Shiller mencatat bahwa narasi ini mengikuti "kurva epidemi" yang mirip dengan wabah penyakit menular. Bentuknya cenderung seperti lonceng atau bell-shaped: Penyakit ini memiliki periode "penularan" awal di mana wabah terjadi, kemudian mencapai puncaknya, lalu menurun.
Misalnya, salah satu kuliahnya di Neubauer Collegium, Shiller menunjukkan persamaan antara grafik yang membandingkan wabah epidemi Ebola di Liberia pada tahun 2014 dan tingkat pengangguran global selama 20 tahun terakhir dengan lonjakan yang signifikan selama krisis keuangan yang dimulai pada tahun 2008. pada tahun 2009 dan 2010, dan kemudian mulai melemah. "Ini terlihat seperti sepasang epidemi--dua wabah penyakit berbeda yang disebut pesimisme atau ketidakpastian finansial," katanya.
Bagaimana Narasi Ini Mengubah Persepsi Masyarakat dengan Bantuan Media Sosial
"Hal yang paling wajar di otak kita untuk dibicarakan adalah gosip, oke? Kita menyukai cerita-cerita ini. Kita berpusat pada satu pria dan kami membicarakan orang itu tanpa henti. Kita tidak sepenuhnya rasional," kata Shiller.
Orang-orang hidup dengan narasi atau "cerita". Kritikus sastra yang menganalisis pola cerita menemukan bahwa sebagian besar dari ribuan cerita di dunia cocok dengan beberapa pola sederhana. Narasi-narasi ini sangat fundamental terhadap cara berpikir seseorang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan pernikahan yang kuat disebabkan oleh kisah yang dibentuk oleh pasangan dalam hubungan mereka. Pemimpin politik juga bisa naik dan turun berdasarkan kemampuannya menginspirasi pengikutnya dengan ucapannya.Â
Semenjak pandemi Covid-19, penggunaan handphone dan media sosial semakin intensif. Dengan semakin banyaknya populasi yang menggunakan penemuan teknologi baru, generasi muda mulai melupakan hiburan lama, dan membiarkan media sosial masuk ke dalam kehidupan mereka. Sebagai Gen Z tumbuh dengan renovasi teknologi dan menjadi ahli dalam laptop dan ponsel modern. Kita menghabiskan sebagian besar waktu kita berselancar online, yang memberikan kekuatan pada media sosial untuk menciptakan nilai lebih. Media sosial yang awalnya menargetkan pengguna untuk menjalin komunikasi, kemudian berubah menjadi data besar yang dapat digunakan untuk hampir semua hal. Media sosial merupakan jaringan dengan arus informasi dalam jumlah besar.
Adanya berbagai platform seperti Instagram, TikTok, Youtube, dan lainnya, membuat setiap orang memegang kekuatan yang sama dalam menyampaikan pesan atau opini kepada publik. Hal ini menjadi berbahaya ketika narasi yang beredar memengaruhi persepsi masyarakat terhadap suatu masalah.Â
Seperti yang dijelaskan oleh Shiller, yang sebagian besar atas kontribusinya pada behavioral economics, yang mempelajari bagaimana faktor psikologis memengaruhi keputusan ekonomi. Satu pemahaman penting: Manusia tidak bertindak rasional. Mereka cenderung membuat keputusan berdasarkan informasi yang tidak sempurna.Â
Berangkat dari hal tersebut, tren "going viral' yang sedang marak terjadi tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga berisiko memberikan pengaruh negatif. Apalagi, kualitas dari sebuah publikasi tidak bisa dikontrol oleh siapa pun. Dengan begitu, mudah dan cepatnya penyebaran informasi negatif juga tidak dapat dikendalikan. Melalui film Budi Pekerti, kita dapat melihat contoh kasus terjadinya hal tersebut.Â