Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

"Berdikari", Slogan Pembeku Kaki Indonesia

18 Juni 2021   18:51 Diperbarui: 18 Juni 2021   19:49 1464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap

dan tegap berpijak dengan kokoh-kuat atas landasan Trisakti, yaitu

berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan

dan berdikari dalam ekonomi; sekali lagi berdikari dalam ekonomi!

Begitu kata Bung Karno lantang di hadapan Sidang Keempat MPRS pada 22 Juni 1966. Dalam kutipan tersebut, Presiden Sukarno memaparkan konsep Trisakti secara gamblang. Akan tetapi, ada satu hal yang menarik. Bagian “berdikari dalam ekonomi” disebut sampai dua kali, dengan sambungan “sekali lagi” pula! 

Sebab ini bulan Juni, mari kita bahas tentang warisan Bung Karno. Membahas hal ini mengingatkan penulis kepada sosok pemimpin karismatik Argentina, Juan Domingo Peron. Beliau berdua memiliki haluan politik yang paralel dan menguasai negaranya di era yang sama. Keduanya juga memengaruhi narasi politik-ekonomi negara mereka sampai sekarang.

Juan Peron memiliki Peronismo. Lantas, apakah Sukarno memiliki Sukarnoisme? Not quite. Namun ada satu prinsip dalam Sukarnoisme yang diwariskan kepada politik-ekonomi Indonesia. Cengkeramannya sama kuat dengan Peronismo dalam jagat politik negara. Iya, dia adalah istilah berdikari. Berdiri di atas kaki sendiri.

Akronim ini adalah slogan yang membungkus sebuah prinsip pembangunan. Lebih rinci lagi, sebuah prinsip pembangunan ekonomi yang berlandaskan kemandirian dalam memenuhi segala kebutuhan (economic self-sufficiency). Dengan kata lain, Indonesia harus mampu memproduksi mayoritas barang dan jasa ekonomi yang dipakainya dengan upaya sendiri. Dari kita, oleh kita, untuk kita, dan milik kita. Itulah enkapsulasi dari model ekonomi berdikari ala Bung Karno.

Dalam rangka mengetahui implementasinya, mari kita mundur sejenak ke tahun 1961. Pada waktu tersebut, Bung Karno menciptakan sebuah masterplan untuk mewujudkan slogan berdikari dalam ekonomi lewat Pembangunan Semesta Berencana 1961-1969. Dalam rencana tersebut, Indonesia berusaha ditransformasi dari ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional. Dengan kata lain, penguasaan ekonomi akan dipindahkan menuju tangan bumiputra (Rundjan, 2014). Sungguh sebuah rencana transformasi yang terlihat indah di atas kertas. Namun nyatanya?

Tidak sama sekali. Sistem ekonomi sosialisme ala Indonesia ternyata berbuah kepada kekacauan manajemen ekonomi domestik. Kebijakan fiskal dan moneter pemerintah dikelola serampangan. Justru, keduanya harus menghamba kepada kepentingan politik nation-building pemerintah untuk merebut Irian Barat, mengganyang Malaysia, dan membangun berbagai proyek mercusuar (Monica dan Wihardja, 2015:44). Alhasil, defisit APBN meledak tidak karuan.

Terlebih lagi, slogan berdikari mendorong beliau untuk menutup diri dari bantuan luar negeri (go to hell with your aid!). Maka, defisit APBN itu ditutupi dengan pencetakan uang dari Bank Indonesia. Ekspansi jumlah uang beredar yang ekstrem membuat inflasi naik sampai 636% di tahun 1966 (Monica dan Wihardja, 2015:45). Ketika dipadukan dengan penutupan ekonomi Indonesia dari dunia luar dan korupsi endemik, merasuklah sebuah ramuan menuju dependensi.

Kontradiksi tersebut tidak mengherankan. Kebijakan yang bertujuan untuk membuat Indonesia berdikari malah membuatnya semakin dependen kepada bantuan luar negeri. Ini terjadi sebab kebijakan-kebijakan berdikari malah memiskinkan rakyat. Sebagai gambaran, PDB per kapita Indonesia menurun dari US$711 di tahun 1961 menjadi US$665,9 pada tahun 1966. (tradingeconomics.com, 2021).

Hiperinflasi dan kekacauan politik di era realisasi slogan berdikari jelas memainkan peran penting. But the Great Leader is having none of it. “Bangsa yang besar harus terbiasa dengan angka-angka yang besar,” tandasnya kepada Profesor Jan Tinbergen soal hiperinflasi (Seda dalam Hanggoro, 2020). Kaki ekonomi Indonesia dibiarkan membeku, bahkan membusuk demi nation-building lewat ekonomi yang berdikari. Alias makan gaplek tetapi “merdeka”.

Menyadur Ebiet G. Ade, Bung Karno tengah mabuk kepayang dengan slogan berdikari. Langit pun dipahat dengan angan-angan. Malam pun diukir dengan bayang-bayang. Bekunya kaki ekonomi dianggap sebagai gangguan yang akan hilang seiring dengan nation-building. Padahal, pahatan dan ukiran kebijakan beliau sendiri yang membekukan kaki itu.

Melihat realitas historis tersebut, mestinya slogan berdikari sudah tersingkir dari narasi politik-ekonomi sejak 1966. Secara logika, luka akibat realisasi ekonomi yang berdikari telah tertoreh begitu dalam, hingga segenap konstituen politik enggan menerimanya lagi. Namun seperti Argentina, jagat politik Indonesia malah ikut masuk ke dalam pahatan langit dan ukiran malam sang Pemimpin Besar Revolusi. Slogan berdikari tetap mendominasi ruang narasi.

Pada fase kedua era Orde Baru misalnya (1973-1982). Selama masa ini, proteksionisme perdagangan internasional menguat drastis sebagai bagian dari inward-looking industrialization. Berbagai halangan tarif dan nontarif diberlakukan pada perdagangan internasional. 

Dengan cara tersebut, pemerintah berniat untuk memperdalam rantai nilai industri domestik. Apa daya, munculnya rent-seeking dan kurangnya skill tenaga kerja Indonesia membuat strategi tersebut gagal. Justru strategi ini berbuah BUMN raksasa yang inefisien dan korup seperti Pertamina di bawah Ibnu Sutowo (Monica dan Wihardja, 2015:45-46).

Jelmaan berdikari sebagai proteksionisme perdagangan inward-looking inilah yang bertahan sampai saat ini. Bahkan era Reformasi tidak berhasil merombak slogan ini. Sejak 1998, halangan tarif di Indonesia memang menurun. Akan tetapi, Non-Tariff Measures (NTMs) tumbuh bak cendawan sehabis hujan. Efeknya, tingkat keterbukaan perdagangan Indonesia secara de facto terus menurun (Panennungi dalam Indrawati et al, 2020:210-211).

Bahkan konstelasi politik 2024 juga diikat oleh slogan berdikari. Qodari (dalam JPNN.com, 2021) mengatakan bahwa ada kemungkinan kuat perkawinan PDIP-Gerindra. Salah satu alasannya? Kedekatan ideologi keduanya yang nasionalis-proteksionis. Keduanya ingin mewujudkan slogan berdikari di era sekarang lewat pelanggengan proteksionisme ekonomi.

Dengan adanya krisis ekonomi saat ini, slogan berdikari yang tidak berubah sejak 1973 membuat kaki Indonesia semakin beku. Akibat dari pemaknaan tersebut terbukti detrimental terhadap masyarakat miskin karena menaikkan harga kebutuhan dasar seperti beras dan bahan bakar (Patunru, 2018). Kalau terus dibiarkan, maka jutaan orang yang jatuh ke dalam kemiskinan (the new poor) akan semakin sulit untuk mengeluarkan dirinya melampaui garis tersebut.

Tentu kita semua tidak mau itu terjadi. Maka dari itu, slogan berdikari yang merasuk bak Peronismo di Argentina harus mulai ditengking. Perubahan orientasi politik-ekonomi tersebut diperlukan jika kita mau men-defrost kaki ekonomi Indonesia setelah pagebluk berakhir. Jangan sampai tetangga-tetangga kita sudah berlari, namun Indonesia masih berjalan tertatih-tatih.

Kesimpulannya, pengambil kebijakan harus bergegas bangun dari mimpi panjang. Bersikaplah jujur dan terbuka kalau slogan berdikari membekukan kaki kita. Jangan bersembunyi lagi dari kenyataan bahwa ekonomi yang berdikari adalah utopia fana yang mewujudkan distopia. Sudah waktunya slogan berdikari turun panggung, digantikan oleh realisme dan tanggung jawab yang terpatri permanen dalam struktur institusi politik-ekonomi.

REFERENSI

Hanggoro, H. T. (2020, June 9). Mimpi Buyar Ekonomi Terpimpin. Historia

Indrawati, S.M. et al. (2020). Terobosan Baru atas Perlambatan Ekonomi: Rujukan untuk Sebuah Kebijakan Perekonomian. Jakarta: Elex Media Komputindo.

JPNN.com. (2021, May 28). Koalisi Pilpres 2024, M Qodari: PDIP - Gerindra Sudah Kawin Gantung. www.jpnn.com.

Patunru, A. A. (2018). Rising economic nationalism in Indonesia. In Journal of Southeast Asian Economies.

Rundjan, R. (2014, June 27). Atas Nama Berdikari. Historia

Situs Web Kepustakaan Presiden. (1997, April 5).  PIDATO PRESIDEN SUKARNO "NAWAKSARA".

Tradingeconomics.com. (2021). Indonesia GDP per capita 1960-2019 Data. Indonesia GDP per capita | 1960-2019 Data 

Wihardja, M. M., & Negara, S. D. (2015). The Indonesian Economy from the Colonial Extraction Period until the Post-New Order Period: A Review of Thee Kian Wie’s Major Works. Economics and Finance in Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun