Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money

Realitas Pahit Nutrisi: Rapuhnya Konstruksi antara Manusia dan Makanan

6 Agustus 2021   19:02 Diperbarui: 6 Agustus 2021   19:30 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak terhitung berapa kali dalam hidupnya manusia mengulurkan tangan untuk mengambil camilan di sore hari, duduk beramai-ramai di ruang makan, dan memandangi pilihan makanan di menu bersama kerabat terdekat. Makanan telah lekat dengan kehidupan sehari-hari. Seharusnya, memilih makanan menjadi kebiasaan di luar kepala. Siapa menyangka, hal yang begitu primer dan kecil ternyata dapat memakan waktu dan pikiran kita?

Merenungkan Jembatan antara Manusia dengan Makanan

Banyak dekade telah berlalu sejak berdirinya sekolah formal di seluruh dunia. Namun, sampai detik ini, masih terdapat celah dalam pendidikan, seperti edukasi nutrisi. Pendidikan nutrisi bagai angin lewat; teori yang diajarkan sepintas saja dan bukan pelajaran yang diterapkan seumur hidup. Renungkan saja, apakah Anda menerapkan pelajaran nutrisi "4 sehat 5 sempurna" secara sadar dalam kehidupan sehari-hari? Apakah lingkungan sekolah pernah menunjukkan dukungan terhadap penerapan pelajaran nutrisi itu? Studi  Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Gita Pertiwi Foundation dan Perkumpulan Indonesia Berseru menunjukkan bahwa makanan ringan seperti keripik dan donat merupakan dagangan yang umum dan populer di kantin-kantin sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Di sisi lain, sumber serat, seperti buah, menjadi makanan yang paling dihindari siswa-siswi dan paling jarang ditemukan di kantin sekolah.

Mirisnya kondisi edukasi nutrisi diperparah dengan keberadaan media sosial dan iklan. Looks are deceiving, especially when it is hidden behind a screen or a shiny magazine cover. Mudah sekali melukis gambar yang sempurna dan memanipulasi definisi kesehatan yang sebenarnya. Muncullah anggapan bahwa orang yang atraktif secara konvensional adalah orang yang sehat. Insting ini diperkuat pula dengan maraknya diet culture yang menanamkan asumsi bahwa penampilan luar yang atraktif menjadi prioritas nomor satu.

Bahkan dengan edukasi yang cukup dan berkurangnya pengaruh dari media, pemilihan makanan masih menjadi beban pikiran. Nutrisi, bujet, dan preferensi rasa menjadi pertimbangan setiap seseorang memikirkan makanan. Beban kognitif ini menyebabkan orang mengikuti pilihan yang dianggap umum (default) dan menimbulkan default effect. Default dalam konteks makanan dapat digambarkan oleh seseorang yang menanyakan hidangan yang paling laris di suatu restoran lalu memesan hidangan tersebut. Keadaan pasrah tersebut dapat berujung membahayakan jika default seseorang memicu kebiasaan memilih makanan tidak seimbang. Mungkin tidak pernah terlintas bahwa default yang kurang baik ini justru terlihat di berbagai kantin sekolah, seperti yang telah disinggung sebelumnya. Kantin sekolah jauh lebih banyak menyediakan makanan kaya makronutrien, seperti protein, lemak, dan karbohidrat, tetapi jarang diseimbangkan dengan serat. 

A Recipe for Disaster

Untuk memperburuk keadaan, datanglah pandemi menggempar kehidupan seluruh dunia. Tumbuhlah kekhawatiran tentang penyakit dan masa depan, menurunlah interaksi langsung manusia secara drastis, dan muncullah rasa terperangkap dalam dinding-dinding rumah yang selama ini merupakan kenyamanan setiap orang. Makanan tampak sebagai barang pembawa kenyamanan yang mudah digapai, namun dalam krisis, hal ini ternyata menjadi bumerang.

Pandemi telah menjadi pemicu meningkatnya perilaku pengendalian berat badan yang tidak sehat (unhealthy weight control behavior atau UWCB) sebagai akibat dari manajemen stres yang buruk, kerawanan pangan, gejala depresi yang lebih tinggi, perubahan jadwal yang drastis dan mendadak, serta kesulitan finansial. Tidak hanya itu, kebiasaan terkait gangguan makan meroket, seperti konsumsi makanan tanpa berpikir, peningkatan konsumsi makanan, penurunan nafsu makan atau asupan makanan secara umum, dan makan sebagai coping mechanism (Simone et al., 2021). Pukulan pandemi terhadap kesehatan nyata di Amerika Serikat. Tenaga medis tidak hanya menanggung kesehatan penyintas Covid-19, tetapi juga merasakan beban yang lebih tinggi dari penyintas gangguan makan. National Eating Disorders Associations mengalami kenaikan panggilan hingga 70 persen sampai 80 persen selama setahun terakhir. 

