Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menyibak Tabir di Balik Perhelatan Harbolnas: Dopamine atau Candu?

22 Mei 2021   20:05 Diperbarui: 23 Mei 2021   11:55 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harga miring menggiurkan, pilihan barang yang seakan tidak berakhir, dan lain sebagainya. Kumpulan frasa tersebut hanya sebagian dari pemikiran konsumen ketika berpartisipasi dalam belanja online saat Harbolnas. Entah berusaha memenuhi kebutuhan esensial atau memenuhi keinginan spontan, Harbolnas merupakan hari yang ditunggu-tunggu konsumen.

Ganasnya antusiasme masyarakat inilah yang akhirnya memicu e-commerce menduplikasi konsep tanggal-tanggal cantik pada hampir setiap bulan, membuat Harbolnas tidak lagi sakral pada tanggal 12 Desember. 

Tidak hanya itu, pada tahun ini Harbolnas yang hadir menjelang Ramadhan juga digadang-gadang dapat menjadi momentum bangkitnya perekonomian. Seperti apakah cerita di balik ajang ramai ini dari perspektif bisnis dan ekonomi?

Di Balik Tirai Harga Ekstrem Harbolnas

Sekilas terlihat bahwa Harbolnas merupakan perhelatan merugikan akibat diskon besar-besaran yang telah dijajakan oleh penjual, namun ternyata penjual malah menerima keuntungan berlebih dari Harbolnas. Hal ini dapat terjadi karena adanya price discrimination. 

Price discrimination terjadi ketika suatu bisnis menjual barang yang sama di harga yang berbeda terhadap pembeli yang berbeda. Konsep ini mampu memaksimalkan keuntungan karena setiap pembeli memiliki kesediaan mengeluarkan uang masing-masing. 

Oleh karena itu, terdapat kelebihan untung ketika pembeli yang biasanya membayar pada harga lebih rendah malah dikenakan harga lebih tinggi.

Harbolnas pun menggunakan price discrimination. Harga diturunkan secara drastis sebagai diskriminasi dari segi waktu. Sepanjang tahun, penetapan harga barang menghasilkan margin laba yang besar. Namun, saat Harbolnas, harga barang ditetapkan lebih rendah daripada harga sepanjang tahun (antara menjadi "harga normal" atau benar-benar "harga diskon"). 

Price discrimination di sini bisa didefinisikan sebagai selisih harga konsumen yang membeli saat harga sedang tinggi sepanjang tahun dan konsumen yang membeli saat harga rendahnya Harbolnas.

Terdapat konsumen yang bersedia untuk membeli produk ketika harga masih tinggi dan ada pula konsumen yang menunggu untuk membeli saat Harbolnas. 

Fenomena ini dapat ditelaah lebih lanjut dengan adanya konsep loss leader yang juga ditemukan dalam Harbolnas. Sebuah produk loss leader dijual di bawah cost, yang harganya merugikan kepada penjual. 

Strategi ini digunakan untuk mengundang pembeli agar membeli barang lain di toko dengan profit margin yang lebih besar, alias menguntungkan. Untuk belanja online, produk loss leader dapat menarik lebih banyak pembeli untuk membeli produk lain karena ada faktor ongkos kirim.

Platform belanja online memudahkan pembeli untuk menemukan barang yang sama dengan harga berbeda yang disediakan oleh berbagai macam toko. 

Namun, jika seorang pembeli bisa membeli beragam produk dari satu toko, mereka akan lebih memilih untuk membeli dari toko tersebut untuk menghemat ongkos kirim. 

Ada pula beberapa diskon yang baru bisa digunakan saat sudah mencapai harga minimum pembelanjaan (contohnya: "Gratis ongkos kirim, minimum belanja Rp50.000") karena produk loss leader ini tidak mencukupi pembelanjaan minimum.

Melanjutkan Kisah Harbolnas dari Kacamata Pebisnis

Memang benar di balik harga ekstremnya, tetap ada keuntungan yang menunggu bisnis saat manifestasi Harbolnas. Namun, kemudian yang sering dipertanyakan, apakah mengikuti ajang Harbolnas merupakan sebuah fardhu bagi bisnis? Kemudian apakah momen ini mujarab bagi bisnis meningkatkan laba dan penjualannya secara berkelanjutan?

Euforia Harbolnas bisa tercermin dari lonjakan transaksi belanja online setiap tahunnya. Dilansir dari Kompas.com, riset oleh Nielsen Indonesia menunjukkan lonjakan transaksi Harbolnas di tahun 2020 mampu menyentuh Rp11,6 triliun atau naik sebesar 28% dibanding tahun 2019. 

Gelora yang menakjubkan ini seakan menjadi ilham bagi pebisnis memanfaatkan momentum potensial Harbolnas. Namun perlu diingat bahwa memasang harga semiring mungkin tidak menjadi jaminan untuk memenangi ajang ini, mengingat persaingan harga akan menjadi terlampau sengit. Bisnis perlu memahami perilaku belanja konsumen untuk menapis strategi yang tepat.

Sumber : https://www.conversion-uplift.co.uk/
Sumber : https://www.conversion-uplift.co.uk/

Melihat suatu produk yang beken, digunakan oleh semua orang, baik orang terkenal sampai rekan sejawat hingga akhirnya ikut membeli. 

Konsep ini dinamakan Bandwagon Effect, yaitu fenomena di mana informasi yang modis akan mempengaruhi pilihan pribadi terhadap suatu barang. Pada praktiknya, konsumen akan mengikuti tren melalui penciptaan ilusi popularitas, seakan bergerak dengan penutup mata.

Konsep ini kerap kita temui pada Harbolnas. Maraknya pemberitaan Harbolnas dari berbagai media, dibarengi dengan headline diskon besar-besaran mampu menghipnotis konsumen untuk berbelanja online terlepas kebutuhannya. 

Dorongan dari pemberitaan media ditambah fitur e-commerce untuk dapat melihat banyaknya produk terjual melahirkan persepsi "semua orang belanja online saat Harbolnas, maka saya juga harus melakukannya". 

Efek ikut-ikutan ini juga akrab dengan konsep impulsive buying. Impulsive buying merupakan teori perilaku konsumen di mana terjadi pembelian barang yang tiba-tiba dan langsung tanpa adanya niat untuk membeli, baik untuk memenuhi kebutuhan atau sekedar memuaskan keinginan.

Ketika Harbolnas, impulsivitas konsumen melambung tinggi dengan adanya berbagai rangsangan dari e-commerce dan bisnis. Bukan hal yang asing bagi para e-commerce untuk memberikan promo baik diskon, kupon, cashback, pay later, dan lainnya.

Segala tawaran tersebut mampu mendesak konsumen melakukan pembelian impulsif dalam jumlah banyak. Sebagaimana Michael Fishman---seorang ahli perilaku konsumen---menyebutkan bahwa sebagian besar orang tidak mampu menjawab pertanyaan semudah mengapa mereka menginginkan suatu barang. Harbolnas dengan segala tawaran menggiurkannya memang positif merangsang dopamin, zat yang mampu memberikan kebahagiaan seseorang.

Kiat Pengusaha Mengetahui Perjalanan Konsumen 

Agar pengusaha pun mendapatkan efek "dopamin" dari ajang ini, wajib hukumnya memikirkan strategi untuk meminimalisir risiko dan meraih cuan melimpah. 

Pebisnis dapat menggunakan framework, bernama marketing funnel sebagai strategi yang disusun oleh sebuah perusahaan dalam memasarkan produk dan jasanya kepada calon konsumen. 

Sesuai namanya, framework ini bekerja seperti corong, menunjukkan jumlah calon konsumen yang dijaring. Analoginya seperti seorang nelayan yang melemparkan jaring untuk menangkap ikan dengan jangkauan seluas-luasnya. Pada tiap tahapnya, corong semakin mengecil, menunjukan seleksi calon konsumen sampai hanya kepada pembeli.

Sumber: https://www.ventureharbour.com/5-strategies-to-build-a-marketing-funnel-that-converts/
Sumber: https://www.ventureharbour.com/5-strategies-to-build-a-marketing-funnel-that-converts/

Pada tahap awareness, bisnis harus dapat membangun kesadaran di benak konsumennya. Dalam hal ini, bisnis harus membuat konsumen menyadari eksistensi Harbolnas beserta brand atau bisnisnya sendiri. Ini biasa dilakukan dengan gencarnya pemberitaan di media menjelang acara Harbolnas, hingga kadang sampai membuat konsumen hafal setiap jingle Harbolnas.

Selanjutnya pada tahap interest, bisnis harus mampu meningkatkan ketertarikan konsumen agar berusaha mencari tahu rincian produk dan jasa yang ditawarkan. 

Bisnis yang berhasil pada tahap ini memiliki value proposition yang membedakannya dengan kompetitor. Mereka juga perlu menyajikan konten-konten menarik untuk memikat perhatian calon konsumen dengan harapan terwujudnya keputusan pembelian. 

Penggunaan perhitungan yang baik juga esensial untuk menarik konsumen menekan tombol checkout seperti psikologi harga, persentase diskon, dan promo bundle.

Ketika transaksi terjadi, bisnis tidak boleh menutup mata seakan sudah berhasil. Jika konsumen merasa puas, loyalitas akan mudah terbangun. 

Loyalitas konsumen perlu diperhatikan dengan memberikan notifikasi pada konsumen yang pernah membeli produk jauh-jauh hari sebelum Harbolnas melalui email marketing, atau pemberian promo loyalty khusus untuk menarik pembelian kembali (repurchase).

Penyediaan lapak untuk memberikan feedback dan review pada tahap advocacy juga dapat menjadi kekuatan word of mouth bagi pebisnis dalam memasarkan produknya. Dengan mengetahui perjalanan konsumen, bisnis lebih mudah merumuskan strategi yang tepat untuk memaksimalkan momentum Harbolnas.

Keberhasilan strategi pebisnis dalam menghadapi Harbolnas diharapkan dapat berdampak baik pada perekonomian. Harbolnas mampu memicu konsumsi nasional, hal yang begitu penting di tengah lesunya ekonomi akibat pandemi sejak Maret 2020 kemarin. 

Ramainya pembeli saat Harbolnas juga diharapkan dapat mendorong digitalisasi UMKM Indonesia, meskipun penjualan di marketplace online hanyalah bentuk digitalisasi sederhana. 

Peningkatan daya saing produk lokal pun dapat dicapai melalui berbagai strategi untuk menarik pembeli, seperti strategi pengurangan ongkos kirim hanya untuk produk lokal.

Ketidakadilan yang Tersembunyi?

Harbolnas, dengan segala harapan dan kesempatan yang diberikan bagi pelaku ekonomi, tetap menorehkan bekas yang tidak diinginkan. Seperti pengguna candu, pengaruh dan akibat Harbolnas tidak hanya ditanggung oleh karakter utama Harbolnas (pembeli dan penjual), tetapi juga pada karakter sampingan. "Karakter sampingan" yang dimaksud yakni lingkungan dan pegawai.

Hasil belanja online dibungkus dengan kemasan berlapis-lapis dan lebih boros daripada kemasan hasil belanja langsung. Tentu, kemasan ini krusial dan melindungi kondisi barang. Namun, kemasan tambahan meningkatkan sampah di lingkungan pada saat yang sama. 

Isu mengenai kemasan ini diperparah dengan emisi karbon melalui transportasi. Meskipun konsumen tidak memanfaatkan transportasi untuk pembelian barang dan pengiriman kerap dilakukan secara massal, pembelian barang online memiliki suatu celah.

Konsumen lebih sering mengembalikan barang yang dibeli secara online daripada pembelian offline. Mereka bisa mengembalikan karena ketidaksesuaian ukuran sampai ketidakpuasan pada kualitas barang. Antusiasme pembeli pada Harbolnas menjadi beban bagi pegawai yang harus mengerahkan tenaga dan waktu lebih untuk hari khusus ini. 

Sayangnya, tidak ada jaminan bahwa pegawai yang lembur melayani konsumen yang bertumpah ruah akan mendapatkan imbalan setimpal, bahkan mungkin tidak mendapatkan apa-apa.

Harbolnas, dengan segala kelebihan serta eksternalitasnya tetap menjadi primadona dan ajang terbaik untuk unjuk gigi bisnis maupun bagi pemuasan diri konsumen.

Di balik itu, hanya masing-masing yang dapat menentukan bagaimana seharusnya Harbolnas berdampak.[1] Entah menjadi pemberi dopamin atau candu, semua tergantung pada kebijakan dan perilaku masing-masing tokoh utama cerita Harbolnas ini.

Artikel ini merupakan tulisan kolaborasi antara KANOPI (Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia) FEB UI dan HIMANIA (Himpunan Mahasiswa Niaga) FIA UI. Artikel ini telah tayang di medium.com dengan judul "Menyibak Tabir di Balik Perhelatan Harbolnas: Dopamine atau Candu?"

References 

Long, D. S., Fox, N. R., & York, T. (2007). Calculated futures: Theology, ethics, and economics. Baylor University Press.

Garofalo, P. (2018, November 20). Black Friday Isn't the Only Time Workers Face Unfair Schedules. Talk Poverty. https://talkpoverty.org/2018/11/20/black-friday-isnt-time-workers-face-absurd-unfair-schedules/

Kling, A., Schwennesen, P., Block, W., Mingardi, A., & Henderson, D. (2018, April 5). Black Friday Discounts and Price Discrimination, Online. Econlib. https://www.econlib.org/archives/2009/12/black_friday_di.html.

Loss Leader Pricing Definition - What is Loss Leader Pricing. Shopify. (n.d.). https://www.shopify.com/encyclopedia/loss-leader-pricing#:~:text=Loss%20leader%20pricing%20is%20a,step%20foot%20in%20the%20store.

MacGilp, R. (2021, February 3). The Impact of Online Shopping on the Environment: Eco-Age. Eco. https://eco-age.com/resources/online-shopping-impact-on-environment/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun