Mengetahui track record pertumbuhan laba yang dialami oleh Agung Sedayu Group dan juga PANI, pemerintah memiliki insentif yang luar biasa untuk mendorong percepatan dari potensi aktivitas ekonomi yang akan berbuah dari kesuksesan mereka. Tercatat bahwa pada 31 Desember 2023, laba emiten kongsi Agung Sedayu Group dan Salim Group menembus 273.6% menjadi Rp 2.15 triliun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 577.74 miliar.
Berdasarkan data dari IDX, hingga April 2024 saham PANI telah menunjukkan kenaikan sebesar 350.22% dalam satu tahun terakhir. Kapitalisasi pasar PANI juga mencapai Rp 83.2 triliun pada maret lalu, semua hal ini menunjuk kepada betapa serius Agung Sedayu dalam menjalankan proyek impian mereka. Sudah tidak mengejutkan lagi jika pembangunan PIK 2 ditargetkan memberikan keuntungan yang astronomik kepada ekonomi Indonesia.
Efek Samping dan Kenyataan
Menjadi Proyek Strategis Nasional mengartikan beberapa hal untuk kawasan PIK 2. Meskipun pembiayaannya dilakukan tanpa APBN, PANI akan mendapatkan kemudahan perizinan dalam rangka mempercepat proses konstruksi serta perolehan izin tanah. PIK 2 memang sudah lama menjadi salah satu mega proyek yang berselang dekat dengan Kementerian PUPR, di mana 23.22 triliun untuk pembangunan Tol Kamal-Teluknaga-Rajeg dengan daerah sekitar juga dibiayai oleh Agung Sedayu dan Salim Group. Peraturan Pemerintah sebelumnya juga menyebutkan bahwa PSN yang dibiayai secara independen akan menerima jaminan pemerintah dalam bentuk kelayakan usaha, KPBU serta risiko politik. Terakhir, dampak sosial yang muncul dari pelaksanaan PSN juga akan ditangani langsung oleh pemerintah, di mana anggaran tersendiri sudah disiapkan sesuai dengan kapasitas finansial negara.
Menjadi PSN merujuk kepada bagaimana pembangunan PIK 2 akan bekerja lebih erat dengan pemerintah, serta imun dari permainan lobi politik yang berpotensi menghambat perkembangannya. Namun kita tetap perlu sigap dalam menanggapi efek samping yang muncul dari menjadinya PSN. Dengan banyaknya fasilitas protektif, secara efektif PSN memberikan mereka imunitas terhadap seluruh permasalahan yang mungkin datang kepada mereka. Yang ditakuti adalah bagaimana kebebasan tersebut dapat lama kelamaan menciptakan berita buruk bagi perekonomian Jakarta dan Indonesia.
Kontroversi utama yang dihadapi oleh pembangunan PIK 2 adalah bagaimana mereka telah sebagian besar dari tanah yang dipergunakan untuk pembangunan perumahan merupakan hasil penggusuran dari wilayah desa sekitar. Warga yang kooperatif seperti pada Kampung Tanah Preman diberikan insentif dalam bentuk kavling 5 hektar demi relokasi 3000 jiwa serta pembayaran 1 hingga 3 juta per meter persegi berdasarkan kondisi. Meskipun begitu, SK Budiardjo, Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia, menyatakan bahwa, “Sejumlah warga (setempat) menjadi korban pembebasan lahan, dengan modus kriminalisasi dengan tujuan untuk menekan harga lahan murah.” Beliau juga mengungkapkan keprihatinan bahwa status PSN ini akan melegitimasi proses perampasan tanah rakyat. Pembangunan apartemen Tokyo Riverside juga menciptakan kesenjangan yang luar biasa, di mana dinding setinggi 3-4 meter memisahkan Desa Salembaran, Muara, dan Tanjung Burung dari pemukiman elit. Dari sudut pandang pemerintah memang wajar untuk memilih PIK 2 sebagai PSN, tetapi apakah betul proyek tersebut akan meningkatkan pemerataan bagi warga sekitar? Sebagian besar perumahan dan wisata PIK 2 jelas-jelas hanya dapat dinikmati oleh kelas menengah atas saja.
Perilaku Rent Seeking
Kebebasan yang dirasakan oleh Agung Sedayu Group dalam mengembangkan PIK 2 dapat termasuk sebagai contoh dari Business Rent Seeking, yaitu perilaku di mana sebuah entitas ingin mendapatkan kekayaan lebih tanpa berkontribusi dalam menciptakan produktivitas. Konsep Rent mengacu kepada sebuah konsep ekonomi yang ditetapkan oleh Adam Smith, yaitu kekayaan yang didapatkan melalui metode yang licik ataupun dengan penggunaan sumber daya yang manipulatif. Berdasarkan Investopedia (2024), rent seeking merupakan hasil dari legislasi politik dan juga pendanaan dari pemerintah, di mana pejabat memiliki kemampuan untuk menentukan regulasi industri dan juga distribusi subsidi yang menawarkan keuntungan ekonomi dengan sedikit atau tanpa timbal balik. Konglomerat lalu dapat melobi pemerintah demi menerima bantuan bagi bisnis mereka yang dituju demi menciptakan kemakmuran. Hibah, proteksi tarif, dan juga kebijakan tertentu dapat memudahkan korporasi tertentu untuk mendapatkan sewa lebih tanpa mempertaruhkan kekayaan sama sekali.
Grafik 1 di atas menggambarkan kegagalan efisiensi dalam pasar monopolis, di mana surplus konsumen pada area diarsir H terhitung sebagai deadweight loss karena pada kenyataannya, surplus produsen ditambahkan melalui hibah atau kelonggaran yang digambarkan pada area T pada grafik. Pembeli akan membayar pada P1 meskipun perusahaan dapat memproduksi pada Q0. Konsep ini dicerminkan dalam bagaimana kenaikan harga yang konsisten pada mayoritas perumahan PIK 2 merupakan upaya untuk mendapat uang sewa lebih, di mana tanpa menambahkan value yang tentu, harga rumah tersebut terus menerus digoreng. Alhasil, tanpa sepengetahuan para konsumen, properti yang dibeli oleh mereka berada pada tingkat harga yang tidak efisien dan justru mengurangi potensi kesejahteraan yang didapatkan dari proyek strategis nasional. Tentunya kenyataan ini terbalik dengan tujuan awal PSN yang ingin mengurangi kesenjangan serta mengembangkan perekonomian yang merata. Bukan hanya PIK saja, para konglomerat Indonesia beresiko mengeksploitasi kebebasan dalam kerja sama dengan pemerintah, mempergunakannya untuk melobikan kekuasaan mereka.