Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dilema Seleksi PTN, Pelebaran Kesenjangan demi Meritokrasi Indonesia

25 Juni 2021   18:05 Diperbarui: 25 Juni 2021   18:19 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hidup mapan, berkecukupan, rezeki lancar, bukankah itu yang selalu kita inginkan. Bermigrasi dari desa, berjuang di kota, menaiki tangga sosioekonomi, dan menjadi orang berada selalu menjadi dambaan orang Indonesia. Bagi kami, itulah "Indonesian Dream" milik kebanyakan rakyat nusantara.

Mewujudkan "Indonesian Dream" tidaklah mudah. Seseorang harus bekerja dan belajar tanpa henti untuk dapat hidup mapan. Salah satu jalan yang biasa ditempuh adalah melalui jalur pendidikan. Pendidikan pasca SMA menjadi salah satu cara bagi individu untuk dapat mencapai kesuksesan finansial. Sudah tertanam secara kokoh dalam psikis setiap siswa SMA bahwa sudah menjadi kewajiban untuk memasuki universitas apik demi mendapatkan pekerjaan yang layak. 

Namun, sama seperti mencari jarum di tumpukan jerami, lolos seleksi Perguruan Tinggi Nasional (PTN) sangatlah sulit. Bahkan, tingkat penerimaan tiga universitas terbaik di Indonesia dimana semuanya merupakan PTN rata-rata hanyalah 5% (Edurank, 2021). Sebenarnya hal ini sejalan dengan "Indonesian Dream" dimana meritokrasi sudah seharusnya menjadi pembuka jalan kemajuan masyarakat. Namun, prestasi siswa seringkali dihasilkan dari kondisi ekonomi yang mapan (Hart dan Risley, 1995).

Dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, dimana kesenjangan masih sangat tinggi, hal ini berpotensi untuk memperparah ketimpangan ekonomi. Apakah ada hal yang salah dengan cara penerimaan PTN? Adakah solusi yang optimal?

Kesenjangan, Sang Penghambat Mobilitas Ekonomi

Dalam dua dekade terakhir, kesenjangan antara si kaya dan si miskin di Indonesia telah tumbuh lebih cepat daripada negara-negara lain di Asia Tenggara. Saat ini, Indonesia telah menjadi negara keenam dengan ketimpangan kekayaan terbesar di dunia. Bahkan, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara lebih dari total kekayaan 100 juta orang termiskin (Oxfam, 2021). 

Masalah ketimpangan ini diperparah dengan adanya tingkat segregasi lingkungan yang tinggi. Komunitas "berkekurangan" ini rata-rata memiliki ciri-ciri tingkat kemiskinan tinggi, sekolah berkualitas rendah, tingkat pengangguran dan kejahatan yang tinggi, dan peningkatan risiko lingkungan terhadap kesehatan. Berbagai kerugian ini berpengaruh besar pada taraf kehidupan anak. 

Peluang menaiki tangga sosial ekonomi kecil bagi mereka yang berada di anak tangga terbawah. Menjadi miskin menghadirkan hambatan serius bagi masa depan anak dan tumbuh dalam komunitas miskin menghadirkan hambatan yang lebih serius untuk sukses. 

Sementara itu, penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat segregasi lingkungan di sebuah kota, semakin rendah mobilitas ekonomi di kota tersebut (Sharkey, 2009). Oleh karena itu, yang lebih penting untuk mobilitas ekonomi bukanlah angka ketimpangan, tetapi seberapa kronis tingkat segregasi lingkungan (Chetty dan Hendren, 2010).

Sistem Penerimaan PTN, Melebarkan Kesenjangan

Keluarga berpenghasilan tinggi memiliki banyak alasan untuk menciptakan sebuah lingkungan eksklusif. Orang dengan kekayaan berlebih akan dapat menciptakan komunitas dengan tingkat kejahatan rendah, tingkat kemiskinan rendah, dan sekolah unggul. Namun demikian, kebijakan penerimaan perguruan tinggi memainkan peran penting juga. Kebijakan penerimaan PTN sebenarnya telah mempercepat segregasi tempat tinggal di Indonesia.

Saat ini, ketika memikirkan prospek anak-anak mereka untuk masuk perguruan tinggi, orang tua berpenghasilan tinggi menyadari bahwa anak-anak mereka lebih baik masuk ke dalam sekolah dengan peringkat tertinggi karena sekolah itulah yang memiliki kesempatan lebih untuk masuk melalui jalur undangan, yaitu SNMPTN. Seleksi Nasional Masuk PTN (SNMPTN) dilakukan berdasarkan hasil penelusuran prestasi akademik dan/atau portofolio calon mahasiswa. Penerimaan jalur SNMPTN masing-masing sekolah ditentukan oleh 2 hal, akreditasi sekolah tersebut dan jumlah siswa yang ada di sekolah tersebut.

Akibat kualitas pendidikan dan sekolah yang lebih bagus, siswa juga akan lebih siap untuk masuk melalui jalur tes tertulis, yaitu SBMPTN atau Jalur Mandiri, selain itu perguruan tinggi selektif juga akan melihat mahasiswa/mahasiswi mereka yang dahulu bersekolah di tempat itu. 

Di Indonesia, daerah sekolah berkinerja tinggi cenderung memiliki jumlah masyarakat berpenghasilan tinggi yang relatif besar. Dalam komunitas berpenghasilan tinggi ini, orang tua menggunakan kekayaan mereka untuk mendukung anak-anak mereka. 

Meskipun saat ini sekolah negeri di Indonesia sudah gratis, kekayaan mereka memampukan mereka untuk memberikan sumbangan sukarela yang lebih. Umumnya, SMA berperingkat tinggi di Indonesia juga mendapatkan dana lebih melalui dana masyarakat yang berasal dari orang tua, sponsor, dan donatur. Lebih lagi, anak-anak juga mendapatkan berbagai keuntungan lebih akibat tinggal di lingkungan yang makmur. 

Adanya sumber daya lebih telah memberikan dampak yang nyata bagi orang kaya. Di universitas negeri Indonesia, jumlah siswa yang berasal dari keluarga miskin maksimal hanya 20%. Selain itu, ada banyak manfaat bagi mahasiswa yang kuliah di universitas elit. Institusi mereka memiliki fasilitas yang lebih baik daripada sekolah berperingkat lebih rendah, mereka lebih mungkin untuk mendapatkan gelar sarjana, dan mereka dapat menikmati pendapatan seumur hidup yang lebih tinggi (Hoxby, 2001). Siswa di universitas elit juga lebih mungkin untuk menjalin persahabatan dan mengembangkan ikatan lain dengan teman sekelas yang akan menjadi pemimpin dalam bidang pemerintahan maupun swasta.

Secara singkat, dengan memanfaatkan kekayaan mereka untuk menciptakan komunitas eksklusif dan menguntungkan, orang tua yang mampu lebih mampu mengamankan kursi di universitas elit untuk anak-anak mereka dan memastikan adanya privilege antargenerasi. Seperti yang ditunjukkan, kebijakan penerimaan perguruan tinggi bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi ketimpangan ekonomi. Namun, mereka memainkan peran penting. Oleh karena itu, reformasi kebijakan penerimaan perguruan tinggi dapat mengurangi ketimpangan ekonomi.

Apakah ada solusi yang tepat?

Alih-alih menggunakan kebijakan penerimaan tradisional yang mendorong ketimpangan ekonomi, PTN di Indonesia dapat mencontoh kebijakan top class rank yang digunakan negara bagian Texas di AS untuk penerimaan perguruan tinggi negeri. 

Di Texas, daripada mendasarkan penerimaan pada nilai pelamar, nilai ujian, esai, dan faktor lainnya, universitas akan mendasarkan penerimaan pada peringkat kelas SMA pelamar. Di bawah kebijakan ini, siswa dijamin masuk ke University of Texas di Austin, Texas A&M University, dan perguruan tinggi negeri lainnya jika nilai rapor rata-rata menempatkan mereka di sepuluh persen teratas dari SMA mereka. 

Di UT-Austin, kebijakan ini telah berhasil mempromosikan penerimaan minoritas ras dan etnis yang kurang terwakili dan yang kurang beruntung secara ekonomi. Berdasarkan data, 19% mahasiswa tahun terakhir berasal dari keluarga dengan pendapatan kurang dari $40.000. 

Bayangkan apa yang akan terjadi jika kebijakan top class rank diterapkan secara luas oleh universitas-universitas terbaik di Indonesia. Artinya, universitas terkemuka hanya akan menerima siswa yang menempati peringkat sepuluh persen teratas dari peringkat kelas SMA mereka. 

Sistem ini mungkin hampir sama dengan SNMPTN. Namun, sistem SNMPTN sangat mempertimbangkan peringkat sekolah. Selain itu, kuota SNMPTN di universitas-universitas terbaik di Indonesia sangatlah kecil. Hal ini berbeda dengan kebijakan top class rank dimana proses seleksi ini menyumbang 75% kuota siswa di universitas negeri dan peringkat sekolah kurang dipertimbangkan.

Dengan menggunakan kebijakan ini, siswa-siswi SMA top akan kehilangan keuntungan mereka dalam proses penerimaan. Lulus di peringkat teratas SMA yang kualitasnya lebih rendah akan lebih baik daripada menyelesaikan dibawah peringkat teratas di SMA yang bagus. Akibatnya, insentif bagi orang tua untuk berkumpul di distrik SMA elit akan turun secara substansial. Dan insentif itu akan digantikan oleh insentif yang kuat untuk menyebar ke berbagai distrik sekolah lain.

Ketika keluarga berpenghasilan lebih tinggi pindah ke distrik sekolah dengan performa lebih rendah, mereka akan menghasilkan pendanaan yang lebih besar. Akibatnya, sekolah-sekolah yang berkinerja lebih rendah akan mendapatkan dukungan dari konstituen yang lebih kuat. Keluarga berpenghasilan lebih tinggi akan terus bersedia untuk memberikan sumbangan dan mendorong adanya donor, tetapi mereka akan melakukannya untuk sekolah yang peringkatnya lebih rendah.

Selain memperbaiki sekolah berkinerja rendah, masuknya keluarga berpenghasilan tinggi akan menciptakan manfaat penting lainnya bagi masyarakat yang kurang beruntung. Tingkat kemiskinan, pengangguran, dan kejahatan akan turun, dan pendapatan akan meningkat dari pajak properti dan pungutan lokal lainnya. 

Alhasil, pemerintah daerah akan menikmati kombinasi yang menguntungkan dari sumber daya yang lebih besar untuk layanan publik dan permintaan yang berkurang untuk layanan tersebut. Pengeluaran social safety net dapat diganti dengan investasi jangka panjang di transportasi umum dan infrastruktur penting lainnya. 

Yang utama, dengan menciptakan tingkat integrasi tempat tinggal yang lebih baik, kebijakan top class rank akan memberi anak-anak di semua komunitas kesempatan yang berarti untuk menaiki tangga sosial ekonomi. Kebijakan peringkat kelas atas secara langsung dapat mengatasi hambatan pemerataan ekonomi di Indonesia mulai dari segregasi lingkungan tempat tinggal.

Bagaimana dengan kualitas pendidikan?

Pertanyaan penting adalah apakah orang tua benar-benar akan memilih sekolah menengah yang kurang kompetitif dan berkinerja lebih rendah untuk menjamin peringkat sekolah atas terbaik bagi anak-anak mereka. Seperti yang kita sadari, prospek perguruan tinggi merupakan salah satu pertimbangan utama bagi keluarga ketika memilih SMA, tetapi itu bukan satu-satunya alasan mengapa orang tua lebih memilih sekolah yang berkinerja lebih tinggi untuk anak-anak mereka dan daerah sekolah yang lebih kaya untuk tempat tinggal mereka. Selain itu, sekolah yang berkinerja lebih rendah mungkin tidak dapat memberikan yang kuat persiapan untuk universitas.

Studi di Texas menyebutkan bahwa kebijakan ini menyebabkan keluarga memilih sekolah dan distrik sekolah yang berkinerja lebih rendah. Sebuah studi terkemuka menemukan bahwa di antara siswa dengan minat untuk menghadiri universitas negeri unggulan di Texas, keluarga untuk setidaknya lima persen siswa membuat keputusan strategis dalam memilih SMA.

Keluarga tidak hanya memilih sekolah yang berkinerja lebih rendah, mereka juga memilih untuk tinggal di daerah sekolah yang berkinerja lebih rendah. Sebuah studi tentang pertanyaan ini menemukan bahwa setelah penerapan kebijakan peringkat kelas atas Texas, peningkatan nilai properti secara signifikan lebih tinggi di daerah sekolah yang peringkatnya lebih rendah daripada di distrik sekolah yang berkinerja lebih tinggi, terutama di distrik dengan kinerja terendah. 

Oleh Adrien Wida Devachandra | Ilmu Ekonomi 2020 | Staff Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2021

Referensi tanpa tautan

Bosis, B. (2019, April 12). Bosis '19: Economics in college admissions: A force for good (no, really). Retrieved June 24, 2021.

Chetty, R., & Hendren, N. (2016). The Impacts of Neighborhoods on Intergenerational Mobility I: Childhood Exposure Effects.

Ed, D. M., Ed, M. J., & Hoxby, C. M. (2001). Forum Futures: Exploring the Future of Higher Education, 2000 Papers. Forum Strategy Series, Volume 3. the Jossey-Bass Higher and AdultEducation Series.

Ltmpt, T. (n.d.). Prinsip Penerimaan Mahasiswa Baru. Retrieved June 24, 202.

Orentlicher, D. (2018). Economic Inequality and College Admissions Policies.

Rukmana, D., & Ramadhani, D. (2021). Income Inequality and Socioeconomic Segregation in Jakarta. The Urban Book Series, 135-152.

Supriyono, A. (2010, October 04). PTN Wajib Tampung 20 Persen Mahasiswa Miskin. Retrieved June 24, 2021.

Supriyono, A. (2021, May 16). Sumber-Sumber Pendapatan Sekolah/Madrasah. Retrieved June 24, 2021.

Tavernise, S. (2012, February 10). Education Gap Grows Between Rich and Poor, Studies Say. Retrieved June 24, 2021.

Team, O. (2018, April 17). Inequality in Indonesia: Millions kept in poverty. Retrieved June 24, 2021.

Yang, G. (2019, April 03). College Admissions Must Counter Income Inequality. Retrieved June 24, 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun