Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seratus Tahun Partai Komunis Tiongkok: Nelangsa di Balik Kebesaran Tirai Bambu

9 Juli 2021   19:10 Diperbarui: 9 Juli 2021   21:49 1870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'8341', itulah empat angka yang tertera dalam secarik kertas putih yang diserahkan oleh biksu dari sebuah kuil di wilayah Shanxi (370 kilometer dari barat daya Beijing) kepada sesosok pria. Pria tersebut yang saat itu tengah memimpin Partai Komunis di akhir Perang Saudara Tiongkok, amat terheran dengan perilaku sang biksu. Dia bersikeras memaksa sang biksu untuk menyingkap arti angka tersebut kepadanya. Kendati demikian, hingga momen dia meninggalkan kuil, sang biksu tetap terdiam tanpa mengucap sepatah katapun.

Satu tahun setelah kejadian tersebut, pria tersebut memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok dengan Partai Komunis sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah di seluruh wilayah Tiongkok. Pria tersebut kini dikenal sebagai Mao Zedong, founding father dari Republik Rakyat Tiongkok. 

Meski telah menjadi pemimpin tertinggi dari Tiongkok, Mao tetap gundah atas misteri di balik angka '8341', bahkan dia menamakan resimen pasukan pengawal pribadinya sebagai Resimen '8341'. Tanpa dia ketahui, ketika akhir hayatnya telah tiba, orang-orang baru menyadari, bahwa angka '83' merepresentasikan umur Mao di dunia, dan angka '41' merepresentasikan lama Mao memimpin Partai Komunis!

Sepotong kisah di atas hanya merupakan satu dari jutaan cerita yang membangun Partai Komunis Tiongkok (PKT) dalam 100 tahun sejarahnya. Tanpa menghiraukan kebenaran dari cerita tersebut, kisah di atas mencerminkan pola propaganda yang diadopsi oleh PKT. PKT menggunakan propaganda yang merasuk ke dalam sendi-sendi masyarakat Tiongkok melalui beragam aspek untuk melegitimasi keberadaannya. Bentuknya beraneka macam dan terdengar hingga level global, tak terkecuali propaganda dari sisi ekonomi.

Bukan menjadi berita baru lagi apabila kita sering mendengar bahwa ekonomi Tiongkok merupakan ekonomi modern yang berjaya di Asia. Kita acapkali dicekoki fakta bahwa pemerintah Tiongkok di bawah kepemimpinan Partai Komunis berhasil mengangkat taraf hidup 850 juta jiwa penduduknya dari kemiskinan absolut (World Bank, 2017). Narasi ini juga selalu disertai dengan tambahan fakta bahwa Tiongkok sukses menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pengangguran yang relatif rendah. Belum lagi ditambah dengan jumlah perusahaan Tiongkok yang besar dan ekspor produk mereka yang merajai pasar global. 

Tidak lupa, akhir narasi selalu dibumbui dengan embel-embel bahwa Tiongkok merupakan simbol bagi negara Asia lainnya untuk membalas penghinaan masa lalu dan melawan imperialisme serta hegemoni negara Barat. Bahkan, propaganda ekonomi ini disetujui oleh berbagai pihak, tidak terkecuali mereka yang menentang Partai Komunis Tiongkok. Narasi ini seakan ingin membuktikan bahwa "suka tidak suka, ekonomi Tiongkok berjaya di bawah panji kebesaran Partai Komunis". Namun, benarkah kenyataannya demikian?

Pada Mulanya...

Sangat sukar untuk membicarakan ekonomi Tiongkok pasca kemerdekaan tanpa kembali mengulas mengenai Mao Zedong. Setelah memenangkan perang saudara dari kaum nasionalis, Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengambil alih kepemilikan tanah dan perusahaan swasta dengan cara menasionalisasinya menjadi milik negara. PKT di bawah kepemimpinan Mao memulai penggunaan sistem ekonomi komando untuk struktur ekonomi Tiongkok yang 80% penduduknya berada di desa dan bertumpu pada sektor agrikultur (MacroTrends, 2021). Pada mulanya, sistem ini terlihat berjalan dengan baik, bahkan mampu mencetak pertumbuhan ekonomi yang stabil selama periode 1952-1957.

Di bawah kepemimpinan Mao, kepemilikan tanah diambil alih oleh negara yang menjadikan tidak ada petani, entah miskin ataupun kaya, yang memiliki tanah sejengkalpun. Sumber gambar: laurenream.github.io/cultural revolution
Di bawah kepemimpinan Mao, kepemilikan tanah diambil alih oleh negara yang menjadikan tidak ada petani, entah miskin ataupun kaya, yang memiliki tanah sejengkalpun. Sumber gambar: laurenream.github.io/cultural revolution

Melihat hasil yang sukses ini, Mao semakin berani untuk memulai rencana ambisiusnya untuk mengubah Tiongkok menjadi negara industri yang dikenal sebagai Great Leap Forward atau Lonjakan Jauh ke Depan. Program ini memfokuskan produksi seluruh negara ke satu komoditas: besi. Namun, pada kenyataannya, produksi besi membutuhkan bahan baku berupa bijih besi yang jumlahnya terbatas. Hal ini menciptakan kegagalan produksi di berbagai tempat.

Belum lagi, dengan memfokuskan pekerja pada sektor industri, produksi sektor pangan justru menurun drastis. Alhasil, terciptalah kelaparan besar yang menyebabkan kematian setidaknya 55 juta jiwa (Xiguang, 2005) dan menjadikan 400 juta jiwa jatuh ke dalam kemiskinan absolut (Deng, 2000). Rencana 'Lonjakan Jauh ke Depan' malahan menjadi 'Lonjakan Jauh ke Belakang'.

Kegagalan ini menyebabkan Mao kehilangan kekuasaannya. Tetapi, alih-alih menerima kesalahan, untuk menutupi kesalahannya, beberapa tahun kemudian Mao melancarkan tuduhan kepada PKT sendiri bahwa PKT telah diinfiltrasi oleh para kapitalis. Ia lalu mendoktrin pemuda-pemudi untuk menyingkirkan 'kaum pengkhianat' ini dengan kekerasan. Jutaan rakyat tak bersalah, kaum intelektual, agamawan, bahkan anggota PKT sendiri dibunuh atau terbunuh dalam peristiwa yang disebut Revolusi Kebudayaan. Hal ini berlangsung hingga kematian Mao di tahun 1976 sebelum ekonomi Tiongkok mulai memasuki periode liberalisasi.

Liberalisasi Ekonomi

Setelah kematian Mao, PKT di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping menerapkan reformasi ekonomi yang dampaknya terasa hingga hari ini. Kontribusi Tiongkok terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dunia bertumbuh dari hanya 2% pada tahun 1980 menjadi nyaris 19% di tahun 2020. Lantas, bagaimana cara ekonomi Tiongkok menggapai hal ini? Beberapa faktor memainkan peran penting di dalamnya.

Pertama, dengan liberalisasi perekonomian Tiongkok dan dibukanya perdagangan internasional, PKT menjamin hak atas kepemilikan barang individu (property rights) dan mendorong industri dalam negeri memiliki orientasi ekspor. Hal ini memberi insentif kepada masyarakat untuk membuka perusahaan swasta dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) sebagai bentuk usaha baru. Lebih lanjut, pemerintah lokal dan pusat memberi insentif besar-besaran seperti pembebasan pajak, permudahan izin usaha, dan subsidi ekspor.

Kedua, PKT mulai mengurangi campur tangan negara terhadap perekonomian dengan menjual Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengalami kerugian dan perlahan melakukan transisi dari ekonomi komando menjadi ekonomi pasar bebas. Kepemilikan swasta atas berbagai sektor perekonomian juga mulai didorong dengan ditetapkannya berbagai Zona Ekonomi Khusus sebagai pusat industri ekspor dan investasi asing, seperti Shenzhen, Zhuhai, Shantou, dan Xiamen.

Ketiga, karena tanah merupakan milik negara, PKT mengutilisasi kepemilikan mereka atas tanah di seluruh wilayah Tiongkok. Mereka memberi hak kepada pejabat lokal untuk menawarkan sewa jangka panjang yang murah kepada bisnis atau menjual hak sewa dalam jumlah besar kepada pihak pengembang. Sebagai gantinya, para pejabat lokal akan dinilai kinerjanya berdasarkan peningkatan harga tanah di wilayah mereka. Dengan kata lain, semakin mahal harga tanah di wilayah pejabat tersebut, mereka akan dianggap semakin sukses memperkaya negara. Sistem ini menciptakan persaingan di antara para pejabat lokal untuk membangun infrastruktur, jalan layang, hingga sarana publik untuk terus meningkatkan harga tanah di wilayah mereka.

Faktor ketiga mempertemukan kita dengan faktor keempat, yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ironisnya, KKN dan suap dalam Partai Komunis Tiongkok malah menjadi oli pembangunan. Dengan adanya KKN dan suap, proses birokrasi dan perizinan dalam melaksanakan ekspansi bisnis dan pengembangan wilayah menjadi lebih cepat. Pengusaha memiliki kepentingan untuk memuluskan usahanya, sementara pejabat berkepentingan untuk memajukan daerahnya secara cepat. Perpaduan kombinasi inilah yang menyebabkan persekutuan mereka di dalam KKN dan suap justru mempercepat pembangunan.

Faktor terakhir dan terpenting dari strategi pertumbuhan Tiongkok adalah utang. Seluruh aspek pembangunan Tiongkok tentunya tidak akan terlaksana tanpa adanya dana segar. Dana ini datang dari berbagai pihak, entah dari investor asing maupun dana domestik. Selain untuk pembangunan, utang juga digunakan untuk menyuplai dana segar kepada perusahaan-perusahaan eksportir agar daya saing Tiongkok dapat meningkat di level global.

Kombinasi dari kelima faktor ini menyebabkan Tiongkok mampu membebaskan 850 juta penduduknya dari kemiskinan absolut dan menjadikannya ekonomi terbesar kedua di dunia. Meskipun demikian, kesuksesan ekonomi Tirai Bambu bukanlah jasa dari Partai Komunis Tiongkok, terlebih lagi tidaklah seindah narasi yang umum digaungkan.

The China of Today

Perekonomian Tiongkok saat ini berada pada periode yang mengkhawatirkan. Faktor-faktor yang dahulu menyebabkan ekonominya tumbuh kini tidak dapat lagi dijadikan sumber pertumbuhan yang dapat diandalkan. Pemulihan ekonomi dari pandemi COVID-19 baru saja dimulai. Tiongkok menghadapi lingkungan yang semakin kompetitif dan ganas di pasar internasional, terutama dengan Amerika Serikat.

Terlebih lagi, tanah merupakan sumber daya yang terbatas dan setelah mengandalkan tanah sebagai insentif pembangunan selama puluhan tahun, daya jual tanah tidak dapat meningkat lebih jauh lagi. Korupsi dan suap telah mencapai tingkat yang merugikan masyarakat luas. Sedangkan, utang yang dimiliki Tiongkok semakin berbahaya dengan fakta bahwa jumlah utang perusahaan yang gagal dibayar pada kuartal pertama 2021 mencapai 74,75 miliar Yuan, melebihi dua kali lipat dari periode yang sama di tahun sebelumnya. 

Tidak ada jalan keluar yang mudah dari seluruh permasalahan ini. Sulit bagi Tiongkok untuk dapat menangani permasalahannya dengan dunia internasional dalam sekejap. Sulit pula bagi korupsi dan suap di Tiongkok untuk hilang hanya dengan kampanye antikorupsi. Bahkan, lebih sulit lagi bagi Tiongkok untuk mengurangi tingkat utang mereka tanpa menurunkan pertumbuhan ekonomi. Seluruh permasalahan ini semakin diperparah dengan fakta pemulihan ekonomi Tiongkok dari pandemi membongkar struktur ekonomi Tiongkok yang tidak lazim serta tidak seimbang dan demografi penduduk yang menua.

Seluruh permasalahan yang dihadapi Tiongkok sesungguhnya dapat ditangani apabila PKT memiliki niat yang kuat. Tetapi, alih-alih menawarkan solusi nyata, PKT malah sibuk membual soal 850 juta penduduk Tiongkok terbebas dari kemiskinan absolut, ketika 400 juta dari penduduk miskin absolut tersebut disebabkan kebijakan mereka sendiri 10 tahun sebelumnya! PKT memamerkan kondisi kemakmuran, padahal kemakmuran tersebut hanya dirasakan oleh 1% penduduk terkaya yang memegang 35% dari kekayaan negara, sementara lebih dari separuh penduduknya merupakan pekerja yang dieksploitasi oleh perusahaan.

Bahkan, PKT berbohong saat mengatakan akan menghormati hak kepemilikan pribadi ketika mereka secara paksa menempatkan anggota partai di dalam dewan direksi perusahaan swasta dan merebut properti intelektual perusahaan asing dengan meniru teknologi mereka. Lebih lanjut, tidak ada yang lebih membingungkan dari PKT yang menyatakan akan menjadi simbol perlawanan Asia melawan hegemoni Barat ketika 1,4 miliar penduduknya masih hidup di bawah pembungkaman negara dan aksi penyensoran.

Menangani masalah fundamental ekonomi Tiongkok membutuhkan lebih dari sekadar retorika dan propaganda. Di umur mereka yang telah mencapai satu abad, Partai Komunis Tiongkok tidak seharusnya mengklaim segala hal baik tentang Tiongkok sebagai jasa mereka. Kenyataannya, elit partai dan para konglomerat menikmati hidup makmur sementara ratusan juta penduduk harus berjuang sekadar untuk bertahan hidup saja. Mereka telah menciptakan suatu sistem ekonomi dengan daya saing tinggi, namun dengan mobilitas ekonomi yang rendah. Kondisi ini diperparah dengan karakter PKT yang kerap melanggar aturan internasional yang berlaku. Pada akhirnya, hanya rakyat Tiongkok yang menerima penderitaan dan konsekuensi dari sistem yang dibuat oleh PKT.

Berapa Lama Lagi?

Bagaikan burung dalam sangkar yang mengira kemampuan terbang adalah suatu penyakit,  demikianlah Partai Komunis Tiongkok berpikir bahwa demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia tidak bernilai di hadapan kesejahteraan material yang ditawarkan penindasan represif dan apatisme kolektif. Demikianlah mereka menyiksa Tiongkok dengan memberi nelangsa tak bertepi. Seiring musim berlalu, rakyat resah menanti kebebasan hakiki![1] [2] [3]

Selamat Ulang Tahun, Partai Komunis Tiongkok.

Daftar Pustaka

1. Deng, Kent (2000). Great leaps backward : poverty under Mao [online]. London: LSE Research Online. http://eprints.lse.ac.uk/id/eprint/652

2. https://www.macrotrends.net/countries/CHN/china/rural-population.China Rural Population 1960-202. www.macrotrends.net. Retrieved 2021-07-08.

3. https://www.worldbank.org/en/country/china/overview#3

4. Yu Xiguang, Da Yuejin Kurezi, Shidai Chaoliu Chubanshe, Hong Kong (2005)

5.The Economist Newspaper. (n.d.). The story of China's economy as told through the world's biggest building. The Economist. https://www.economist.com/essay/2019/02/23/the-story-of-chinas-economy-as-told-through-the-worlds-biggest-building

6.   (2002). (in Chinese). Hong Kong: . p. 32. ISBN 978-962-86474-7-7.

7.https://www.statista.com/statistics/270439/chinas-share-of-global-gross-domestic-product-gdp/

8. Heberer, Thomas. (2009). The "Great Proletarian Cultural Revolution": China's modern trauma. Journal of Modern Chinese History. 3. 165-181. 10.1080/17535650903345379.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun