Dewasa ini, dominasi para pengembang lahan telah mentransformasi penggunaan lahan terkhususnya dalam kota-kota di sekitar Jakarta. Kini, lahan-lahan tersebut telah diprivatisasi dan melahirkan formal real estate market. Fenomena ini juga kerap dikenal dengan neoliberalising urbanism. Selain itu, adanya relasi informal yang kuat antara pemerintah dan para pengembang lahan menjadi alasan dibalik merebahnya industri pengembangan lahan atau properti begitu kuat hingga saat ini.Â
Gentrifikasi atau Utilisasi?
Kian waktu, kebijakan permisif malah justru bersifat "represif" bagi beberapa pihak. Lahan yang dulu hampa dan ditujukan untuk pertanian kini dialihfungsikan menjadi kawasan perumahan. Lantas, mengapa hal ini dipermasalahkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat alasan dibalik pengalihfungsian lahan. Sebelum menjadi menjadi kawasan layak huni, sebagian besar lahan berisikan hasil pertanian atau agrikultur. Nilai hasil lahan yang tidak mencekik membuat nilai jual lahan tersebut cenderung murah. Harganya yang relatif murah dijadikan momentum oleh para pengembang lahan untuk memfasilitasi gated communities bagi lapisan kelas menengah. Hal ini kemudian menjadi pemicu dari fenomena gentrifikasi. Fenomena ini kemudian berimplikasikan pada harga lahan dan properti yang melambung tinggi. Dengan demikian, fenomena ini menindas masyarakat kurang mampu karena mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan papan mereka. Alhasil, mereka perlu pindah dari hunian asalnya (Medha & Ariastia, 2017).
Utilisasi lahan kini menjadi tombak tajam bagi masyarakat kurang mampu. Gated communities yang arah pembangunannya cenderung bersifat horizontal akan semakin mengambil alih hak masyarakat kurang mampu untuk mendapatkan hunian yang nyaman dan murah. Dengan demikian, adanya kesenjangan pada pendapatan akan berimplikasikan dalam akses untuk memenuhi kebutuhan papan bagi setiap lapisan masyarakat.
Remedi dari Fenomena Gated Community
Masyarakat global telah mengakui dampak dari fenomena ini secara gamblang. Beberapa kebijakan telah direkomendasikan sebagai upaya dalam menekan kesenjangan. Tiongkok merupakan salah satu negara di antaranya. Pada tahun 2016, pemerintah setempat telah merilis sebuah panduan yang bertajuk "Several Recommendations for Strengthening Urban Planning, Construction, and Management". Panduan tersebut merekomendasikan bahwa pengembangan baru atau "new development" tidak diperbolehkan untuk membangun gated communities lainnya. Meskipun demikian, rekomendasi ini telah menuai perdebatan hangat di tengah masyarakat. Â
Di sisi lain, rekomendasi ini menjadi sebuah pemicu untuk menemukan alternatif lain untuk meruntuhkan batasan-batasan dalam kota atau "ungate the city". Para ahli mencetuskan untuk melakukan redesign superblock. Superblock sendiri telah menjadi wajah dari kehidupan masyarakat tiongkok dengan gedung-gedungnya yang menjulang tinggi. Dengan dicetuskannya alternatif ide redesign superblock, permukiman masyarakat yang lebih inklusif dengan dibentuknya finer network.
Gated communities juga turut menimbulkan keresahan di Amerika Serikat. Adanya ketimpangan yang begitu terpampang dalam permukiman akibat gated community, mendorong para pembuat kebijakan untuk melaksanakan inclusionary zoning di permukiman masyarakat. Inclusionary zoning merupakan sebuah kebijakan bagi pengembang lahan atau developers untuk menjual sebagian dari unitnya dengan harga yang lebih terjangkau (Bento, et al., 2009). Kebijakan yang ditujukan untuk mempromosikan inklusivitas ini telah terbukti untuk meningkatkan multi-family housing supplies di California.Â
Meskipun demikian, program ini juga bertindak layaknya pisau bermata dua. Dilaksanakannya program inclusionary zoning justru dapat berdampak dalam memperlambat pertumbuhan supply rumah dari pihak pengembang lahan. Analisis ini dilakukan dengan melakukan perbandingan dengan kota yang tidak melaksanakan program inclusionary zoning (Bento, et al., 2009). Dalam jangka panjang, kebijakan ini mampu memberatkan para pengembang lahan atau developer karena adanya kebijakan atau program inclusionary zoning (Pratama, 2022).