Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Seaspiracy: Fakta atau Hanya Sekadar Konspirasi

21 Mei 2021   19:44 Diperbarui: 21 Mei 2021   21:25 1288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini, dunia media terguncang oleh dokumenter kontroversial bertajuk Seaspiracy. Film dokumenter hasil karya sutradara Inggris Ali Tabrizi ini mengekspos dunia perikanan yang korup dan eksploitatif. Seaspiracy memperlihatkan aib bidang perikanan, mulai dari perbudakan di laut, kehancuran ekosistem, sampah plastik bekas perikanan, hingga konsep perikanan yang berkelanjutan (sustainable fishing). Ketenaran Seaspiracy pun mengantarkannya ke telinga Ibu Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, yang menanggapi dokumenter tersebut melalui video Youtube garapan beliau.

Salah satu kritik terbesar Seaspiracy ditujukan terhadap konsep sustainable fishing atau perikanan yang berkelanjutan. Film ini mengungkapkan bahwa sustainable fishing adalah hal yang mustahil untuk dicapai. Di sisi lain, solusi yang ditawarkan Seaspiracy adalah mengurangi konsumsi makanan laut secara drastis, bahkan menghentikannya sama sekali. Namun, apakah solusi yang ekstrem ini cukup untuk mengatasi kompleksitas masalah laut yang kita hadapi? Apa saja dampak ekonomi yang akan timbul apabila solusi tersebut diterapkan?

Penghentian Konsumsi Makanan Laut: Tamparan bagi Perekonomian

Bayangkan jika seandainya semua orang di dunia ini berhenti mengonsumsi makanan laut. Dalam kata lain, konsumen secara beramai-ramai meninggalkan pasar. Konsep ini disebut juga dengan crowding out. Dampak ekonomi dari solusi yang ditawarkan Seaspiracy bisa dijelajahi lebih lanjut melalui konsep crowding out dan dampaknya bagi unemployment/pengangguran. 

Jika pasar makanan laut mengalami crowding out, konsumsi makanan laut akan terhenti, yang kemudian menyebabkan runtuhnya seluruh industri perikanan. Menurut sebuah artikel baru di jurnal Fish and Fisheries, terdapat sekitar 260 juta pekerjaan perikanan laut di seluruh dunia. Artinya, 260 juta ini pekerjaan akan hilang secara global karena jatuhnya industri perikanan. Meskipun Seaspiracy menuduh perikanan sebagai pemicu bencana lingkungan, hancurnya industri ini akan menjadi sebuah bencana yang berbeda.

Ada dua jenis pengangguran yang akan terjadi jika pasar makanan laut mengalami crowding out. Awalnya, akan terjadi demand-deficient unemployment yang disebabkan oleh kekurangan permintaan makanan laut, diikuti dengan structural unemployment (pengangguran struktural) karena hilangnya sektor perikanan. Nelayan dan pekerja dengan keahlian spesifik di bidang perikanan adalah orang-orang yang paling rentan terhadap pengangguran struktural ini. Keterampilan yang dibutuhkan dalam industri perikanan sangat spesifik kepada sektornya, dan sulit untuk digunakan di industri lain. Akibatnya, jika para pekerja sektor perikanan laut kehilangan penghidupannya, banyak dari mereka yang akan kesulitan untuk bergabung kembali ke angkatan kerja.

Sumber: khanacademy
Sumber: khanacademy
Dalam menganalisis dampak hilangnya industri perikanan bagi perekonomian, kita juga dapat menggunakan model keseimbangan ekonomi makro. Kedua kurva dalam model ini adalah aggregate supply (penawaran agregat) dan aggregate demand (permintaan agregat), yang masing-masing mencerminkan penawaran dan permintaan suatu negara secara keseluruhan. 

Apabila industri makanan laut lenyap seketika akibat crowding out dari sisi konsumen, permintaan agregat akan jatuh sehingga kurva AD bergeser ke kiri. Ini akan menyebabkan pergeseran ekuilibrium makro ke (Y2, P2) sehingga terjadi penurunan PDB riil. Fluktuasi ini sontak akan dirasakan oleh semua negara di dunia, terutama negara-negara yang banyak mengonsumsi makanan laut seperti Indonesia dan negara Asia lainnya. Dapat disimpulkan, penghentian konsumsi makanan laut akan mengguncang perekonomian dunia.

Menguak Konspirasi di Balik Seaspiracy

Selama dua bulan sejak rilisnya pada Maret 2021, Seaspiracy telah mampu membuka mata khalayak ramai terhadap masalah-masalah di dunia kelautan dan perikanan. Namun, di balik itu semua, Seaspiracy masih memiliki banyak kesalahan dan miskonsepsi data yang membuat validitasnya patut dipertanyakan. Dokumenter ini dituding melakukan cherry-picking terhadap data, menyamakan korelasi dengan kausalitas, serta mengedit wawancara agar sesuai narasi mereka. 

Salah satu contohnya adalah kesalahan penggunaan antara istilah bycatch (tangkapan sampingan) dengan discards (tangkapan buangan). Seaspiracy mengklaim bahwa sebanyak 48% tangkapan dunia adalah discards yang dibuang kembali ke laut. Padahal, klaim tersebut sangatlah tidak akurat karena angka 48% tersebut adalah angka bycatch yang sebagian besarnya tetap terjual di pasar, sementara angka discards yang dibuang ke laut hanya 10% dari total tangkapan laut dunia. Alhasil, banyak kritikus menyimpulkan bahwa penggunaan data dalam Seaspiracy menyesatkan dan didramatisasi.

Tidak hanya itu, Seaspiracy juga menyerang konsep perikanan berkelanjutan (sustainable fishing) dengan konspirasi yang tidak berdasar. Film ini menganggap bahwa perikanan berkelanjutan adalah suatu pembohongan yang digaungkan oleh LSM-LSM demi melindungi industri perikanan. Klaim tersebut dengan cepat dibantah oleh Marine Stewardship Council (MSC), salah satu LSM yang namanya disebut dalam Seaspiracy. 

MSC menyatakan bahwa sebenarnya banyak perusahaan menghabiskan waktu hingga bertahun-tahun untuk meningkatkan standar perikanan mereka demi memenuhi persyaratan sertifikasi. Meskipun perikanan berkelanjutan masih belum sempurna, konsep ini berpotensi membawa pengaruh baik bagi ekonomi maupun lingkungan. Sayangnya, Seaspiracy malah membangun konspirasi dengan menarget LSM yang mencoba melindungi laut, sementara mereka seharusnya berfokus pada perusahaan-perusahaan besar yang merupakan perusak ekosistem laut sebenarnya.

Bisakah Kita Menerapkan Pesan Inti Seaspiracy di Indonesia?

Indonesia adalah negara yang memiliki ribuan pulau, dan banyak di antaranya bergantung pada perikanan dan hasil laut dalam kehidupan sehari-hari penghuninya. Indonesia juga merupakan produsen ikan kedua terbesar sekaligus salah satu negara yang paling bergantung pada ikan di dunia. Ini artinya crowding out di pasar makanan laut akan sangat membahayakan bagi perekonomian kita. Jutaan pekerja sektor perikanan yang sekejap menjadi pengangguran akan menjadi masalah demografi yang pelik untuk diatasi.

Di samping itu, kita juga perlu menilik signifikansi budaya dari makanan laut di Indonesia. Hampir mustahil untuk tidak menemukan makanan laut dalam kebudayaan di setiap wilayah Indonesia, mengingat negara kita adalah negara kepulauan. Menghapus konsumsi makanan laut berarti menghapus banyak identitas kultural Indonesia pula. Pesan inti dari Seaspiracy juga tidak bisa ditelan mentah-mentah, mengingat banyak adegan di dalamnya seolah mencoreng kebudayaan Asia. Solusi yang ditawarkan oleh Seaspiracy jelas bukan suatu solusi yang memperhitungkan tradisi dan kebudayaan.

Dampak negatif dari penangkapan ikan berlebihan dan praktik tidak etis di dunia perikanan memang penting untuk ditanggapi secara serius. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti kita harus meninggalkan konsumsi makanan laut sepenuhnya. Layaknya industri-industri lain, akan selalu ada praktik yang tidak etis, tetapi memboikot seluruh pasar bukanlah solusi yang masuk akal. Isu-isu seperti perbudakan modern dan overfishing dalam industri perikanan masih dapat diatasi dengan upaya yang lebih rasional, seperti konsep sustainable fishing yang selayaknya didukung lebih lanjut.

Seaspiracy memiliki banyak klaim yang menohok dan kontroversial tentang tindakan tidak etis di industri perikanan. Meskipun diselubungi niat baik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bencana lingkungan, penyampaian berupa konspirasi bombastis yang nonfaktual membuat film ini sulit untuk dianggap serius. Tentu, kita semua harus mementingkan kelestarian lingkungan dan menerapkan konsumsi etis, tetapi bukan berarti kita bisa membiarkan pemikiran kritis kita tenggelam dalam tayangan sensasional. Pada akhirnya, Seaspiracy, sebagaimana tersirat dalam judulnya, hanyalah sebuah konspirasi belaka.

Referensi

Teh, L. C. L., & Sumaila, U. R. (2011, December 7). Contribution of marine fisheries to worldwide employment. Wiley Online Library. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/j.1467-2979.2011.00450.x.

Khan Academy. (n.d.). Shifts in aggregate demand (article). Khan Academy. https://www.khanacademy.org/economics-finance-domain/macroeconomics/aggregate-supply-demand-topic/macro-changes-in-the-ad-as-model-in-the-short-run/a/shifts-in-aggregate-demand-cnx

Zeller, D., Cashion, T., Palomares, M., & Pauly, D. (2017, June 26). Global marine fisheries discards: A synthesis of reconstructed data. Wiley Online Library. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/faf.12233.

Whitehead, J. (2021, April 1). Everything you need to know about Seaspiracy, the controversial new Netflix documentary. inews.co.uk. https://inews.co.uk/culture/film/seaspiracy-fact-check-netflix-documentary-what-about-accuracy-explained-935761.

The Nature Conservancy. (n.d.). Indonesia's Fisheries -- Feeding the World. The Nature Conservancy. https://www.nature.org/en-us/about-us/where-we-work/asia-pacific/indonesia/stories-in-indonesia/indonesia-fisheries-feeding-world/

M., N. R. by J. (2021, April 11). Seaspiracy was great-except for all the racism. Medium. https://newrealities.medium.com/seaspiracy-was-great-except-for-all-the-racism-a46c6b596324.

Pettinger, T., Musgrave, R., Murphy, P., & Abraham.Hebe. (2018, January 8). Demand Deficient Unemployment. Economics Help. https://www.economicshelp.org/blog/1993/economics/demand-deficient-unemployment/.

Kenton, W. (2021, May 20). Structural Unemployment. Investopedia. https://www.investopedia.com/terms/s/structuralunemployment.asp.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun