Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Senjata Makan Tuan: Mengorbankan Kesejahteraan Demi Keamanan yang Tak Berasa

3 November 2023   20:00 Diperbarui: 3 November 2023   20:30 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cost of Inequality: Economic disparity and the fraction of workers employed as guards (Sumber: Core: The Economics)

"Oh ya andaikata dunia tak punya tentara

Tentu tak ada perang yang banyak makan biaya

Oh-oh ya andai kata dana perang buat diriku

Tentu kau mau singgah bukan cuma tersenyum" 

Begitulah kata Iwan Fals di lagunya berjudul "Pesawat Tempurku" yang mengkritik Pemerintahan Orde Baru yang rela menggelontorkan uang para pembayar pajak demi menambah pasokan alustista dan personel militer negara. Padahal pada saat itu, angka kemiskinan Indonesia tergolong cukup tinggi, yaitu sekitar 24.2% pada akhir kepemimpinan Soeharto. Ditambah lagi, adanya masalah kesenjangan sosial yang tinggi di era Orde Baru yang sering menjadi target kritik Iwan Fals di kala itu. Melalui lagu ini, Iwan Fals meminta pemerintahan Orde Baru untuk lebih peduli terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Kasarnya, pesawat tempur dan ratusan tank tidak mampu mengatasi kelaparan masyarakat Indonesia pada saat itu

Kritik Iwan Fals terhadap Orde Baru ini, bukan hanya kritik kosong belaka. Persoalan tingginya pengeluaran terhadap sektor militer sebenarnya selalu menjadi pembahasan yang hangat, bukan hanya di Indonesia dan bukan hanya pada zaman Orde Baru, tetapi juga hingga sekarang di banyak negara. Bahkan beberapa figur politik termasyhur dunia seperti Margaret Thatcher dan George Bush seolah-olah satu suara dengan Iwan Fals. Di mana, Bush dan Thatcher melalui kampanyenya, mempopulerkan istilah "Peace dividend" yang menyatakan adanya keuntungan ekonomi jika sebuah negara memutuskan untuk menurunkan tingkat pengeluaran militer mereka.  Maka dari itu, banyak sekali orang yang mempertanyakan para elit pemerintahan di masa sekarang. Apakah sepadan mengorbankan kesejahteraan masyarakat demi meningkatkan level keamanan negara?

Agresi Masyarakat Terhadap Pengeluaran Militer

Contoh kasusnya dapat dilihat dari berita yang dilansir dari NBC 10 News pada November 2021. Berita tersebut mengungkapkan bahwa terjadi protes yang dilakukan oleh beberapa organisasi anti perang di Amerika Serikat terhadap keputusan pemerintah AS yang berencana untuk meningkatkan pengeluaran militer mereka sebesar 37 triliun US Dollar. Protes ini kemudian direspon pemerintah AS dengan alasan yang cukup klasik terkait peningkatan pengeluaran militer ini, yaitu: "To protect America and support the troops" kata Jim Langevin, seorang politisi Amerika dari partai Republican.  

Kritik yang dilayangkan oleh para pengunjuk rasa di AS ini sebenarnya sama seperti kritik yang dilayangkan oleh Iwan Fals di lagunya yang berjudul "Pesawat Tempurku". Mereka percaya pengeluaran pemerintah yang besar di sektor militer seharusnya bisa dialihkan untuk program pemberdayaan masyarakat seperti redistribusi pendapatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekaligus mengurangi tingkat kesenjangan sosial. Dengan kata lain, mengorbankan uang pajak demi meningkatkan kualitas pasokan alutsista dan militer di AS dianggap tidak ada urgensinya oleh banyak masyarakat.

Perbandingan Pengeluaran Militer AS Dengan 9 Negara Yang Memiliki Pengeluaran Militer Terbesar Di Dunia (Sumber:Visual Capitalist)
Perbandingan Pengeluaran Militer AS Dengan 9 Negara Yang Memiliki Pengeluaran Militer Terbesar Di Dunia (Sumber:Visual Capitalist)

Data dari Stockholm International Research Institute menggabungkan total anggaran 10 negara dengan pengeluaran militer terbesar di dunia termasuk AS. Data tersebut menunjukkan bahwa pengeluaran militer AS yang di tahun 2021 dianggarkan pada angka 778 triliun US dollar, nominal tersebut masih lebih besar dibandingkan total pengeluaran militer dari 9 negara lainnya di dunia dengan pengeluaran militer tertinggi setelah AS. Hal ini kemudian membentuk keresahan bagi organisasi-organisasi anti perang di AS, sebagaimana dana sebesar 778 trilliun US dollar ini seharusnya dapat dialihkan untuk pengeluaran di sektor kesehatan dan pendidikan yang jumlah anggarannya hanya berbeda tipis dengan anggaran militer. Berdasarkan Department of the Treasury and the Bureau of the Fiscal Service, anggaran AS untuk sektor kesehatan pada tahun 2021 hanya berada di angka 889 triliun US dollar dan untuk sektor pendidikan berada di angka 797.7 triliun US Dollar. Secara jelas, penambahan pengeluaran terhadap kedua sektor ini bisa memberikan kontribusi secara langsung terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat AS secara keseluruhan. 

Menggali Hubungan Pengeluaran Militer dan Kesenjangan Sosial 

Jika kita melihat tren sejarah, terdapat peningkatan kesenjangan sosial di sebuah negara yang pengeluaran sektor militernya sedang tinggi-tingginya. Contohnya, pada periode 1981 hingga 1986---tepat 6 tahun setelah berakhirnya perang Vietnam---Amerika Serikat yang berperan sebagai salah satu aktor utama di dalam perang Vietnam kala itu sedang gencar-gencarnya meningkatkan pengeluaran militer mereka dengan pengeluaran militernya tumbuh dua kali lipat lebih besar dibandingkan pertumbuhan GDP mereka tahun itu. Pada waktu yang sama, kelompok 20% populasi termiskin di Amerika mengalami penurunan pendapatan sebesar 11%, sedangkan di sisi lain 20% populasi terkaya di Amerika malah mengalami peningkatan pendapatan sebesar lebih dari 5% (Abell, 1994). 

Terjadinya fenomena ini dapat dijelaskan dengan model "Gun's and Butter" yang dipionirkan oleh seorang ekonom yang berasal dari Yale University bernama Bruce Russet melalui jurnal nya yang berjudul "Who Pays For Defense". Jurnal yang mempertanyakan siapakah sebenarnya yang diuntungkan dari besarnya pengeluaran militer ini, pada akhirnya melahirkan sebuah model ekonomi bernama "Gun's and Butter". Melalui model Production Possibility Frontier sederhana, teori ini dapat menjelaskan bagaimana guns, yang merupakan representasi dari pengeluaran militer yang besar, dapat menyebabkan berkurangnya butter, yang merupakan representasi dari pengeluaran pemerintah untuk program-program sosial yang menargetkan peningkatan terhadap kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.

Model Production Possibility Frontier:  Guns Vs Butter (Sumber: dokpri)
Model Production Possibility Frontier:  Guns Vs Butter (Sumber: dokpri)

Oleh karena itu, teori ini menunjukkan trade off antara pengeluaran militer dengan pengeluaran pemerintah terhadap program-program sosial yang sifatnya redistributif dan predistributif. Redistributif yaitu program-program yang bertujuan untuk meredistribusi pendapatan dari masyarakat kaya ke masyarakat miskin, contohnya program unemployment compensation (UC) Amerika Serikat yang menyediakan pendapatan sementara bagi masyarakat AS yang kehilangan pekerjaan, sedangkan program-program yang bersifat predistributif, yang tujuannya untuk meningkatkan endowment masyarakat-masyarakat miskin, contohnya seperti program yang dapat meningkatkan peluang anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu untuk dapat mengikuti pendidikan yang lebih tinggi.   

Alhasil, besarnya pengeluaran di sektor militer Amerika pada periode 1981 hingga 1986 menyebabkan meningkatnya kesenjangan sosial di Amerika Serikat pada periode itu. Hal ini disebabkan oleh pendanaan sektor militer yang sangat besar dan pada akhirnya membuat Pemerintah Amerika Serikat harus mengorbankan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat mereka melalui program-program sosial. 

Cost of Inequality: Economic disparity and the fraction of workers employed as guards (Sumber: Core: The Economics)
Cost of Inequality: Economic disparity and the fraction of workers employed as guards (Sumber: Core: The Economics)

Jika kita ingin membuat perbandingan, terlihat secara jelas bahwa negara-negara yang pengeluaran militernya tergolong besar memiliki tingkat kesenjangan sosial yang lebih tinggi, dibanding negara-negara yang tingkat pengeluaran militernya tergolong kecil. Berdasarkan sebuah jurnal yang dirilis oleh University of Massachusetts, negara-negara yang memiliki guard labour yang sangat besar seperti AS yang memiliki 2.200.000 personel guard labour ataupun Inggris Raya yang memiliki sekitar 1.500.000 personel, memiliki tingkat "inequality in disposable income" yang lebih besar ketimbang negara-negara Nordic seperti Denmark, Finland dan Sweden yang notabenenya jarang mengikuti perang dan memiliki personel militer yang jauh lebih sedikit dibandingkan AS dan Inggris Raya (Jayadev, 2006). Hal ini kemudian membuat pengeluaran militer negara-negara Nordic jauh di bawah AS dan UK yang memungkinkan mereka untuk menyisihkan sebagian besar dari uang pajak masyarakatnya ke program pemberdayaan masyarakat sehingga mampu menurunkan tingkat kesenjangan sosial di negara mereka. 

Dilema Pengeluaran Militer Indonesia

Lalu, seperti apakah nasib Indonesia? Apakah kritikan Iwan Fals dalam lagunya yang berjudul "Pesawat Tempurku" didengar oleh para elit politik setelah masa Orde Baru?  Jika dibandingkan dengan AS ataupun Inggris Raya, Indonesia sebenarnya bisa dijadikan contoh negara yang memiliki jumlah pengeluaran militer yang tergolong wajar dengan  mempertimbangkan  luas wilayah dan posisi geografis Indonesia yang cukup strategis. Berdasarkan Informasi APBN 2023 yang dirilis oleh Kementerian Keuangan, pengeluaran militer Indonesia untuk tahun 2023 hanya dianggarkan sebesar 5.98% saja dari total anggaran pemerintah, atau sekitar 134.3 triliun rupiah. 

Dengan anggaran militer negara yang tergolong wajar, ruang di dalam APBN Indonesia bagi pengeluaran di sektor lain menjadi terbuka. Di mana pemerintah sejak masa reformasi, mulai meningkatkan pengeluaran terhadap sektor-sektor yang berkontribusi secara langsung dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Contohnya di sektor pendidikan, yang berdasarkan data dari Universitas Muhammadiyah Malang mengalami peningkatan pasca reformasi. Apabila dibandingkan dengan masa orde baru, anggaran sektor pendidikan tidak pernah mencapai lebih dari 10% total APBN. Namun, di era presiden Jokowi, sektor pendidikan dianggarkan di angka 10.42% dari total APBN 2023. Bahkan di era presiden SBY pada tahun 2010, anggaran sektor pendidikan pernah mencapai 20% APBN di tahun itu. Contoh lainnya  adalah dengan adanya ada penyaluran dana desa semenjak tahun 2015 sebagai kebijakan yang bersifat predistributif sehingga dapat meningkatkan endowment yang dimiliki oleh masyarakat-masyarakat di daerah terpencil.

Sebenarnya permasalahan utama pengeluaran militer Indonesia bukan berada di kuantitas atau jumlah anggaran militernya. Namun, sejatinya berada pada kualitas alokasi dana anggaran militer yang inefisien. Dengan anggaran militer sebesar 134.3 triliun rupiah per tahun, cukup mengherankan jika hanya ada 60% dari 13.500 unit alusista yang dimiliki oleh TNI yang bisa berfungsi maksimal menurut Al Araf, seorang pengamat militer yang diwawancarai oleh TvOne. 

Usut punya usut, anggaran sebesar 134.3 triliun rupiah ini ternyata tidak semuanya digunakan untuk pendanaan hal-hal yang berkaitan dengan pertahanan. Sebagian besar anggaran tersebut digunakan untuk hal-hal yang bersifat non militer.  Berdasarkan artikel yang dirilis oleh Republika, Direktur Utama Asabri, Wahyu Suparno, melaporkan bahwa terdapat 464.000 personel militer non aktif yang masih menjadi tanggungan negara. Sepanjang tahun 2022, total pembayaran dana pensiun dari anggaran pendapatan belanja negara sebesar Rp 16,09 triliun yang dibayarkan setiap bulan dan disalurkan melalui 14 mitra bayar di Indonesia. Pengeluaran ini akan terus bertambah secara signifikan jika negara terus menjadikan sektor pertahanan sebagai sarana pembukaan lapangan pekerjaan, di mana, setiap tahunnya TNI menerima ribuan personel baru. Personel-personel baru inilah yang akan menambah jumlah tanggungan negara ketika mereka sudah pensiun di masa depan. Ditambah lagi, berdasarkan statement Kementerian Keuangan, saat ini kewajiban jangka panjang program pensiun bagi pensiunan PNS dan TNI sudah mencapai 2.929 triliun rupiah.  

Selain itu, kontributor utama inefisiensi anggaran militer Indonesia juga berasal dari  gaji dan tunjangan jabatan para perwira berbintang maupun kolonel yang berdasarkan tribunnews.com perbulannya saja bisa mencapai Rp 48.867.500 dan angka ini belum termasuk tunjangan-tunjangan lain nya. Namun sebenarnya yang menjadi fokus utama permasalahan ini adalah keberadaan 150 perwira berbintang dan 500 kolonel yang tidak memiliki jabatan alias menganggur berdasarkan laporan BBC, yang mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki jumlah personel militer yang terlalu banyak. Keberadaan ratusan perwira berbintang dan kolonel yang menganggur ini berkontribusi secara langsung terhadap inefisiensi pengeluaran militer Indonesia. Dimana ratusan perwira berbintang dan kolonel ini dengan pendapatan hampir 10x lipat gaji UMR Ibu Kota, sehari-harinya pergi ke kantor hanya untuk ikut apel harian tanpa adanya tanggung jawab pekerjaan. Oleh karena itu, mereka sama sekali tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan tingkat pertahanan negara, hanya menggerus uang pajak masyarakat saja. 

Hal ini kemudian menyebabkan program-program sosial yang sudah dikorbankan untuk mendanai pengeluaran militer menjadi sia-sia. Anggaran program-program sosial yang sudah dikorbankan untuk pengeluaran militer, nyatanya tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan level keamanan negara. Tanpa adanya perombakan anggaran militer, sebenarnya lebih baik jika dana-dana militer tersebut dialihkan untuk program-program sosial saja yang memang secara hasil bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Toh jika masih terus seperti ini, tidak akan ada peningkatan yang berarti dari kekuatan militer Indonesia. 

Maka sudah sepatutnya pemerintah mengkaji ulang dan jika perlu, membuat perombakan terhadap anggaran militer Indonesia. Perombakan yang dimaksud bukan berarti perlu adanya penambahan atau pengurangan terhadap anggaran militer Indonesia. Namun, lebih kepada bagaimana uang pajak sebesar 134,3 triliun rupiah yang sudah dianggarkan untuk pengeluaran militer ini benar-benar bisa meningkatkan keamanan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Tanpa adanya perubahan, kesejahteraan masyarakat yang sudah dikorbankan demi anggaran militer menjadi sia-sia.

Diulas oleh: Reyhan Muhammad Hatta | Ilmu Ekonomi 2023| Trainee Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2023/2024

Referensi:

Ansar, A. (2021, November 9). Perbandingan Gaji Dan Tunjangan Panglima TNI Andika Perkasa dan Kapolri Listyo Sigit, Besar Mana? tribuntimur.com. Retrieved November 2, 2023, from https://makassar.tribunnews.com/2021/11/09/perbandingan-gaji-dan-tunjangan-panglima-tni-andika-perkasa-dan-kapolri-listyo-sigit-besar-mana?page=all 

BBC.com. (2019, February 7). Ratusan jenderal dan kolonel TNI menganggur: Antara dwifungsi dan "anggaran gaji yang hangus sia-sia." BBC News Indonesia. Retrieved November 2, 2023, from https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47146488 

D Abell, J. (1994). Military Spending and Income Inequality. Journal of Peace Research, 31, 35--43. https://www.jstor.org/stable/425581 

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. (2010, August 18). Grafik Anggaran Pendidikan 2005 - 2010. Keguruan UMM. Retrieved November 2, 2023, from https://keguruan.umm.ac.id/id/berita/grafik-anggaran-pendidikan-2005-2010.html 

Farley, A. (2023, August 1). What Does "Guns and Butter" Mean in Government Spending? Investopedia. Retrieved November 2, 2023, from https://www.investopedia.com/ask/answers/08/guns-butter.asp#:~:text=%22Guns%20and%20Butter%22%20describes%20the,or%20family%20assistance%2C%20the%20butter. 

Ibrahim, M. (2023, August 9). Ini Negara dengan Anggaran Militer Terbesar di Dunia, Indonesia Nomor Berapa? infobanknews.com. Retrieved October 29, 2023, from https://infobanknews.com/ini-negara-dengan-anggaran-milter-terbesar-di-dunia-indonesia-nomor-berapa/#:~:text=Lantas%2C%20bagaimana%20dengan%20posisi%20Indonesia,di%20Indonesia%20mencapai%20Rp133%20triliun 

Jayadev, A., & Bowels, S. (2006). Guard Labor. Journal of Development Economics, 79, 328--348. https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2006.01.009 

Kemenkeu. (2023). Informasi APBN 2023 (2023rd ed.). Media Kemenkeu.

Levine, M. (2021, November 14). Protesters voice concerns for military spending increase amid housing, other needs. NBC 10 News. Retrieved October 28, 2023, from https://turnto10.com/news/local/protestors-voice-concerns-for-military-spending-increase-amid-housing-other-needs 

Mintz, A., & Huang, C. (1991). Guns versus Butter: The Indirect Link. American Journal of Political Science, 35, 738--757. https://doi.org/10.2307/2111564 \

Puspaningtyas, L. (2023, June 29). Setelah Diterpa Kasus Korupsi, Asabri Salurkan Dana Pensiun Rp 16,09 triliun. Republika. Retrieved October 30, 2023, from https://ekonomi.republika.co.id/berita/rwzok6502/setelah-diterpa-kasus-korupsi-asabri-salurkan-dana-pensiun-rp-1609-triliun#:~:text=REPUBLIKA.CO.ID%2C%20JAKARTA,ribu%20peserta%20pensiun%20pada%202022 

Russett, B. (1969). Who Pays For Defense. The American Political Science Review, 63, 412--426. https://doi.org/10.2307/1954697 

Tim CNN Indonesia. (2022, August 25). Pensiunan PNS hingga TNI Bebani Negara Rp 2.929 T. CNN Indonesia. Retrieved October 29, 2023, from https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220825104939-532-838936/pensiunan-pns-hingga-tni-bebani-negara-rp2929-t 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun