Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gentrifikasi Pariwisata: Menilik Bayang-Bayang Bahaya Latennya bagi Negara Berkembang

28 April 2023   19:23 Diperbarui: 28 April 2023   21:51 1637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Figur 1. Persentase persebaran digital nomad di seluruh dunia per Maret 2023, berdasarkan kewarganegaraan. (Sumber: Statista, 2023)

Alunan Gamelan Bali, kehangatan pasir pantai, dan suara debur ombak menjadi sumber ketenangan tersendiri bagi siapa pun yang bertandang ke Pulau Dewata. Keindahan panorama dan keunikan budayanya menjadi pesona yang memikat hati turis asing dari seluruh dunia untuk menetap di pulau ini. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Sandiaga Salahudin Uno, industri pariwisata telah menjadi sektor andalan selain minyak dan gas sebagai penyumbang penerimaan devisa terbesar. Tidak hanya Indonesia, negara-negara berkembang lain pun menaruh perhatian khusus pada industri ini sehingga melahirkan fenomena gentrifikasi. Dalam rangka memenuhi ekspektasi para turis asing untuk mendapatkan pengalaman yang autentik, kawasan-kawasan permukiman tradisional mengalami transformasi sosio-spasial dan ekonomi sebagai akibat dari komersialisasi ruang yang masif. Sayangnya, dalam banyak kasus, proses gentrifikasi wilayah juga disertai dengan perilaku represif para investor serta pemerintah daerah terhadap penduduk lokal.  

Fenomena gentrifikasi didukung pula dengan adanya peningkatan mobilitas antarnegara selepas merebaknya pandemi Covid-19 dan berseminya kultur work from home atau work from anywhere yang mendorong pertumbuhan jumlah digital nomad di negara-negara berkembang. Dalam beberapa dekade ke belakang, terdapat tendensi di kalangan masyarakat negara maju untuk memandang negara berkembang sebagai tempat "escape" atau pelarian dari rutinitas hidup yang monoton di negara asalnya. Romantisasi yang tidak realistis terhadap eksotisme negara-negara berkembang mencerminkan penafsiran keliru sebagian masyarakat negara maju mengenai realitas kompleks yang sebenarnya terjadi, termasuk tantangan sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh penduduk lokal. Lonjakan turis asing maupun digital nomad ini akan secara bertahap mengarah pada fenomena transnational gentrification--yaitu proses gentrifikasi wilayah di negara berkembang yang melibatkan pihak dari negara maju sebagai pelaku utama. Fenomena ini dapat terjadi ketika para individu atau kelompok dari negara maju membeli atau menyewa properti di wilayah negara berkembang, yang sering kali dianggap sebagai tempat eksotis untuk dihuni atau dijadikan sebagai tempat bisnis atau investasi.

Gentrifikasi pariwisata menyimpan banyak bahaya laten yang dapat sewaktu-waktu melukai masyarakat serta wilayah yang terdampak. Memang tidak dapat disangsikan bahwa gentrifikasi pariwisata merupakan proses yang esensial untuk menyokong perekonomian nasional, namun bagaimana dengan sisi lain gentrifikasi pariwisata--yaitu proses diskriminasi serta eksploitasi yang tanpa sadar merepresi komunitas lokal?

 Nomadisme Digital, Globalisasi atau Neokolonialisasi?

Semenjak pandemi Covid-19 melanda dunia, sistem remote working telah menjadi realitas baru dalam dinamika kerja global sehingga tren digital nomad meroket. Terminologi "digital nomad", yang pertama kali muncul pada tahun 1997, merujuk pada "gaya hidup yang tidak bergantung pada lokasi dan didukung teknologi". Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif lalu merespons arus digitalisasi ini dengan mencanangkan rencana penerbitan "digital nomad visa" (DNV) bagi turis yang ingin berlibur sekaligus bekerja secara remote dari Indonesia sehingga mereka dapat menetap untuk durasi yang panjang dengan legal. Menurut data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, ada sekitar 13.000 wisatawan yang masuk ke dalam kategori digital nomad sepanjang Januari-Agustus 2022 dengan area Canggu di Bali sebagai destinasi utama. Beberapa negara berkembang seperti Kosta Rika dengan program "Rentista Visa", Georgia dengan program "Remotely from Georgia", Barbados dengan program "Barbados Welcome Stamp", dan Mauritius dengan program "Mauritius Premium Travel Visa" juga memutuskan untuk meluncurkan program DNV sebagai bagian dari strategi pemulihan perekonomian nasional pasca pandemi Covid-19. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa digital nomad menyumbang kontribusi yang bervariasi bagi perekonomian suatu negara; mulai dari peningkatan devisa negara, pembangkitan kembali Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal, sampai diversifikasi tenaga kerja, dimana sebagian besar digital nomad membawa ragam keahliannya ke dalam banyak sektor ekonomi lokal seperti teknologi, informasi, dan industri kreatif. Namun, di balik berlimpahnya manfaat ekonomis yang ditawarkan oleh para pendatang ini, penduduk setempat juga dihadapkan pada suatu persoalan krusial.

Dilihat dari latar belakangnya, sebagian besar digital nomad terutama di Bali, 33% di antaranya memiliki gelar magister atau doktor, lalu hampir 27% menghasilkan antara $3.000 hingga $5.000 (USD), dan 35% menghasilkan antara $1.000 hingga $3.000 per bulan (Prabawa & Pertiwi, 2020). Hal ini tentu tidak proporsional dibandingkan dengan pekerja lokal yang hanya mampu menghasilkan rata-rata $170 per bulan dengan rata-rata gelar SMA dan tingkat literasi komputasi yang rendah. Seiring waktu, kehadiran wisatawan yang berprivilese akan mengubah struktur ekonomi dan demografi daerah-daerah ramah turis di negara berkembang.

Figur 1. Persentase persebaran digital nomad di seluruh dunia per Maret 2023, berdasarkan kewarganegaraan. (Sumber: Statista, 2023)
Figur 1. Persentase persebaran digital nomad di seluruh dunia per Maret 2023, berdasarkan kewarganegaraan. (Sumber: Statista, 2023)

Mayoritas digital nomad datang dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang dengan mengantongi banyak privilese. Kuatnya nilai mata uang dari negara maju membuat digital nomad memiliki daya beli yang jauh lebih tinggi dibandingkan masyarakat lokal sehingga berujung pada peningkatan harga properti, harga bahan baku, dan biaya hidup secara keseluruhan di daerah yang telah tergentrifikasi. Bisnis-bisnis tradisional seperti warung makan yang awalnya diperuntukkan bagi warga setempat akan beralih fungsi menjadi bisnis yang mengakomodasi selera dan kebutuhan para wisatawan asing seperti kafe, bar, ataupun pub. Fenomena ini semakin diperparah oleh keberadaan wisatawan jangka panjang yang dapat menyewa apartemen melalui layanan seperti Vrbo dan Airbnb selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Kesenjangan pendapatan, budaya, dan standar hidup inilah yang memantik penggusuran serta marginalisasi terhadap masyarakat lokal di kampung halamannya sendiri. Ini yang menjadi salah satu kontroversi utama nomadisme digital, yaitu nuansa neokolonialismenya. Pola eksploitasi ini mengingatkan kita kepada bagaimana negara-negara Barat menggunakan pandangan white supremacy dan modernitas negaranya untuk "mengindustrialisasi" dan menjajah negara-negara non-Barat. Secara tidak sadar, digital nomad tidak hanya mengindahkan dan mengabadikan mitos supremasi Barat, tetapi mereka juga memotivasi sesamanya untuk memperlakukan negara-negara berkembang  sebagai tempat pelarian.

Gentrifikasi: Menggusur, Mengubah, Mengkomodifikasi

Gentrifikasi pada hakikatnya merupakan pengembangan dan transformasi lingkungan perkotaan tradisional yang erat kaitannya dengan pengusiran atau penggusuran penduduk lokal kelas bawah yang berpenghasilan rendah oleh pendatang kelas atas yang berpenghasilan lebih tinggi (the gentry). Davidson dan Lees (2005) mendefinisikan komponen-komponen gentrifikasi sebagai "(1) reinvestasi modal; (2) social upgrading oleh kelompok berpenghasilan tinggi yang datang; (3) perubahan lanskap; dan (4) penggusuran secara langsung atau tidak langsung terhadap kelompok berpenghasilan rendah". Gentrifikasi pariwisata terjadi ketika wisatawan dan konglomerasi bisnis pariwisata menjadi pelaku utama dari terjadinya transformasi dan penggusuran ini. Untuk mengakomodasi kebutuhan dan kenyamanan para wisatawan, investor akan membeli properti di permukiman yang kurang makmur untuk direvitalisasi menjadi daerah "ramah turis" sehingga berpotensi mengakibatkan kenaikan harga sewa, rumah, dan pajak properti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun