Dalam teori ekonomi, rusaknya lingkungan di Pulau Sangihe dan berbagai wilayah lain di Indonesia karena aktivitas perusahaan tambang disebut sebagai dampak dari adanya eksternalitas negatif dalam aktivitas produksi. Konsep dasar yang setiap mahasiswa fakultas ekonomi pasti temui ini didefinisikan sebagai biaya yang timbul dari aktivitas produksi yang dirasakan oleh pihak ketiga, seperti masyarakat sekitar, lingkungan, hewan, dan aktor lainnya yang tidak terlibat langsung di dalam sebuah aktivitas ekonomi.
Eksternalitas negatif berupa kerusakan lingkungan secara masif ini muncul akibat perilaku tamak agen ekonomi di dalam pasar (produsen dan konsumen) yang selalu membuat keputusan dilandasi dengan keinginan mereka untuk meraih keuntungan ataupun kepuasan maksimal, menyebabkan kegagalan pasar bebas dalam mengalokasikan sumber daya secara menguntungkan bagi semua pihak di dalam perekonomian (Mankiw, 2015). Karena pasar tidak mampu menangkap biaya yang dirasakan oleh seluruh pihak di dalam perekonomian, alhasil perilaku tamak yang terjadi di sektor tambang ini menyebabkan eksploitasi alam yang berlebih karena proses pengambilan keputusan perusahaan tambang yang tidak memikirkan dampak dari aktivitas produksi mereka terhadap masyarakat sekitar.
Ketidakkonsisten Pemerintah Sebagai Aktor “Penyeimbang”
Seperti apa yang semua mahasiswa fakultas ekonomi pelajari pula, di dalam pasar pemerintah memiliki peran sebagai aktor penyeimbang perilaku tamak produsen. Secara teoritis sebenarnya pemerintah memiliki kemampuan untuk meminimalkan dampak kerusakan lingkungan dengan cara memprivatisasi biaya eksternal yang dihasilkan aktivitas perusahaan tambang demi menekan tingkat produksi perusahaan tersebut. Namun, melihat apa yang terjadi sekarang, pejabat-pejabat yang duduk di bangku pemerintahan tampaknya lupa terhadap salah satu konsep ekonomi yang paling sederhana ini.
Pasalnya, berdasarkan publikasi yang dibuat oleh Greenpeace Indonesia, dari tahun 2001 hingga 2010, terjadi peningkatan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perusahaan tambang secara masif, yang awalnya pada tahun 2001 secara total pemerintah hanya menerbitkan 750 IUP, tetapi pada tahun 2010 angka ini membludak menjadi 10.000 IUP. Hal ini diperkeruh dengan kegagalan pemerintah dalam menekan tingkat produksi sektor tambang. Contohnya pada tahun 2017 lalu, tingkat produksi batu bara yang ditargetkan untuk berkurang menjadi 413 juta ton justru meningkat secara signifikan menjadi 477 juta ton pada tahun 2017.
Fakta-fakta ini seakan-akan menunjukan bahwa agenda pembangunan pemerintahan pascareformasi sudah jauh dari yang namanya menghasilkan negeri yang “Subur, makmur, tertib, tentram, dan sejahtera” karena posisi mereka yang seakan-akan mendukung perusakan alam. Hal ini kemudian memicu pertanyaan, apakah pemerintahan sekarang sudah lupa dengan amanat UUD 1945, yang menyatakan jika bumi, air, dan kekayaan alam serta seisinya seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat?
Sektor Kroni dan Bangkitnya “Business Politician”
Grafik di atas ini sebenarnya dapat dengan mudah menjawab pertanyaan tersebut. Ranking indeks crony-capitalism setiap negara yang dibuat oleh The Economist pada tahun 2016 lalu menunjukkan seberapa besar kekayaan konglomerat di sebuah negara yang didapatkan dari usaha yang berada di sektor kroni. Sektor kroni itu sendiri didefinisikan sebagai sektor yang erat dengan praktik “rent seeking” alias memburu rente, yaitu sebuah perilaku pengusaha yang memaksimalkan keuntungan melalui pengaruh politik dan bukan aktivitas produktif. Untuk sukses di sektor kroni, diperlukan kedekatan kepada pembuat kebijakan yang biasanya didapatkan melalui perilaku korupsi ataupun “lobi-lobi”.
Melihat data di atas, tidak lagi mengherankan jika pemerintah seakan-akan tidak acuh terhadap eksploitasi alam yang dilakukan perusahaan tambang. Pasalnya, Indonesia masih menempati peringkat ketujuh negara “terkroni” di dunia. Hal ini mengimplikasikan jika dunia usaha di Indonesia masih kental dengan yang namanya praktik “rent seeking”, terutama di sektor-sektor ekstraktif seperti sektor tambang (Greenpeace et al., 2018).