Tanah air kembali digegerkan oleh kisah-kisah viral nan sensasional, beragam kisah yang menceritakan satu hal serupa: tindakan agresif masyarakat. Di Jakarta Barat, ada dua wanita yang memaki kurir karena menerima barang pesanan yang salah. Bergeser ke Jakarta Timur, seorang pria penabrak motor mengancam korban dan warga sekitar dengan pistol andalannya. Kita pergi lagi ke Sukabumi, maka kita akan menemukan seorang ibu yang mengumpat polisi karena dipaksa untuk putar balik.
Meski seluruh cerita di atas terkesan sepenuhnya berbeda, sebenarnya terdapat satu benang merah yang bisa kita tarik. Aktor utama pada ketiga cerita sama-sama diberikan pilihan untuk melampiaskan amukannya atau tidak. Hal ini kebetulan bersinggungan dengan ilmu ekonomi yang pada hakikatnya membahas pembuatan keputusan. Tanpa mengulur waktu, apakah ilmu ini bisa menjelaskan tindakan gegabah yang kian menjamur tersebut?
Mula-Mula, Perkenalkan sang Penyulut Perkara!
Banyak orang memanggilnya dengan nama "narsisisme". KBBI mendefinisikan kata tersebut sebagai keadaan mencintai diri sendiri. Keadaan ini menjelma menjadi perilaku narcissistic yang dicirikan oleh sense of entitlement, rasa arogansi, dan kekurangan empati.
Perilaku ini lalu bisa mengarah kepada Narcissistic Personality Disorder (NPD) jika terbukti mencapai tingkat yang ekstrem. Penentuan gangguan ini tentu tidak sembarangan dan membutuhkan diagnosis lanjutan. Walaupun begitu, karena masih berada dalam spektrum narsisisme, para pelaku dalam kasus di atas tetap layak disebut sebagai narcissists 'orang yang menunjukkan perilaku narcissistic'.
Bersama-sama, kita bisa menyaksikan bagaimana para narcissists berlagak di hadapan kamera. Sang penabrak merasa gagah dengan memegang pistol, dua wanita merasa pintar dengan memahami aturan Cash On Delivery (COD) yang ternyata salah kaprah, dan sang ibu pemudik merasa berkuasa dengan memiliki kerabat yang menjadi aparat.
Lantas, dengan modal "cinta diri yang berlebih", mereka berani melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ada keinginan untuk terbebas dari tanggung jawab setelah menabrak motor. Ada pula keinginan untuk menerima barang pesanan yang benar. Serta, ada juga keinginan untuk dibolehkan mudik.
Tak ayal, semua imbalan itu juga datang bersamaan dengan risiko yang menunggu. Dua yang utama adalah dilaporkan ke polisi serta diviralkan di media sosial. Orang biasa seperti penulis seharusnya takut. Biarpun begitu, para pelaku seolah menghiraukan kemungkinan buruk yang menanti. Pertanyaannya sekarang: Mengapa narcissist tetap melakukannya?
Usut punya usut, narcissist ternyata memiliki cara pandang yang berbeda dengan orang kebanyakan. Menurut Foster, Shenesey, dan Goff (2009), perbedaan antara narcissist dan orang biasa terletak pada cara masing-masing memaknai reward dari tindakan yang berisiko. Sederhananya, seorang narcissist menilai risiko sama besarnya dengan yang dinilai orang biasa. Namun, narcissist menilai reward yang diterima jauh lebih besar daripada penilaian orang biasa. Alhasil, mereka berani mengambil risiko untuk hal-hal yang berada di luar nalar kita. Mereka memaki dan mengancam orang tidak bersalah secara berlebihan tanpa pikir panjang.
Menilai secara Lebih Objektif
Bak dua sisi koin, perilaku narcissistic membawa hal baik dan buruk sekaligus untuk kita semua. O'Reilly et al. (2014) menyatakan bahwa orang dengan perilaku ini lebih berpotensi untuk menjadi pemimpin. Sikap percaya diri tinggi yang membuat mereka terlihat lebih berkarisma adalah salah satu alasannya.
Tak hanya itu, menurut Kashmiri dan Arora (2017), Chief Executive Officer (CEO) yang narcissist relatif lebih inovatif dibanding CEO yang tidak narcissist. Sikap ini terbentuk oleh  adanya dua motivasi. Pertama, para CEOs yang narcissist membutuhkan inovasi untuk menggaet lebih banyak atensi publik. Kedua, mereka membutuhkan inovasi untuk mengalahkan semua kompetitor di industri masing-masing.
Selain inovasi konstruktif, CEO yang narcissist juga terdorong untuk menghasilkan inovasi radikal. Inovasi ini berpeluang tinggi untuk menciptakan product-harm crisis, yakni kegagalan perusahaan untuk memenuhi standar dan akhirnya justru menurunkan kesejahteraan. Meskipun demikian, kekurangan ini bisa dikompensasi oleh keberadaan eksekutif pemasaran yang solid.
Tentu, setiap penemuan menjadi kabar baik untuk perekonomian. Ditambah lagi, inovasi bisa meningkatkan produktivitas masyarakat luas. Peningkatan ini turut mengarah kepada peningkatan pendapatan secara agregat. Keduanya kemudian membuat perekonomian semakin bertumbuh. Sekalipun begitu, koin tetaplah bersisi dua. Akan selalu ada sisi yang lebih menarik di mata. Sisi itu pun belum disinggung sama sekali.
Beralih ke konteks sejarah, perilaku narcissistic ternyata ikut memengaruhi beberapa peristiwa kelam di dunia. Salah satu di antaranya adalah Great Recession 2008. Krisis subprime mortgage ini turut disebabkan oleh epidemi kultur narsisisme yang menghantui Amerika Serikat (Twenge & Campbell, 2009).
Secara konkret, masyarakat pengambil mortgage merasa overconfident tentang kemampuan finansialnya sehingga berani membeli rumah yang mahal. Di sisi lain, perbankan juga merasa overconfident tentang kemampuan membayar para debitur sehingga berani memberi kredit secara mudah. Alhasil, housing bubble pada era itu tak terelakkan sedikitpun.
Aktor lain yang diperkirakan turut berperan dalam peristiwa ini adalah universitas. Pernyataan ini seolah tak bisa diterima oleh akal sehat. Akan tetapi, ekonom Kevin Hassett mengatakan bahwa Ivy League dan kurikulum MBA setempat sebagai salah satu penyebab utama resesi. Para pelajar di sana diajarkan untuk percaya bahwa mereka adalah the best and the brightest minds.
Saking terkenalnya metode ini, gelar MBA sering diuraikan menjadi "Me Before Anyone" dan "Mediocre But Arrogant". Lebih lanjut, Hassett berfokus kepada alumni yang bekerja di sektor finansial AS dengan tren jumlah yang terus meningkat. Mereka kemudian menjadi pengambil keputusan berisiko tinggi di sektor tersebut. Apa yang terjadi selanjutnya langsung menjadi sayatan luka di hati para penyintasnya untuk waktu yang lama.
Connecting Irrelevant Dots..
Siapa menyangka secercah cerita remeh bisa mengantarkan kita kepada pembelajaran hidup yang istimewa. Terlepas dari pro dan kontra yang ada, harus diakui bahwa sikap narcissistic lebih banyak membawa konsekuensi buruk daripada baik. Ahli medis bahkan menyarankan supaya perilaku ini jangan dipelihara karena bisa berkembang menjadi penyakit yang lebih serius. Kita pun sepatutnya setuju. Apalagi, pilihan ini juga bisa menjaga keadaan sosial (dan perekonomian) dalam kondisi ideal.
Oleh Reinaldy Sutanto | Ilmu Ekonomi 2019 | Wakil Kepala Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2021
Referensi tanpa hyperlink
Foster, J. D., Shenesey, J. W., & Goff, J. S. (2009). Why do narcissists take more risks? Testing the roles of perceived risks and benefits of risky behaviors. Personality and Individual Differences, 47(8), 885--889. https://doi.org/10.1016/j.paid.2009.07.008
Kashmiri, S., Nicol, C. D., & Arora, S. (2017). Me, myself, and I: influence of CEO narcissism on firms' innovation strategy and the likelihood of product-harm crises. Journal of the Academy of Marketing Science, 45(5), 633--656. https://doi.org/10.1007/s11747-017-0535-8
O'Reilly, C. A., Doerr, B., Caldwell, D. F., & Chatman, J. A. (2013). Narcissistic CEOs and executive compensation. The Leadership Quarterly, 25(2), 218--231. https://doi.org/10.1016/j.leaqua.2013.08.002
Twenge, J. M., & Campbell, W. K. (2009). The narcissism epidemic: Living in the age of entitlement. Simon and Schuster.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H