T3, ketika tingkat pajak menjadi cukup tinggi, peningkatan lebih lanjut dalam tingkat pajak justru akan menurunkan penerimaan pajak (Britannica, 2024). Implikasi dari Kurva Laffer adalah tidak semua kenaikan pajak bisa meningkatkan penerimaan negara. Dalam situasi Indonesia, apabila pemerintah tetap bersikeras untuk menaikkan PPN disaat daya beli lemah, penerimaan pajak berpotensi stagnan atau malah berkurang. Hal ini karena pembeli merasa tidak ada insentif untuk mengonsumsi barang.
Selain kebijakan pajak itu sendiri, pengelolaan pajak oleh pemerintah juga menjadi persoalan penting. Salah satu masalah yang terus menggerogoti bumi pertiwi sejak kemerdekaan hingga sekarang adalah budaya korupsi. Bukti bahwa penyakit ini masih menggerogoti negeri dapat dilihat dari skor Corruption Perceptions Index (CPI). Berdasarkan data Transparency International, Indonesia memiliki skor sebesar 34 pada indeks ini. Skor tersebut jauh dari angka sempurna, yaitu 100. Skor 100 mencerminkan negara bebas korupsi. Hasil skor Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam membersihkan institusi dari praktik korupsi.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga, skor Indonesia tergolong rendah. Malaysia, misalnya, memperoleh skor 50, sementara Timor Leste, negara yang pernah menjadi bagian dari Indonesia, mendapatkan skor 43. Skor 34 ini mencerminkan bahwa institusi di Indonesia masih diwarnai oleh praktik korupsi, ketidakjelasan aturan bisnis, dan pengelolaan anggaran yang tidak efisien. Hal ini menegaskan perlunya reformasi yang lebih serius dan komprehensif dalam tata kelola pemerintahan dan pengelolaan pajak untuk menciptakan institusi yang bersih dan efisien.
Penekanan isu institusi dalam mengelola pendapatan negara merupakan isu sangat penting. Apabila institusi tersebut korup dan tidak efisien, proses distribusi kekayaan akan terganggu dan membuat jurang antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Institusi ekonomi tidak hanya menentukan potensi pertumbuhan ekonomi agregat suatu perekonomian dan ukuran "kue" ekonomi secara keseluruhan, tetapi juga bagaimana "kue" tersebut dibagi di antara berbagai kelompok dan individu dalam masyarakat (Acemoglu, 2004). Kenaikan pajak untuk menaikkan pendapatan menjadi hal yang sia-sia, jika institusi dalam hal ini pemerintah, tidak bisa mengelolanya dengan baik. Salah satu contoh bagaimana perbedaan hasil dari pemerintahan yang baik dan buruk adalah Korea Utara dan Korea Selatan.
Saat dua Korea ini memutuskan untuk memisahkan diri. Sumber daya alam yang ada, kondisi geografis, dan sumber daya manusia yang ada, keduanya memiliki jumlah dan kualitas yang sama. Ibarat dalam berlari, keduanya memiliki posisi start yang sama. Bahkan, Korea Utara memiliki keunggulan dalam industrialisasi karena pada masa penjajahan Jepang, industrialisasi difokuskan di utara daripada di selatan (Acemoglu, 2004). Namun, singkat cerita, pada tahun 1970-an, Korea Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sedangkan Korea Utara mengalami stagnasi dalam pertumbuhan ekonominya.Â
Kegagalan Korea Utara untuk naik level disebabkan oleh pejabatnya yang masih berpegang teguh dengan keyakinan komunisme. Setelah terbukti gagal pun, kebijakan berbasis komunisme tetap dilaksanakan. Hal ini didorong karena banyak elit pemerintah di Korea Utara yang ingin mempertahankan status quo (Acemoglu et al., 2004). Institusi yang sudah diketahui korup, tetapi masih dijalani harus diwaspadai. Hal ini karena pejabatnya tidak ingin pemerataan kekayaan dan kekayaannya hanya ingin diberi ke sesama elit. Jika membandingkan skor corruption perception index atau CPI Korea Selatan dan Indonesia, hasilnya akan terlihat jomplang. Korea selatan memiliki skor sebesar 64, sedangkan Indonesia 34. Dengan kondisi tersebut, komitmen rakyat untuk membayar pajak menjadi rendah karena ketidakpercayaan mereka terhadap institusi yang mengelola uang mereka.
 Â