"Uju Di Ngolukkon Ma Nian Tupa Ma Bahen Akka Nadenggan. Asa Tarida Sasude Holong ni Rohami Marnatua-Tuai" begitu penggalan lagu 'Uju di Ngolukkon' yang artinya "Sebaiknya di saat hidupku ini, lakukanlah segala yang terbaik, supaya terlihat semua rasa sayangmu kepada orang tua"
Salah satu soundtrack dari film "Ngeri Ngeri Sedap" besutan Bene Dion Rajagukguk ini bercerita tentang harapan tinggi orang tua kepada anak-anaknya agar melakukan yang terbaik.Â
Film ini mengangkat persoalan dalam sebuah keluarga berlatar belakang suku Batak tentang hubungan yang tidak harmonis antara Pak Domu dan ketiga anak laki-lakinya.Â
Berbagai penyebab melatarbelakangi: pekerjaan anak yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua, anak yang enggan kembali ke kampung halaman, serta calon menantu yang bukan berasal dari suku Batak.Â
Satu hal yang membuat film ini berhasil meruntuhkan tembok pertahanan emosi para penontonnya: Meski berlatar kesukuan, namun masalah yang diangkat sangat umum dan hampir ditemui dalam setiap keluarga dalam balutan yang berbeda-beda.Â
Pak Domu adalah gambaran umum dari kalangan Baby Boomers---mereka yang lahir antara tahun 1946-1964 atau usianya sekitar 58-76 tahun saat ini.Â
Karakternya tegas dan berprinsip, serta memegang teguh nilai-nilai budaya kedaerahan yang tertanam dalam pola pikirnya sejak kecil. Hal ini bertolak belakang dengan ketiga anak laki-lakinya yang mewakili kalangan Millennials, mereka yang lahir antara tahun 1980-1996, yang sudah merantau ke kota besar dan pola pikirnya lebih 'maju'.
Sebetulnya, tidak ada konsensus yang universal terkait perbedaan Baby Boomers, Millennials, dan klasifikasi generasi lainnya selain batasan tahun kelahiran.Â
Namun, sering kali  kedua pihak ini terlibat selisih pendapat, hingga muncul frasa "OK Boomer" belakangan ini akibat kebiasaan generasi tua mengomentari dan mengeluhkan apa pun yang dilakukan oleh generasi muda.
Sebagaimana yang terjadi dalam keluarga Pak Domu, perseteruan antar generasi acap kali terjadi karena orang tua sering membanding-bandingkan kondisi hidup pada zaman dulu dengan kondisi anak-anak mereka saat ini yang dianggap lebih modern.Â
Mereka serta merta memaksakan kehendak pada anak-anaknya berdasarkan apa yang mereka lakukan dulu. Lantas, bagaimana Boomers yang mewariskan anak-anak mereka dengan begitu banyak kenyamanan dan kemudahan hari ini juga membawa peluang sekaligus tantangan pada masa depan mereka?
Pemulihan Ekonomi dan Pasar Tenaga Kerja
Jika dilihat dari klasifikasi umurnya, kita dapat melihat bahwa Millennials memasuki dunia kerja tepat saat Krisis Keuangan Global dan Great Recession melanda.Â
Mencoba mencari pekerjaan di periode ini sangat sulit bagi semua orang. Namun, mereka yang lebih muda dan kurang berpengalaman biasanya menanggung beban pengangguran.Â
Mengingat Millennials baru saja memasuki dunia kerja, mereka memang tidak memiliki tabungan atau aset properti yang kehilangan nilainya saat krisis keuangan tersebut.Â
Namun, mereka kehilangan pemulihan pada masa berikutnya lantaran menjadi sulit untuk mencari pekerjaan. Selama resesi, tingkat pengangguran secara keseluruhan naik menjadi 10,6%. Bahkan, tingkat pengangguran pada kategori Millennials usia kerja mencapai 15,8% dan tidak turun kembali hingga pertengahan 2018.
Sebelum krisis keuangan, asumsi umum dalam masyarakat mengatakan bahwa pekerjaan dengan upah rendah dan keterampilan dasar adalah yang paling rentan terhadap fluktuasi ekonomi.Â
Namun, selama krisis keuangan, sebenarnya pekerjaan dengan upah menengah-lah yang paling terpukul. Sekitar 60% dari pekerjaan yang hilang selama 2008 hingga 2010 adalah pekerjaan berpenghasilan menengah. Akibatnya, pekerja tingkat menengah yang biasanya dari generasi Boomers ini, harus menuruni tangga karir ke jenjang yang lebih rendah---bersaing dengan kaum Millennials yang baru memulai karir mereka.Â
Di sisi lain, perusahaan tentu lebih memilih pekerja berpengalaman yang dapat menangani tugas non-rutin dengan lebih baik.Â
Tren ini akan menghambat Millenials selama beberapa dekade karena mereka harus mengambil pekerjaan kontrak dan pekerjaan lepas (freelance) bertahun-tahun lebih lama daripada generasi sebelumnya untuk menaiki tangga karir perusahaan.
Alasan kedua di balik kondisi pasar tenaga kerja yang buruk bagi Millennials adalah bahwa kebijakan pemerintah cenderung mendorong 'pertumbuhan jangka pendek yang didanai oleh utang' daripada 'penciptaan lapangan kerja'. Pasca krisis keuangan, pemerintah terus melakukan kebijakan ekspansif dan menahan suku bunga jangka pendek di angka yang rendah.Â
Kebijakan ini menciptakan insentif bagi perusahaan untuk mengalihkan pendanaannya dari saham ke utang, alih-alih melakukan investasi jangka panjang dalam tenaga kerja mereka.Â
Kebijakan ekspansif tersebut memang harus dilakukan untuk memulihkan perekonomian pasca krisis, namun insentif lain yang terbentuk juga tidak dapat diabaikan begitu saja.
Investasi dalam Pendidikan
Mereka yang memasuki angkatan kerja setelah resesi memiliki lebih sedikit kesempatan kerja dan upah yang lebih rendah. Hal ini membuat mereka memulai karier dengan posisi yang kurang menguntungkan.Â
Pada saat yang bersamaan, para Millennials menghadapi biaya pendidikan yang lebih tinggi yang membawa mereka pada pinjaman mahasiswa dan tingkat utang pribadi yang lebih tinggi.
Bukan rahasia lagi bahwa biaya pendidikan merupakan salah satu komponen biaya dengan tingkat inflasi paling tinggi sepanjang masa. Riset GOBankingRates menemukan bahwa rata-rata biaya kuliah tahunan program sarjana di universitas telah melonjak lebih dari 3.700% antara tahun 1964 ketika Boomers termuda lahir dan tahun 2015.
Di sisi lain, tantangan yang dihadapi Millennials untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi datang dari keluarga dan orang tua.Â
Jika dibandingkan dengan Boomers pada usia sekolah dulu, tekanan ini jauh lebih hebat dengan adanya perkembangan teknologi, globalisasi, dan persaingan dalam pasar tenaga kerja yang semakin ketat. Semakin banyak orang tua yang berpikir bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan.Â
Padahal, sejatinya esensi pendidikan adalah 'investasi' pada modal manusia---mempersiapkan masa depan mulai dari saat ini. Mereka yang mengenyam pendidikan berkesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, memperluas koneksi, dan membangun karakter yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja di masa depan.Â
Apakah mereka yang tidak 'berinvestasi' tidak akan sukses? Tentu bisa, namun dengan jalan dan tantangan yang berbeda dan mungkin saja lebih sulit.
Wealth Gap yang Semakin Melebar
"Zamanmu lebih enak, semuanya serba mudah, tapi kenapa anak-anak sekarang lebih ..." dan sebagainya, sering kali dilontarkan oleh para orang tua ketika menasihati anaknya. Meski demikian, sejauh ini kita bisa menarik kesimpulan bahwa dunia yang lebih modern tidak menjamin hidup yang lebih mudah dan nyaman.Â
Lingkungan kerja yang merugikan Millennials berdampak pada manfaat pembangunan kekayaan yang diharapkan dari pekerjaan mereka. Riset Pew Charitable Trusts menyebutkan bahwa bahwa meski hampir 70 persen Boomers yang bekerja memiliki akses ke program dana pensiun yang diberikan perusahaan.
Lebih dari 40 persen Millennials yang bekerja tidak memenuhi syarat untuk berpartisipasi dalam program pensiun perusahaan karena masa kerja yang belum cukup untuk memenuhi syarat.
Kita juga bisa melihat Wealth Gap yang signifikan antara Boomers di usianya dulu dan Millennials saat ini, misalnya dari kepemilikan properti. Perilaku Boomers yang membeli banyak properti membuat harga semakin naik sehingga Millennials tidak memiliki kesempatan untuk membeli.Â
Hal itu dapat mempengaruhi kemampuan Millennials untuk pensiun dengan nyaman dan mewariskan kekayaan karena kepemilikan properti masih merupakan salah satu cara paling aman untuk membangun kekayaan.
Implikasinya, kaum Millennials cenderung menunda pernikahan, membeli rumah, dan memulai keluarga. Penghasilan yang lebih tidak stabil dan masa depan yang belum menjanjikan membuat mereka memiliki kurang komitmen untuk berkeluarga.Â
Fenomena ini sudah menjadi masalah krusial di negara-negara maju seperti Jerman dan Jepang yang menghadapi angka kelahiran negatif sementara jumlah populasi menua yang semakin meningkat membuat beban biaya kesejahteraan sosial yang semakin besar.Â
Boomers vs. Millennials: Siapa yang Lebih 'Banting Tulang'?
Rasanya tidak elok jika harus membandingkan zaman orang tua dan anak, begitu juga sebaliknya. Setiap masa memiliki dinamika dan tantangannya masing-masing. Namun yang jelas, perilaku dan pilihan yang kita ambil saat ini akan menentukan nasib anak-cucu kita di masa depan.
Kembali lagi, hidup di dunia yang lebih maju tidak selamanya memberikan kemudahan. Mungkin saja, dalam 30 tahun ke depan, anak-anak kita juga akan mengeluh dan menuliskan hal yang sama.Â
Maka berhentilah untuk menuntut pola pikir yang sama, cara yang sama, dan hasil yang sama, seperti yang dilakukan Pak Domu pada anak-anaknya. Memaksakan kehendak orang tua tidak selamanya relevan dalam setiap situasi.
Seperti kata Opung Domu ketika menasihati Pak Domu: "Kalau anak berkembang, orang tua juga harus berkembang. Jadi orang tua itu gak ada tamatnya, harus terus belajar."
Diulas oleh: Ebenezer Mesotuho Harefa | Ilmu Ekonomi 2021 | Staff Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2022
Referensi:
The Economist Newspaper. (n.d.). Smashed like avocados: How young people are treated by their elders. The Economist. Retrieved July 22, 2022, from https://www.economist.com/open-future/2019/07/10/smashed-like-avocados-how-young-people-are-treated-by-their-elders
Hobson, J. (2019, May 14). Are baby boomers putting their Millennial Children at Financial Risk? Are Baby Boomers Putting Their Millennial Children At Financial Risk? | Here & Now. Retrieved July 22, 2022, from https://www.wbur.org/hereandnow/2019/05/14/baby-boomers-millennials
Hotchkiss, J. L. (2022). Millennials: Maligned or miscreants? Southern Economic Journal, 88(4), 1248--1276. https://doi.org/10.1002/soej.12560
Leonhardt, M. (2019, November 5). Millennials earn 20% less than baby boomers did-despite being better educated. CNBC. Retrieved July 22, 2022, from https://www.cnbc.com/2019/11/05/millennials-earn-20-percent-less-than-boomersdespite-being-better-educated.html
Martin, G., & Roberts, S. (2021). Exploring legacies of the baby boomers in the twenty-First Century. The Sociological Review, 69(4), 727--742. https://doi.org/1b0.1177/00380261211006326
Pew Research Center. (2020, May 30). The rising cost of not going to college. Pew Research Center's Social & Demographic Trends Project. Retrieved July 22, 2022, from https://www.pewresearch.org/social-trends/2014/02/11/the-rising-cost-of-not-going-to-college/
Santoso, M. (2020, May 1). OK boomer vs Kids Zaman now: Mengapa Orang Tua Selalu mengeluhkan Generasi Muda. kumparan. Retrieved July 22, 2022, from https://kumparan.com/melysantoso/ok-boomer-vs-kids-zaman-now-mengapa-orang-tua-selalu-mengeluhkan-generasi-muda-1suaoMamBM0
Sternberg, J. C. (2019). The theft of a decade: How the baby boomers stole the Millennials' Economic Future. PublicAffairs.
Willetts, D. (2019). The pinch how the baby boomers took their children's future - and why they should give it back. Atlantic Books.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H