Sektor tambang sendiri tentunya termasuk sektor kroni karena untuk beroperasi di sektor tambang dibutuhkan lisensi ataupun persetujuan dari pemerintah untuk dapat mengeruk kekayaan alam di suatu daerah (Warburton, 2024). Alhasil, seringkali pengusaha-pengusaha di sektor tambang ini dengan sengaja membangun kedekatan dengan oknum-oknum pemerintahan agar perizinan tambang mereka dimudahkan (Greenpeace et al., 2018).
Selain kentalnya praktik kapitalisme kroni, ada fakta lain yang lebih mengkhawatirkan, yaitu mulai munculnya “business politician” di institusi pemerintahan Indonesia. Eve Warburton, melalui jurnalnya yang membahas mengenai bangkitnya politisi bisnis di Indonesia, menyatakan bahwa di era sekarang cabang pemerintahan eksekutif maupun legislatif sudah mulai didominasi oleh para pebisnis. Hal ini juga ditunjukkan bagaimana sejak masa reformasi, terjadi lonjakan proporsi menteri di kabinet yang memiliki latar belakang pebisnis (Warburton, 2024).
Munculnya “business politician” ini menjadi mengkhawatirkan karena dapat meningkatkan peluang bagi para pemangku kepentingan untuk melakukan korupsi kebijakan atau yang biasa disebut “conflict of interest” demi melancarkan usaha mereka. Perilaku korupsi kebijakan ini dapat mengubah peran pemerintah yang seharusnya menjadi aktor penyeimbang di pasar, menjadi aktor yang mendukung perilaku tamak para pebisnis.
Melihat fakta ini, tentu kita harus waspada terhadap potensi besarnya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan tambang, terutama karena banyak sekali pejabat di pemerintahan sekarang ini yang memiliki kolega dekat ataupun anggota keluarga yang menduduki jabatan tinggi di beberapa perusahaan tambang. Bahkan ada menteri yang merupakan pemegang saham mayoritas di salah satu perusahaan batu-bara terbesar di Indonesia, menjadikan dirinya aktor yang mendapatkan manfaat dari terjadinya eksploitasi alam yang dilakukan oleh perusahaan tambang (Greenpeace et al. 2018).
Hal ini meningkatkan potensi terjadinya “conflict of interest” yang dapat mengubah pemerintah menjadi aktor yang mendukung kerusakan lingkungan, bukan lagi sebagai aktor yang meminimalkan dampak negatif dari aktivitas perusahaan tambang.
Institusi Politik yang “Extractive” dan Munculnya Lingkaran Setan
Kentalnya praktik rent-seeking yang terjadi di sektor pertambangan Indonesia cukup menggambarkan bagaimana kualitas institusi politik negara ini yang masih cenderung sangat ekstraktif. Mengacu kepada buku “Why Nations Fail” yang ditulis oleh Daron Acemoglu dan James Robinson, kualitas institusi sebuah negara dapat terbagi menjadi dua, yaitu “inclusive political institution” dan “extractive political institution”. Negara dengan kualitas institusi politik yang cenderung ekstraktif dikarakteristikkan sebagai negara dengan sumber daya perekonomian yang mayoritas didominasi oleh para elite atau oligarki. Hal ini terjadi karena institusi politik negara tersebut memperbolehkan adanya praktik patronage atau crony capitalism yang dilakukan oleh para elite untuk meningkatkan kekayaan mereka tanpa adanya kontribusi terhadap peningkatan produktivitas bagi negara.
Institusi politik yang ekstraktif ini kemudian melahirkan pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif. Di mana hanya para elite lah yang dapat menikmati dampak dari peningkatan pendapatan nasional. Hal ini dapat dilihat dari sangat minim nya kontribusi perusahaan tambang terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal, terlihat bahwa terjadinya peningkatan investasi di sektor ekstraktif tidak diiringi dengan pemberdayaan sumber daya manusia setempat (Martawardaya et al., 2021). Berdasarkan figur 5, dari tahun 2014 hingga 2020, rasio investasi terhadap kemampuan penyerapan tenaga kerja di sektor tambang terus menurun, di mana yang awalnya di tahun 2014, setiap Rp 1 triliun realisasi investasi di sektor tambang dapat menyerap 3,09 ribu tenaga kerja. Nilainya merosot menjadi hanya 1,4 ribu tenaga kerja untuk setiap Rp1 triliun realisasi investasi pada tahun 2020. Secara tersirat, hal ini menunjukan bahwa terjadi adanya penurunan kontribusi perusahaan tambang terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.