Dalam dua bulan terakhir, perusahaan rintisan di seluruh dunia sedang diguncang gelombang PHK. Bahkan di pertengahan kuartal II-2022, Layoff.fyi mencatat 30.783 orang karyawan telah dipaksa berhenti.Â
Jumlah ini merupakan yang tertinggi pasca PHK massal akibat pandemi Covid-19 pada Mei 2020. Tidak terkecuali di Indonesia, sejumlah startup seperti LinkAja, Zenius, JD.ID, Pahamify, dan lainnya, juga tengah menjadi sorotan akibat permasalahan tersebut.Â
Kondisi ini kerap dikaitkan dengan fenomena "bubble burst" atau gelembung pecah di dunia startup. Lantas, apa itu "bubble burst" dan apa hubungannya dengan masalah PHK ini?
Mengenal Istilah "Bubble Burst"
Istilah "bubble" dalam konteks ekonomi umumnya mengacu pada situasi di mana harga suatu aset jauh melebihi nilai fundamentalnya. Selama "bubble", harga aset keuangan atau kelas aset sangat meningkat, tetapi hal ini tidak diimbangi oleh kenaikan dari nilai intrinsik aset.Â
Ketika terdapat suatu peristiwa pemicu, sifat spekulatif manusialah yang memungkinkan terjadinya fenomena "bubble burst". Fenomena "bubble" pecah kemudian ditandai dengan turunnya harga aset secara drastis dalam kurun waktu yang singkat.Â
Lebih jelasnya, ekonom asal Amerika, Hyman P. Minsky, menjelaskan 5 tahap dalam fenomena bubble burst.Â
Pertama, displacement atau perpindahan yang merupakan fase awal ketika para investor beralih ke paradigma baru seperti ditemukannya teknologi atau inovasi yang diyakini dapat berpeluang di masa depan.Â
Kedua, boom, yakni ketika harga mulai naik secara drastis dan aset perusahaan semakin "menjual" di mata publik. Ketiga, euphoria, yaitu fase di mana harga aset perusahaan mencapai titik tertingginya.Â
Di fase ini, para investor secara masif mulai melakukan investasi yang cukup besar walaupun belum mengetahui kepastian perusahaan dalam mengembalikan investasi atau menghasilkan profit.Â