"All of us need to understand the importance of branding. We are CEOs of our own companies: Me Inc. To be in business today, our most important job is to be head marketer for the brand called You." - Tom Peters
Saat kita mendengar nama Raditya Dika, kita akan langsung mengetahui bahwa ia adalah seorang komedian yang sangat digemari. Saat mendengar nama Maudy Ayunda, kita langsung memiliki gambaran seorang wanita yang sangat cerdas dan artis yang amat berbakat. Gambaran ini adalah kesan pertama yang orang-orang miliki tentang mereka. Apakah itu kesan yang bagus?
Satu hal yang pasti, Raditya Dika dan Maudy Ayunda merupakan dua orang yang sangat terkenal di Indonesia, yang diketahui oleh banyak orang dan memiliki net worth yang tinggi. Hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana seseorang seperti Radit ataupun Maudy dapat menggapai status ekonomi yang “tinggi” dalam bidangnya masing-masing?
Jawaban untuk pertanyaan diatas adalah personal branding. Mungkin Anda sering mendengar dari berbagai motivator, bagaimana personal branding adalah cara pengembangan diri yang baik. Tapi apakah anda tahu bahwa personal branding bisa mempengaruhi posisi ekonomi seseorang dalam kehidupan profesionalnya?
Dalam esai ini, kita akan melihat bagaimana cara kerja personal branding dan korelasinya dengan kehidupan profesional seseorang. Kita akan mengkaji dengan menggunakan beberapa teori ekonomi, antara lain job market signaling dan social capital theory.
Kemunculan Personal Branding
Istilah personal branding dipopulerkan oleh Tom Peters pada tahun 1997 dengan artikelnya yang berjudul ''The Brand Called You". Dalam artikel tersebut, Tom Peters menjelaskan bahwa personal branding sebenarnya memiliki prinsip fundamental yang sama dengan product branding yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan.
Pernyataan diatas sesuai dengan kesimpulan penelitian yang dilakukan Lair, Sullivan, dan Cheney. Dimulai pada akhir abad ke-19 dan pada periode puncaknya di tahun 1920-1970, brand product dipasarkan sebagai barang yang mampu memberikan keunggulan unik kepada konsumen. Oleh karena itu, kemunculan personal branding adalah perpanjangan alami dari product branding, yaitu menciptakan gambaran diri yang unik.
Product branding adalah sesuatu yang dapat dipasarkan, oleh karena itu terdapat nilai ekonomis di dalamnya. Begitu pula dengan personal branding, di mana pencapaian seseorang bisa dinilai secara ekonomis. Tetapi personal branding lebih berfokus pada bagaimana pencapaian orang tersebut terlihat oleh orang-orang, dan bagaimana mereka memberi sinyal positif sebagai sesuatu yang berharga bagi pihak lain.
Ada banyak definisi personal branding, tetapi ada satu kata sederhana yang menjelaskannya—persepsi. Menurut Hubert Rampersad, personal branding adalah tentang bagaimana kita memandang diri sendiri dan juga bagaimana orang lain memandang kita. Rampersad berpendapat bahwa setiap orang memiliki personal brand, terlepas dari apakah mereka mengetahuinya atau tidak. Tetapi yang terpenting adalah kita menjadi orang yang menciptakan persepsi yang dimiliki orang lain tentang diri kita dengan mengelola personal brand tersebut.
Dalam empat dekade terakhir, telah terjadi dua perubahan besar dalam masyarakat yang mendorong munculnya konsep personal branding. Perubahan pertama terjadi pada 1970-an ketika ada PHK besar-besaran di beberapa perusahaan besar di Amerika Serikat. Fenomena sosial ini menunjukkan bahwa seorang pekerja tidak bisa lagi bergantung pada satu perusahaan untuk menjadi ''penjamin seumur hidup''. Perubahan kedua berkaitan dengan teknologi dan kemampuan berkomunikasi menggunakan berbagai media online untuk bertukar pikiran.
Social Capital sebagai Tolak Ukur Personal Branding
"Personal branding is all about your unique promise of value and what you bring to the table. It's (also) about getting your potential clients to choose you as the only solution to their problem." - Dr. Sarah David"
Personal branding memang erat hubungannya dengan persepsi, namun dibalik persepsi tersebut, tentunya harus ada nilai yang dapat kita hasilkan untuk organisasi atau institusi yang mempekerjakan kita. Saat kita memiliki personal brand value yang tinggi, kita menciptakan demand. Hal ini dapat dijelaskan dalam prinsip demand of labor yang sederhana. Perusahaan akan membayar karyawan berdasarkan produktivitasnya. Jadi, kalau seorang pekerja di dalam resume pekerjaan nya menunjukkan kemampuan yang lebih dibanding pekerja lain, ataupun kemampuan yang lebih beragam, maka mereka akan diinginkan oleh perekrut.
Demand yang tinggi akan membuat market value dari orang tersebut lebih tinggi dan menaikkan citranya di mata perekrut. Bagaimana hal ini berkorelasi dengan social capital menurut perspektif ekonomi? Dalam analisis yang dilakukan Edward Glaeser, David Laibson dan Bruce Sacerdote, mereka mendefinisikan social capital individu sebagai karakteristik sosial seseorang—termasuk keterampilan sosial, dan karisma—yang memungkinkan seseorang untuk mendapatkan keuntungan pasar dan nonpasar dari berinteraksi dengan orang lain.
Dengan demikian, social capital seorang individu dapat dilihat sebagai komponen sosial. Diasumsikan bahwa social capital seorang individu mencakup kemampuan intrinsik (misalnya, sifat ekstrovert dan karismatik) dan hasil dari investasi social capital. Lebih lanjut, menurut teori social capital, sebuah branding yang baik akan sangat instrumental dalam mengamankan posisi ekonomi seseorang di dalam freelance-based labor market ini.
Implikasi Personal Branding terhadap Job Market
"The Internet has forced everyone in the world to become a marketer" - Dan Schawbel
Personal branding menjadi sangat penting pada saat ini karena adanya tren sebagian besar perekrut yang menggunakan media sosial selama proses wawancara. Menurut survei CareerBuilder 2018, 70% pengusaha menggunakan media sosial untuk menyaring kandidat selama proses perekrutan, dan 43% pengusaha menggunakan media sosial untuk memeriksa karyawan saat ini.
Munculnya personal branding juga mencerminkan perubahan struktur ekonomi, karena pekerjaan full-time yang dahulu menjadi safe zone untuk pekerja sudah tidak lagi lazim. Seperti yang dilihat oleh para ahli personal-branding, mereka hanya menanggapi realitas ekonomi baru. Perusahaan melakukan outsourcing secara agresif; globalisasi menciptakan dan menghancurkan industri lebih cepat dari sebelumnya; web mendorong pekerjaan freelance; resesi menyebabkan banyaknya PHK.
Personal branding yang kuat dapat memberikan signaling bahwa seorang pekerja memiliki kemampuan yang baik. Mengapa memberikan “signal” ini krusial? Hal tersebut melihat kepada permasalahan inti dari pasar kerja itu sendiri. Pasar kerja di zaman sekarang sangatlah dinamis, dan bisa dibilang tidak stabil. Maka dari itu, hal yang harus menjadi konsisten dan stabil adalah branding diri seseorang.
Investasi Perekrut dalam Ketidakpastian Ekonomi
Di sebagian besar pasar kerja, perekrut tidak yakin akan produktivitas seorang individu pada saat dia mempekerjakannya. Hal tersebut merupakan hal yang mutlak karena informasi ini tidak tersedia bagi pemberi kerja secara langsung saat proses perekrutan. Fakta bahwa informasi ini tidak diketahui membuat keputusan perekrut sebagai sebuah investasi di bawah ketidakpastian ekonomi.
Kepentingan utama bergantung pada bagaimana perekrut memandang investasi tersebut, karena persepsi inilah yang menentukan upah yang dia tawarkan untuk membayar. Apa yang diamati oleh perekrut adalah sejumlah besar data pribadi dalam bentuk karakter yang dapat diamati.
Pada titik ini, akan berguna bagi seorang pekerja untuk menunjukkan perbedaan dan keunikannya, sehingga perekrut bisa melihatnya sebagai keunggulan. Dari sisi pekerja, sikap pribadi yang secara kolektif membentuk citra pelamar kerja, beberapa tidak dapat diubah, sementara yang lain dapat diubah. Misalnya, pendidikan adalah sesuatu yang dapat diinvestasikan oleh seorang individu. Selain itu, kemampuan spesialisasi seperti contohnya data science dan data analysis merupakan nilai tambah yang bisa ditampilkan. Di sisi lain, karakteristik yang tidak dapat diubah umumnya seperti jenis kelamin dan umur.
Kesimpulan
Membangun personal branding dapat berfungsi sebagai jalan seseorang menuju kesuksesan profesional. Personal branding membantu kita dalam mengkomunikasikan secara ringkas nilai kita di mata masyarakat dan khususnya bagi seorang perekrut.
Namun, perlu diketahui bahwa personal branding lebih dari sekadar menunjukkan kemampuan kita, tapi bagaimana kita mempresentasikan diri kita sebagai orang yang kredibel dan konsisten.
Diulas oleh: Unix Bryan Sadikin | Trainee Divisi Kajian | Kanopi FEB UI 2021
Daftar Pustaka
Castrillon, C. (2019, February 13). Why personal branding is more important than ever. Forbes. Retrieved December 3, 2021, from https://www.forbes.com/sites/carolinecastrillon/2019/02/12/why-personal-branding-is-more-important-than-ever/?sh=29de4e0a2408.
Giridharadas, A. (2010, February 26). Branding and the 'me' economy. The New York Times. Retrieved December 3, 2021, from https://www.nytimes.com/2010/02/27/us/27iht-currents.html.
Glaeser, E. L., Laibson, D., & Sacerdote, B. (2002). An Economic Approach to Social Capital. The Economic Journal, 112, 437--458.
Philbrick, J. L., & Cleveland, A. D. (2015). Personal branding: Building your pathway to professional success. Medical Reference Services Quarterly, 34(2), 181--189. https://doi.org/10.1080/02763869.2015.1019324
Spence, M. (1973). Job Market Signaling. The Quarterly Journal of Economics, 87(3), 355--374. https://doi.org/10.2307/1882010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H