Merenovasi Dapur Mental

Menghindari pengambilan keputusan untuk makanan merupakan hal yang tidak mungkin. Namun, melakukan intervensi ekonomi perilaku di dunia nutrisi dapat mendorong konsumen untuk menumbuhkan kebiasaan makan yang lebih baik. Ekonomi perilaku memaparkan beberapa strategi untuk mendorong konsumen pada pilihan yang lebih kaya nutrisi dan mengarah pada gaya hidup yang lebih sehat. Strategi ini dalam perekonomian dinamakan nudge yang mana perancang strategi disebut choice architect.

Para choice architect perlu merancang ulang struktur lingkungan pilihan makanan. Lingkungan pilihan yang dimaksud adalah segala tempat Anda membeli atau mengonsumsi makanan: warung, restoran, pasar, rumah, sekolah, dan tempat kerja. Efek default dapat dimanfaatkan dengan secara konsisten menyediakan pilihan hidangan dengan nutrisi bervariasi. Pembeli akan menganggap hidangan seimbang sebagai hal yang default dan lebih cenderung mereka pilih. Renovasi menu ini tidak perlu revolusioner. Sebagai contoh sederhana, suatu kantin yang awalnya hanya menawarkan nasi dan telur dadar dapat menambahkan pecel dan lalap sebagai pilihan tambahan yang mengandung serat. 

Selain efek default, pilihan seseorang dapat dipengaruhi dengan menampilkan makanan secara menarik, meletakkannya di tempat strategis, dan menyusunnya agar lebih menonjol daripada beberapa pilihan lainnya. Rupa dan reputasi suatu makanan dapat semakin dipoles dengan pemasangan tulisan yang menarik perhatian, seperti ajakan mengonsumsi brokoli dan nutrisi dalam brokoli.

Strategi lain yang perlu diberikan adalah strategi yang dapat mengurangi beban kognitif pemilihan makanan. Strategi pertama adalah mempromosikan opsi pembelian makanan secara pre-order atau membelanjakan kebutuhan pangan sesuai pedoman yang jelas. Strategi ini juga mencegah terjadinya pemilihan makanan yang impulsif. Penting juga untuk mempertimbangkan strategi yang mampu meringankan beban kognitif yang timbul dari bujet yang terbatas, seperti pemberian sampler dan promosi teknik memasak makanan yang sederhana (Guthrie, 2017).

Mengulas Kembali Rancangan Sang Arsitek

Sebelum merealisasikan rancangan, perlu disadari adanya celah dalam intervensi ini. Bukankah nudge dapat berujung malapetaka; dijadikan strategi licik yang tersembunyi di balik tujuan memperbaiki kesehatan seseorang? Memang, nudge berpotensi menjadi alat manipulatif yang mampu memenuhi kehausan suatu pihak akan keuntungan. Namun, menurut Richard Thaler, nudge dapat digunakan secara etis apabila mengikuti tiga prinsip. Pertama, nudge harus bersifat transparan dan tidak menyesatkan. Kedua, siapapun dapat keluar dari nudge dengan mudah. Ketiga, nudge dapat diterapkan jika perilaku yang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan seseorang.

Selain tiga prinsip tersebut, para choice architect perlu mempertimbangkan dan meneliti berbagai faktor, mulai dari kategori umur sampai preferensi makanan. Kegagalan dalam rancangan dapat mengurangi efektivitas nudge, bahkan mendorong perilaku yang tidak diharapkan, seperti penelitian pemanfaatan nudge untuk mengurangi pemakaian listrik yang hanya berhasil diterapkan pada kaum Demokrat, tetapi malah mendorong kaum Republik menambah pemakaian listrik mereka.

Hidangan Penutup

Sebagai porsi besar dalam kehidupan sehari-hari, wajar saja jika makanan menjadi bahan pertimbangan dan pilihan. Intervensi ekonomi perilaku berupa nudge dapat menjadi solusi yang perlahan memperbaiki kebiasaan makan masyarakat. Namun, para arsitek perlu merancang dan melangkah maju dengan berhati-hati karena sampai saat ini, konstruksi antara makanan dan manusia masih sangat rapuh. 

Oleh Amara Beatrice Hosianna Silalahi | Ilmu Ekonomi 2020 | Staff Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2021

Referensi

Guthrie, J. F. (2017). Integrating Behavioral Economics into Nutrition Education Research and Practice. Journal of Nutrition Education and Behavior, 49(8), 700-705.e1. https://doi.org/10.1016/j.jneb.2016.09.006

Rikolto. (2019, August 9). How healthy is food served at school canteens? https://indonesia.rikolto.org/en/news/how-healthy-food-served-school-canteens. 

Simone, M. et al. (2021). Disordered eating in a population-based sample of young adults during the COVID-19 outbreak. International Journal of Eating Disorders, 54(7), 1189--1201.  https://doi.org/10.1002/eat.23505

Thaler, R. H. (2015, October 31). The Power of Nudges, for Good and Bad. The New York Times. https://www.nytimes.com/2015/11/01/upshot/the-power-of-nudges-for-good-and-bad.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun