Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Perlukah Ratu Adil? Signifikansi Demokrasi di Tengah Pembangunan

12 Juli 2024   19:59 Diperbarui: 12 Juli 2024   19:59 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafik 1. PDB per kapita sebelum dan setelah demokratisasi. Sumber: University of Chicago (2019)

Dalam riuh rendahnya dunia demokrasi Indonesia, terdengar gemuruh: "Ratu Adil"--sosok yang yang konon dinanti-nantikan seluruh negeri untuk memberikan pencerahan, membawa kesejahteraan, dan membela rakyat kecil. Namun, istilah "Ratu Adil" semakin meredup, tenggelam dalam kabut politik, menjadi sebuah utopia yang mengaburkan pandangan. Era demokrasi terasa mematahkan mitos ini; setiap orang tampaknya berharap pada diri sendiri, tanpa lagi mencari sosok pemimpin yang ideal.  Apakah Ratu Adil masih diperlukan?


Demokrasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Konsep demokrasi, dalam bentuknya yang paling sederhana, dapat didefinisikan menggunakan dua kata Yunani, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan), membentuk kata demokrasi, yang berarti "pemerintahan oleh rakyat". Ini merupakan gagasan awal tentang demokrasi. Semenjak berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1991, demokrasi sebagai ideologi politik tampak tak tergoyahkan, bahkan terbentuk konsensus bahwa demokrasi telah memenangkan predikat "sistem pemerintahan terbaik". Tetapi, belum berjalan lama, gagasan ini sudah mengalami disrupsi. Banyak negara yang diragukan kredibilitas demokrasinya. Terdapat ungkapan bahwa people power hanya menjadi tirani kelompok berkepentingan. Demokrasi yang sering dianggap mati pada ujung senapan kudeta, nyatanya lebih tercekik ketika oligarki mengatasnamakan rakyat untuk kepentingannya sendiri.

Ketidakpercayaan terhadap kinerja institusi demokrasi sebenarnya dibuktikan oleh sejarah demokrasi itu sendiri. Aristoteles (1912) mengemukakan bahwa "tidak aman untuk mempercayakan rakyat dengan jabatan-jabatan tertinggi dalam negara, baik karena kefasikan maupun ketidaktahuan mereka." Namun, optimisme demokrasi dicerminkan dalam kerangka pertumbuhan ekonomi. Seperti yang dapat dilihat pada grafik 1, demokrasi justru menghasilkan korelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi di suatu negara (Acemoglu et al., 2019). Penelitiannya yang mencangkup 184 negara dalam periode 1960 hingga 2010, menunjukkan negara-negara yang tadinya bukan negara demokrasi akan mengalami resesi dalam waktu dekat sebelum demokratisasi, dan kondisi ini masih akan berlanjut selama beberapa tahun setelahnya. Selama kurun waktu lima tahun (setelah demokratisasi), belum terdapat signifikansi dalam pertumbuhan, tetapi dalam jangka waktu 10 hingga 15 tahun mereka (negara-negara demokrasi baru) menjadi sedikit lebih kaya, dan kemudian pada akhir 20 tahun, mereka memiliki PDB yang lebih tinggi sekitar 20 persen. Selama periode 60 tahun tersebut, negara-negara yang mengalami demokratisasi umumnya tidak melakukannya secara tiba-tiba, tetapi pada saat terjadi krisis ekonomi. Hal ini memberikan gambaran tentang jalur pertumbuhan demokrasi, di mana mereka memulai dengan growth rate yang lambat setelah mencoba pulih dari keterpurukan ekonomi. "Diktator runtuh ketika menghadapi krisis ekonomi," kata Acemoglu.

Grafik 1. PDB per kapita sebelum dan setelah demokratisasi. Sumber: University of Chicago (2019)
Grafik 1. PDB per kapita sebelum dan setelah demokratisasi. Sumber: University of Chicago (2019)
 

Acemoglu menjelaskan bahwa tidak mengherankan melihat efek signifikan dari peristiwa ini (demokratisasi), karena negara non-demokrasi yang cenderung otoriter memiliki banyak kekurangan. Negara-negara demokrasi cenderung berinvestasi secara luas, terutama dalam kesehatan dan sumber daya manusia (pendidikan), bidang yang sering diabaikan oleh negara otoriter. Banyak peristiwa reformasi yang menghilangkan praktik-praktik kroni pada rezim non-demokratis kemudian beralih menjadi negara demokrasi yang kebijakannya cenderung pro-reformasi dan menunjukkan kenaikan pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, pertumbuhan pada negara non-demokratis tidak selalu menunjukkan hasil yang berlawanan. Dalam beberapa kasus, seperti China dan Singapura yang dipimpin secara otoriter, mereka menunjukkan keberhasilan ekonomi yang ditandai oleh pertumbuhan pada angka dua digit. Hal ini bahkan jarang terjadi di demokrasi Barat. Mengapa demikian? Selain karena adanya fenomena benevolent dictatorship, proses pengambilan kebijakan oleh seorang diktator bisa terjadi lebih cepat sehingga dapat memicu pertumbuhan lebih efisien, dan faktor penting lainnya adalah negara-negara tersebut memang tidak didesain untuk menjadi negara demokrasi sejak awal.

Berkebalikan dengan tesis sebelumnya (negara yang mengalami demokratisasi akan cenderung meningkatkan pertumbuhan ekonomi), ketika sebuah demokrasi berubah menjadi otoriter, dampak ekonominya seringkali negatif. Hal ini dikarenakan, dalam demokrasi, kebijakan ekonomi dimaksudkan untuk dibuat secara konsensus, dari sisi eksekutif dan legislatif. Ketika lembaga legislatif tidak lagi dapat efektif menjalankan fungsi ini, seperti di Venezuela dan Turki, atau karena mereka didominasi oleh partai penguasa, seperti di Hungaria, tidak ada yang dapat mencegah pemimpin otoriter dari membuat pilihan buruk yang dapat merugikan ekonomi (Bellinger & Son, 2019). Turkish currency & debt crisis menjadi saksinya, ketika Presiden Erdogan mencoba untuk masuk ke ranah moneter, yang berakibat krisis berkelanjutan.

Demokrasi saat ini menghadapi tantangan yang berbeda dari masa sebelumnya. Di bawah kepemimpinan Viktor Orban, Hungaria mengalami penurunan demokrasi secara perlahan dengan digunakannya mayoritas parlemen untuk menguasai regulator, media, sistem peradilan, dan aturan pemilihan. Pendekatan ini mengubah bentuk demokrasi menjadi semangat negara satu partai, di mana kekuasaan dipertahankan dengan cara manipulasi aturan dan institusi. Fenomena serupa terjadi di negara-negara lain termasuk Polandia, Inggris, dan Amerika Serikat, di mana populisme dan sinisme politik merusak legitimasi dan stabilitas institusi demokratis (The Economist, 2019).

Demokrasi dengan segala optimismenya ternyata sangat sulit untuk dipertahankan. Lantas, apa yang dapat dilakukan untuk menjalankan demokrasi sesuai gagasan awal?

Pembangunan Dimungkinkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun