Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Hypeconomics: Ketika Manipulasi Pasar Membawa Berkah

18 Desember 2020   19:19 Diperbarui: 20 Desember 2020   09:54 1632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga orang mengenakan sweater Supreme, pinterest.com

Saat ini, harga termurah yang Anda bisa dapatkan untuk sepasang Nike Air Jordan 4 Retro Travis Scott Purple Friends and Family menurut StockX (pasar saham untuk sepatu) adalah Rp 353.612.500,00. Meskipun angka Rp 353.612.500,00 tersebut terdengar sangat besar, tetap ada saja orang yang membelinya. Bahkan, dapat dilihat di StockX bahwa sepatu ini terakhir terjual di angka Rp 366.908.330,00. 

Orang-orang yang membeli barang-barang streetwear ini seringkali disebut hypebeasts. Menurut kamus merriam-webster, hypebeast adalah seseorang yang berbakti untuk mendapatkan barang-barang modis seperti streetwear, terutama baju dan sepatu.

Sedangkan, streetwear sendiri berasal dari kata street yaitu jalanan dan wear yang berarti pakaian. Atau bisa dibilang streetwear adalah pakaian yang biasa kita pakai sehari-hari untuk jalan-jalan, hangout, atau santai (Rani Hatta, 2019).

Komponen paling penting dari streetwear adalah baju polos dan hoodie. Namun, definisi tersebut sudah tidak lagi relevan. Pada saat ini, streetwear dapat dikatakan juga sebagai produksi, promosi, penjualan, dan penjualan ulang fesyen kasual, terutama sepatu, baju, dan barang-barang modis lainnya dengan cara melampaui cara kerja penjualan tradisional. Lebih lanjut, streetwear telah berkembang menjadi industri multi-miliar dolar.

Nike Air Jordan 4 Retro Travis Scott Purple Friends, houseofheat.co
Nike Air Jordan 4 Retro Travis Scott Purple Friends, houseofheat.co
Evolusi Streetwear dan Asal Usul Hypebeast
Fenomena hypebeast bermula pada era 90-an ketika budaya skate sedang ramai di California, Amerika Serikat. Hal itu memunculkan toko pakaian di level jalanan seperti Stussy, Diamond Supply Co., Undefeated, dll. 

Seluruh brand tersebut berbeda dan memiliki ciri khasnya masing-masing. Stussy kemudian memperhatikan bahwa orang-orang yang mengidolakan brand-brand tersebut tidak hanya skater saja. Akhirnya, Stussy membuat sebuah baju dengan kutipan kata dari tokoh-tokoh berpengaruh sehingga orang-orang yang tidak memiliki hobi skate dapat memakai baju itu di jalan. Dari sinilah muncul budaya streetwear.

Komunitas streetwear yang awalnya didominasi kaum adam menuntun arah perkembangan gaya berbusana ke arah laki-laki. Streetwear muncul sebagai gaya berbusana yang simpel dan streetwear hanya berarti orang-orang yang menggunakan baju dan sweater yang nyaman dan mereka sukai.

Namun, seiring berjalannya waktu, kultur yang berasal dari jalanan California ini dipengaruhi oleh DJ dan designer terkenal seperti Hiroshi Fujiwara dan Nigo yang membawa kultur street style ke Jepang. 

Akhirnya, sama seperti gerakan kultural besar lainnya, streetwear dengan cepat menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia, yang memiliki gaya jalanannya masing-masing. Lebih lagi, konsep kultur ini sangatlah dipengaruhi oleh musik rap dan hip-hop, dimana keduanya tidak konvensional. Sehingga, ada banyak rapper yang menggunakan streetwear (Strategyandhypebeast, 2020). 

Budaya streetwear ini akhirnya memunculkan istilah hypebeast. Hypebeast sendiri berasal dari kata hype (kekinian) dan beast (terobsesi). Sesuai dengan definisinya, seorang hypebeast hidup untuk mencari dan mengenakan barang-barang kekinian berupa streetwear, terutama yang langka. Ciri-ciri dari para hypebeast adalah outfit streetwear branded dari kepala hingga ujung kaki.

Saat ini, keberadaan hypebeast telah berevolusi dari sekadar fenomena belaka menjadi ladang uang yang subur, sebab menjadi hypebeast bukanlah hal yang murah. Lantas, mengapa orang-orang tetap mau mengantre dan membeli barang-barang hypebeast ini?

Menjual Kelangkaan
Salah satu ilustrasi yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah Supreme, salah satu perusahaan streetwear terbesar yang menjadi salah satu pionir budaya hypebeast.

Supreme mendirikan reputasi mereka dengan cara mempertahankan kelangkaan produk, berkolaborasi dengan merek-merek lain, dan merilis barang-barang langka yang tidak umum bagi sebuah perusahaan busana seperti batu bata, linggis, dan tempat makan anjing. 

Mereka merilis produk baru yang terbatas hanya sekali dalam seminggu dan pasti langsung habis terjual dalam hitungan detik. Sebelum mereka merilis barang-barang tersebut, biasanya mereka membuat pengumuman tentang produk apa yang akan diluncurkan melalui sosial media dan pesan ini akan disebarluaskan oleh selebriti, komunitas hypebeast, dan influencers, menciptakan sebuah "hype" diantara para remaja.

Model bisnis Supreme ini bertentangan dengan teori tradisional penawaran dan permintaan. Mereka tidak pernah membuat supply lebih besar dari demand, tujuannya adalah menciptakan artificial scarcity (Adam Smith, 1776) sehingga produknya lebih eksklusif, diinginkan, dan lebih mahal.

Hal ini sesuai dengan salah satu teori ekonomi yaitu scarcity principle dimana suatu produk yang terbatas dengan permintaan yang tinggi, akan menghasilkan ketidakcocokan antara equilibrium supply dan permintaan sehingga orang akan lebih menginkan dan akan bersedia membayar lebih barang-barang yang kita dapat miliki lebih sedikit (Health Slawner, 2020).

Hasilnya, Supreme saat ini telah menjadi salah satu perusahaan busana terbesar dengan valuasi sebesar 2,1 miliar dolar.

Dress to Look Rich
Meskipun pertanyaan besar telah terjawab dengan melihat bisnis model perusahaan-perusahaan streetwear tersebut, ada teori lain yang mampu menjelaskan asal muasal kemunculan hypebeast. 

Salah satunya tercantum dalam mahakarya bapak ekonomi dunia, Adam Smith, yang berjudul The Wealth of Nations. Ia menyebutkan bahwa di mata orang kaya, keberhargaan sebuah objek ditingkatkan oleh kelangkaannya (Smith, 1776). Sementara itu, Ekonom Thorsthein Veblen memperkenalkan istilah "conspicuous consumption" dalam bukunya yang berjudul The Theory of Leisure Class.

Pada dasarnya, istilah itu mengacu pada pembelian barang mahal yang ditujukan hanya untuk menunjukkan status sosial dan kekayaan (Veblen, 1899/1912). Veblen berkata bahwa kelas bangsawan feodal dalam masyarakat telah berevolusi di bawah kapitalisme menjadi lapisan pebisnis dan eksekutif yang menunjukkan kekayaannya melalui pembelian barang mewah.

Lebih lagi, sosiolog Simmel meneliti bahwa fesyen menggabungkan orang-orang di kelas sosial tertentu dan memisahkan mereka dari kelas sosial lainnya.(Simmel,1957).

Hal ini berarti bahwa baju dan sepatu tidak hanya memberikan manfaat untuk menghangatkan dan untuk berjalan, tetapi juga untuk mengindikasikan status sosial dalam masyarakat. 

Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi sosial sangat mempengaruhi seseorang menjadi hypebeast juga menggunakan streetwear yang langka dan tidak murah.

Namun, pengaruh pribadi juga memiliki peran dalam perilaku konsumen. Salah satu teori ekonomi yang menyebutkan hal ini adalah The Hedonic Effect, yang dicetuskan oleh Paul Samuelson. The Hedonic Effect berkata seseorang akan memilih untuk membeli barang karena hal-hal emosional dalam dirinya dan demi pemenuhan diri (Vigneron and Johnson, 1999:8).

Hal ini relevan dalam menjelaskan fenomena hypebeast, mengapa mereka tidak mau membeli barang hypebeast palsu meskipun terlihat hampir sama, sebab para hypebeast membeli barang-barang mahal tersebut untuk menjadi bagian dari suatu budaya. 

Tiga orang mengenakan sweater Supreme, pinterest.com
Tiga orang mengenakan sweater Supreme, pinterest.com
Kesimpulan
Ekonomi hypebeast telah menentang konsep-konsep permintaan, penawaran, dan ekuilibrium tradisional dengan menurunkan supply barang. Dengan demikian, manipulasi ini menjadi sebuah cara untuk meningkatkan willingness to pay masyarakat terhadap barang hypebeast.

Lebih lagi, meskipun teori-teori yang dipakai terdengar sangat tua, ekonomi lagi-lagi menunjukkan kepada kita bahwa dia masih relevan dan tak lekang oleh waktu. Apakah bisnis hypebeast ini akan mati? Mungkin. Akan tetapi, melihat situasi sekarang, masa depan hypebeast masih nampak jauh di depan mata, sehingga sepertinya tren ini tidak akan pergi dalam waktu yang singkat.

Diulas oleh Adrien Wida Devachandra | Trainee Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2020 | Ilmu Ekonomi 2020

Sumber tanpa hyperlink:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun