Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Terbitnya Matahari Timur: Mimpi Menepis Dolar?

2 Agustus 2024   19:47 Diperbarui: 2 Agustus 2024   19:47 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasang Surut Pantai Keuangan Asia

Bak lautan megah yang penuh misteri, perekonomian dunia terus menampilkan kondisi yang tak dapat ditebak. Bersamaan dengan perahunya, masing-masing negara terus berlayar mengarungi arus ekonomi yang dipengaruhi berbagai faktor eksternal, internal, beserta dinamika kebijakan yang terus berfluktuasi, dan Asia pun menjadi salah satunya. Benua "kuning" ini terus mempersembahkan pertumbuhan ekonomi yang ciamik, ditambah dengan kekuatan ekspor yang kian meningkat dan laris manis menjadi sasaran investor asing.

Di balik gemilangnya kiprah pertumbuhan negara-negara Asia di pasar global, mata uang---sang bibir pantai dari kawasan ini terus menerus diterjang gelombang menantang dengan kekuatan tak terduga yang secara riuh mengguncang stabilitas kurs Asia. Laksana badai dan angin kencang, kekuatan Dolar Amerika Serikat dan adanya tensi geopolitik mendorong Asia ke arah tidak terduga. Di sisi lain, ketidakpastian ekonomi memunculkan spekulasi bahwa dedolarisasi menjadi solusi tepat untuk meredam badai ini. Lantas, mengapa hal-hal tersebut mengguncang mata uang Asia? Apakah dedolarisasi menjadi satu-satunya solusi? Dan akankah terdapat secercah harapan untuk masa depan yang lebih stabil, atau justru menenggelamkan Asia kembali ke masa lalu kelam? Mari kita menyelam lebih dalam, menjelajahi tiap deburan ombak yang menjadi saksi bisu perjalanan ekonomi si juara mendatang.

Di Bawah Kepakan Sayap Sang Elang

Lagi-lagi, kertas hijau itu tersenyum tatkala mata uang lokal lain lesu. Ya, dolar Amerika Serikat selalu mengepakkan sayapnya dalam tatanan mata uang dan transaksi internasional. Dinamika ini tak henti-hentinya menjadi salah satu alasan vital mata uang Asia melemah. Dan tiap kali "the most expensive good afternoon" bergema di atas mimbar ruang konferensi The Fed, saat itulah ekonomi dunia bergejolak, tak terkecuali di negara-negara kawasan permata timur.

Sepanjang triwulan pertama tahun 2024, mayoritas mata uang milik negara-negara Asia mengalami tekanan signifikan terhadap dolar AS. Pelemahan ini terus berlanjut hingga memasuki triwulan kedua. Tercatat pada bulan April tahun ini, Won Korea mengalami pelemahan terdalam, yakni 1,25 persen; disusul peso Filipina yang melemah 0,59 persen; dan dolar Taiwan melemah 0,44 persen. Selanjutnya, diikuti dengan pelemahan dolar Singapura 0,20 persen; baht Thailand 0,15 persen; dan yuan China melemah 0,04 persen. Tak luput dari itu, rupiah Indonesia juga terdepresiasi hingga sekitar 2,6 persen (Kompas, 2024). Bahkan, ringgit Malaysia telah mendekati nilai terlemahnya semenjak krisis keuangan Asia pada tahun 1998. Dilansir dari Bloomberg, pada tahun ini semua kecuali satu dari 23 mata uang utama negara berkembang telah jatuh terhadap sang Elang. 

Tidak dapat dipungkiri, dolar yang terus menguat di tengah prognosis bahwa suku bunga AS akan tetap tinggi dalam jangka waktu lebih lama memberikan efek terhadap kemerosotan mata uang Asia ke titik terlemahnya dalam lebih dari 19 bulan sejak tahun 2022, seperti yang dapat dilihat di Gambar 1.

Gambar 1. Asia Dollar Index, Sumber: Bloomberg, 2024
Gambar 1. Asia Dollar Index, Sumber: Bloomberg, 2024

Peristiwa ini tidak pernah luput dari "keistimewaan" ekonomi AS sebagai negara adidaya.  Meski mayoritas perekonomian dunia hanya mengalami pertumbuhan moderat, data lapangan kerja, penjualan ritel, hingga inflasi AS kerap melampaui perkiraan analis keuangan. Hal ini berdampak pada para pedagang yang mengurangi spekulasi akan penurunan suku bunga The Fed, sehingga membantu mendorong kenaikan greenback. Tentu hal ini tak lepas dari strategi "konsekuensi ganda"  AS untuk memangkas inflasi setempat. Berdasarkan data yang dicatat oleh Trading Economics, The Fed  terus memompa suku bunga pada level tertingginya selama 23 tahun terakhir, yakni mencapai 5,50 persen. 

Antara Ketidakpastian dan Ekspektasi Hari Esok

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun