“Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo”
“Masyarakat dan wilayah yang subur, makmur, tertib, tentram, dan sejahtera”, falsafah Jawa ini menggambarkan sebuah potret negeri yang ideal. Gambaran yang tentunya menjadi sebuah mimpi, terutama bagi masyarakat Indonesia yang negerinya dijuluki sebagai “zamrud khatulistiwa” dikarenakan keindahan serta kekayaan alamnya yang sangat berlimpah. Dengan julukan tersebut, tentu terdapat banyak sekali daerah di Indonesia yang wilayahnya bukan hanya indah untuk dipandang, namun juga bergelimang secara kekayaan alam.
Satu contohnya adalah Pulau Sangihe, sebuah pulau kecil yang terletak di Provinsi Sulawesi Utara ini memiliki keindahan alam yang sangat mempesona, dengan hutan yang membentang seluas puluhan ribu hektare. Berisikan berbagai macam flora maupun fauna yang unik dan langka, seperti burung Seriwang Sangihe yang jumlahnya hanya tersisa 114 ekor saja. Ditambah dengan pantainya yang sangat menawan dan eksotis, indahnya alam Sangihe benar-benar dapat merepresentasikan keindahan alam yang dimiliki Indonesia.
Tak hanya memiliki alam yang sangat rupawan, Pulau Sangihe juga menyimpan harta karun yang sangat berharga di dalamnya. Mengutip sebuah artikel dari Kompas.com, di bawah keindahan Pulau Sangihe terdapat potensi cadangan emas sebesar 3,16 juta ton. Keberadaan cadangan emas ini tentunya membuka peluang seluas-luasnya bagi masyarakat Sangihe untuk hidup makmur dan sejahtera melalui kekayaan alam yang dimiliki daerahnya.
Hidup dikelilingi dengan keindahan alam serta keanekaragaman hayati yang menawan ditambah dengan potensi kekayaan alam yang berlimpah, cerita tersebut seakan-akan menggambarkan masyarakat Sangihe hidup bak di negeri dongeng. Tidak mungkin terbesit di pikiran setiap insan yang mendengar cerita ini, jika masyarakat Sangihe akan pernah merasa kesulitan karena besarnya anugerah yang telah diberikan kepada Pulau Sangihe.
Dibalik Kekayaan serta Indahnya Alam Sangihe
Sayangnya, realita tidak seindah itu. Kekayaan alam yang dimiliki oleh Pulau Sangihe justru membawa malapetaka bagi masyarakatnya sendiri. Di mana besarnya cadangan emas yang dimiliki Pulau Sangihe mengundang perusahaan-perusahaan tambang yang ingin mendapatkan keuntungan dari praktik eksploitasi alam. Terhitung sejak bulan Januari 2021 lalu, kehidupan negeri dongeng masyarakat Pulau Sangihe terancam berakhir ketika Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperbolehkan perusahaan besar untuk memanfaatkan lahan seluas 42.000 hektare atau sekitar setengah Pulau Sangihe untuk dijadikan tambang emas dan tembaga.
Berdasarkan sebuah artikel yang dipublikasikan oleh BBC, diperbolehkannya perusahaan tambang untuk mengeksploitasi cadangan emas yang dimiliki Pulau Sangihe ini membawa dampak kerusakan lingkungan yang sangat masif. Hutan Sangihe yang dulunya sangat rimbun berisikan puluhan ribu pohon, kini terancam untuk “digunduli” demi kepentingan eksplorasi tambang emas, mengancam habitat 114 burung Seriwang Sangihe yang hampir punah. Air laut Sangihe yang dulunya sangat bersih, jernih, serta kaya akan biota laut di dalamnya, sekarang berubah menjadi keruh karena airnya yang dialiri limbah hasil aktivitas penambangan emas.
Sungguh ironis, alih-alih membawa anugerah bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya, kekayaan alam yang dimiliki Pulau Sangihe justru membawa nestapa bagi masyarakatnya itu sendiri. Kisah keironisan ini tidak baru hanya dirasakan oleh masyarakat Sangihe saja, namun kisah ini sudah menjadi kisah klasik yang dirasakan oleh banyak sekali masyarakat dari berbagai wilayah di Indonesia, yang lingkungan tempat tinggalnya rusak akibat aktivitas perusahaan tambang yang gencar mengeruk keuntungan dari kekayaan alamnya. Tercatat sejak 2001 hingga 2019 saja, terdapat 27,7 juta hektare total tutupan hutan Indonesia yang hilang akibat adanya alih fungsi lahan untuk komoditas seperti pertambangan dan perkebunan (Hansen et al., 2013).
Dalam teori ekonomi, rusaknya lingkungan di Pulau Sangihe dan berbagai wilayah lain di Indonesia karena aktivitas perusahaan tambang disebut sebagai dampak dari adanya eksternalitas negatif dalam aktivitas produksi. Konsep dasar yang setiap mahasiswa fakultas ekonomi pasti temui ini didefinisikan sebagai biaya yang timbul dari aktivitas produksi yang dirasakan oleh pihak ketiga, seperti masyarakat sekitar, lingkungan, hewan, dan aktor lainnya yang tidak terlibat langsung di dalam sebuah aktivitas ekonomi.
Eksternalitas negatif berupa kerusakan lingkungan secara masif ini muncul akibat perilaku tamak agen ekonomi di dalam pasar (produsen dan konsumen) yang selalu membuat keputusan dilandasi dengan keinginan mereka untuk meraih keuntungan ataupun kepuasan maksimal, menyebabkan kegagalan pasar bebas dalam mengalokasikan sumber daya secara menguntungkan bagi semua pihak di dalam perekonomian (Mankiw, 2015). Karena pasar tidak mampu menangkap biaya yang dirasakan oleh seluruh pihak di dalam perekonomian, alhasil perilaku tamak yang terjadi di sektor tambang ini menyebabkan eksploitasi alam yang berlebih karena proses pengambilan keputusan perusahaan tambang yang tidak memikirkan dampak dari aktivitas produksi mereka terhadap masyarakat sekitar.
Ketidakkonsisten Pemerintah Sebagai Aktor “Penyeimbang”
Seperti apa yang semua mahasiswa fakultas ekonomi pelajari pula, di dalam pasar pemerintah memiliki peran sebagai aktor penyeimbang perilaku tamak produsen. Secara teoritis sebenarnya pemerintah memiliki kemampuan untuk meminimalkan dampak kerusakan lingkungan dengan cara memprivatisasi biaya eksternal yang dihasilkan aktivitas perusahaan tambang demi menekan tingkat produksi perusahaan tersebut. Namun, melihat apa yang terjadi sekarang, pejabat-pejabat yang duduk di bangku pemerintahan tampaknya lupa terhadap salah satu konsep ekonomi yang paling sederhana ini.
Pasalnya, berdasarkan publikasi yang dibuat oleh Greenpeace Indonesia, dari tahun 2001 hingga 2010, terjadi peningkatan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perusahaan tambang secara masif, yang awalnya pada tahun 2001 secara total pemerintah hanya menerbitkan 750 IUP, tetapi pada tahun 2010 angka ini membludak menjadi 10.000 IUP. Hal ini diperkeruh dengan kegagalan pemerintah dalam menekan tingkat produksi sektor tambang. Contohnya pada tahun 2017 lalu, tingkat produksi batu bara yang ditargetkan untuk berkurang menjadi 413 juta ton justru meningkat secara signifikan menjadi 477 juta ton pada tahun 2017.
Fakta-fakta ini seakan-akan menunjukan bahwa agenda pembangunan pemerintahan pascareformasi sudah jauh dari yang namanya menghasilkan negeri yang “Subur, makmur, tertib, tentram, dan sejahtera” karena posisi mereka yang seakan-akan mendukung perusakan alam. Hal ini kemudian memicu pertanyaan, apakah pemerintahan sekarang sudah lupa dengan amanat UUD 1945, yang menyatakan jika bumi, air, dan kekayaan alam serta seisinya seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat?
Sektor Kroni dan Bangkitnya “Business Politician”
Grafik di atas ini sebenarnya dapat dengan mudah menjawab pertanyaan tersebut. Ranking indeks crony-capitalism setiap negara yang dibuat oleh The Economist pada tahun 2016 lalu menunjukkan seberapa besar kekayaan konglomerat di sebuah negara yang didapatkan dari usaha yang berada di sektor kroni. Sektor kroni itu sendiri didefinisikan sebagai sektor yang erat dengan praktik “rent seeking” alias memburu rente, yaitu sebuah perilaku pengusaha yang memaksimalkan keuntungan melalui pengaruh politik dan bukan aktivitas produktif. Untuk sukses di sektor kroni, diperlukan kedekatan kepada pembuat kebijakan yang biasanya didapatkan melalui perilaku korupsi ataupun “lobi-lobi”.
Melihat data di atas, tidak lagi mengherankan jika pemerintah seakan-akan tidak acuh terhadap eksploitasi alam yang dilakukan perusahaan tambang. Pasalnya, Indonesia masih menempati peringkat ketujuh negara “terkroni” di dunia. Hal ini mengimplikasikan jika dunia usaha di Indonesia masih kental dengan yang namanya praktik “rent seeking”, terutama di sektor-sektor ekstraktif seperti sektor tambang (Greenpeace et al., 2018).
Sektor tambang sendiri tentunya termasuk sektor kroni karena untuk beroperasi di sektor tambang dibutuhkan lisensi ataupun persetujuan dari pemerintah untuk dapat mengeruk kekayaan alam di suatu daerah (Warburton, 2024). Alhasil, seringkali pengusaha-pengusaha di sektor tambang ini dengan sengaja membangun kedekatan dengan oknum-oknum pemerintahan agar perizinan tambang mereka dimudahkan (Greenpeace et al., 2018).
Selain kentalnya praktik kapitalisme kroni, ada fakta lain yang lebih mengkhawatirkan, yaitu mulai munculnya “business politician” di institusi pemerintahan Indonesia. Eve Warburton, melalui jurnalnya yang membahas mengenai bangkitnya politisi bisnis di Indonesia, menyatakan bahwa di era sekarang cabang pemerintahan eksekutif maupun legislatif sudah mulai didominasi oleh para pebisnis. Hal ini juga ditunjukkan bagaimana sejak masa reformasi, terjadi lonjakan proporsi menteri di kabinet yang memiliki latar belakang pebisnis (Warburton, 2024).
Munculnya “business politician” ini menjadi mengkhawatirkan karena dapat meningkatkan peluang bagi para pemangku kepentingan untuk melakukan korupsi kebijakan atau yang biasa disebut “conflict of interest” demi melancarkan usaha mereka. Perilaku korupsi kebijakan ini dapat mengubah peran pemerintah yang seharusnya menjadi aktor penyeimbang di pasar, menjadi aktor yang mendukung perilaku tamak para pebisnis.
Melihat fakta ini, tentu kita harus waspada terhadap potensi besarnya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan tambang, terutama karena banyak sekali pejabat di pemerintahan sekarang ini yang memiliki kolega dekat ataupun anggota keluarga yang menduduki jabatan tinggi di beberapa perusahaan tambang. Bahkan ada menteri yang merupakan pemegang saham mayoritas di salah satu perusahaan batu-bara terbesar di Indonesia, menjadikan dirinya aktor yang mendapatkan manfaat dari terjadinya eksploitasi alam yang dilakukan oleh perusahaan tambang (Greenpeace et al. 2018).
Hal ini meningkatkan potensi terjadinya “conflict of interest” yang dapat mengubah pemerintah menjadi aktor yang mendukung kerusakan lingkungan, bukan lagi sebagai aktor yang meminimalkan dampak negatif dari aktivitas perusahaan tambang.
Institusi Politik yang “Extractive” dan Munculnya Lingkaran Setan
Kentalnya praktik rent-seeking yang terjadi di sektor pertambangan Indonesia cukup menggambarkan bagaimana kualitas institusi politik negara ini yang masih cenderung sangat ekstraktif. Mengacu kepada buku “Why Nations Fail” yang ditulis oleh Daron Acemoglu dan James Robinson, kualitas institusi sebuah negara dapat terbagi menjadi dua, yaitu “inclusive political institution” dan “extractive political institution”. Negara dengan kualitas institusi politik yang cenderung ekstraktif dikarakteristikkan sebagai negara dengan sumber daya perekonomian yang mayoritas didominasi oleh para elite atau oligarki. Hal ini terjadi karena institusi politik negara tersebut memperbolehkan adanya praktik patronage atau crony capitalism yang dilakukan oleh para elite untuk meningkatkan kekayaan mereka tanpa adanya kontribusi terhadap peningkatan produktivitas bagi negara.
Institusi politik yang ekstraktif ini kemudian melahirkan pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif. Di mana hanya para elite lah yang dapat menikmati dampak dari peningkatan pendapatan nasional. Hal ini dapat dilihat dari sangat minim nya kontribusi perusahaan tambang terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal, terlihat bahwa terjadinya peningkatan investasi di sektor ekstraktif tidak diiringi dengan pemberdayaan sumber daya manusia setempat (Martawardaya et al., 2021). Berdasarkan figur 5, dari tahun 2014 hingga 2020, rasio investasi terhadap kemampuan penyerapan tenaga kerja di sektor tambang terus menurun, di mana yang awalnya di tahun 2014, setiap Rp 1 triliun realisasi investasi di sektor tambang dapat menyerap 3,09 ribu tenaga kerja. Nilainya merosot menjadi hanya 1,4 ribu tenaga kerja untuk setiap Rp1 triliun realisasi investasi pada tahun 2020. Secara tersirat, hal ini menunjukan bahwa terjadi adanya penurunan kontribusi perusahaan tambang terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Extractive political institution ini lah kemudian menyebabkan munculnya sebuah lingkaran setan atau yang disebut sebagai “vicious circle”, suatu keadaan ketika negara dengan institusi politik yang ekstraktif akan mengalami stagnasi yang disebabkan oleh adanya praktik kapitalisme kroni. Hal ini disebabkan sangat kecilnya insentif bagi perusahaan untuk berinvestasi di negara yang memiliki institusi politik yang ekstraktif karena jauh lebih mudah bagi perusahaan tersebut untuk mendapatkan porsi kue perekonomian yang lebih besar melalui pengaruh politik ketimbang berinvestasi. Implikasi hal tersebut pada perekonomian adalah pertumbuhan ekonomi menjadi tidak berkelanjutan akibat penurunan total produktivitas di negara tersebut (Acemoglu & Robinson, 2012).
Mengubah Institusi Politik yang “Extractive” Menjadi “Inclusive”
Melihat hal ini, idealnya perlu ada perubahan kualitas institusi politik Indonesia dari yang awalnya ekstratif menjadi “inclusive political institution” demi memecah terjadinya lingkaran setan. Sumber daya perekonomian sebuah negara dengan institusi politik yang inklusif tidak lagi dikuasai oleh para elite saja, tapi dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat melalui pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan setiap individu. Kualitas institusi politik yang inklusif ini dapat dicapai dengan beberapa hal: (1) adanya keseriusan pemerintah dalam memberhentikan pemberian kemudahan kepada perusahaan tambang untuk terus mengekstraksi kekayaan alam kita, (2) adanya langkah konkret yang diambil oleh pemerintah untuk melakukan proses industrialisasi yang lebih sesuai agar meningkatkan nilai tambah aktivitas produksi demi menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Beberapa hal ini merupakan langkah yang wajib diambil oleh para pemangku kepentingan demi menciptakan negeri yang “baldatun toyyibatun warobbun ghofur” -QS Saba Ayat 15: sebuah negeri yang “damai, adil, makmur, dan sejahtera”.
Reyhan Muhammad Hatta | Ilmu Ekonomi 2023 | Staf Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2024/2025
Referensi:
Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2012). Why nations fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty. Profile Books.
Anwar, M. C. (2021, June 11). Intip Sederet Harta Karun di Tambang Emas Sangihe. KOMPAS.com. https://money.kompas.com/read/2021/06/11/105107126/intip-sederet-harta-karun-di-tambang-emas-sangihe
Greenpeace, ICW, JATAM, & Auriga. (2018). . Coalruption: Shedding Light on Political Corruption in Indonesia’s Coal Mining Sector. Greenpeace.org. https://www.greenpeace.org/static/planet4-indonesia-stateless/2018/12/727d7a2d-coalruption-english-web.pdf
Gunawan, A. (2019, October 20). Pak Jokowi, kita mau praktikkan crony capitalism lagi? CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/opini/20191020182902-14-108537/pak-jokowi-kita-mau-praktikkan-crony-capitalism-lagi
Irham, M. (2024, March 7). Tambang emas ilegal di Pulau Sangihe “makin masif beroperasi” - ‘Air laut dulunya jernih, sekarang keruh.’ BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cg349r01p7qo
Martawardaya, B., Rakatama, A., Yuartha Junifta, D., Ayu Maharani, D., Mustasya, T., Saleh Suhada, A., & Maryana, E. (2021). Keluar dari Ekonomi Ekstraktif, Menuju Hijau dan inklusif. Greenpeace Indonesia & INDEF. https://www.greenpeace.org/static/planet4-indonesia-stateless/2021/03/7c5d3aed-keluar-dari-ekonomi-ekstraktif-menuju-hijau-dan-inklusif.pdf
Mankiw, N. G. (2015). Principles of economics. Nelson Education.
Martin, J. P. (2017). Continuity or Disruption? Changing Elites and the Emergence of Cronyism after the Great Recession – the Case of Hungary. Corvinus Journal of Sociology and Social Policy, 8(3), 255–281. https://doi.org/10.14267/cjssp.2017.3s.11
Redjo, S. (2022, July 22). Perjalanan panjang masyarakat Sangihe melawan tambang. GreenpeaceIndonesia. https://www.greenpeace.org/indonesia/cerita/46358/perjalanan-panjang-masyarakat-sangihe-melawan-tambang/
The Economist. (2016, May 5). Comparing crony capitalism around the world. The Economist. https://www.economist.com/graphic-detail/2016/05/05/comparing-crony-capitalism-around-the-world
Warburton, E. (2024). Private power and public Office: The rise of business politicians in Indonesia. Critical Asian Studies, 1–23. https://doi.org/10.1080/14672715.2024.2334069
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H