Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Balada Tabungan Kontemporer: Paradoks Menabung di Tengah Pandemi COVID-19

4 Desember 2020   18:57 Diperbarui: 4 Desember 2020   19:09 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan sebuah situasi di mana Anda terjebak di tengah sebuah pandemi global. Situasi ke depannya kelihatan tidak begitu baik. Orang-orang kehilangan pekerjaan, usaha-usaha gulung tikar, dan bisa saja Anda tiba-tiba terjangkit virus yang mematikan. Dihadapkan dengan situasi seperti ini, apakah Anda akan: a) menambah tabungan Anda, atau b) menambah konsumsi Anda?

Opsi pertama hampir pasti menjadi pilihan jika Anda bertanya kepada siapa saja yang masih waras. Situasi seperti ini pun tak akan terlalu sulit untuk dibayangkan---pandemi COVID-19 yang telah berjalan selama hampir setahun menjadi bukti betapa nyatanya skenario di atas. Namun, tindakan yang kelihatan amat logis ini justru bisa memperparah depresi ekonomi yang sedang kita alami sekarang.

Melihat Fallacy of Composition Bekerja

Fallacy of composition adalah sebuah konsep yang kerap kali kita temui dalam studi ilmu ekonomi. "Kesalahan" logika ini terjadi ketika kita mengasumsikan bahwa sesuatu yang baik bagi sebagian orang pasti baik bagi semua orang. Sebagai contoh, jika Anda sedang menonton sepak bola di stadion dan Anda memutuskan untuk berdiri, maka Anda dapat melihat jalannya pertandingan lebih baik. Namun, jika semua orang berdiri, justru tidak ada yang dapat melihat dengan lebih baik.

Bukan suatu fakta yang mengejutkan bahwa konsep ini menjadi penting dalam ilmu ekonomi, terutama ekonomi makro. Sebagai sebuah cabang ilmu yang mempelajari perekonomian secara keseluruhan (Mankiw, 2021), fallacy of composition jelas berpengaruh dalam konsepsinya. Banyak prinsip ekonomi mikro yang tak dapat serta-merta diterapkan di skala makro, dan fallacy of composition adalah penyebabnya.

Pemisahan ekonomi mikro dan makro secara jelas sendiri baru dimulai dengan dipublikasikannya buku The General Theory of Employment, Interest and Money oleh ekonom kenamaan asal Britania Raya, John Maynard Keynes pada tahun 1936 (Snowdon dan Vane, 2005). Ide-ide Keynes menantang pemahaman ekonomi klasik bahwa keputusan sebuah pasar bebas akan selalu optimal. Selain menjadi fondasi dari ilmu makroekonomi modern, buku ini juga melahirkan sebuah cabang pemikiran baru dalam ekonomi yang dikenal sebagai mazhab Keynesian.

Secara agregat, tabungan nasional merupakan salah satu faktor penting dalam mengamati kondisi makroekonomi suatu negara, dan juga erat kaitannya dengan pendapatan nasional. Namun, sebagai sebuah variabel makro, tentunya ia tak lepas dari fallacy of composition. Ketika menabung dianggap sebagai hal yang baik untuk menambah kemakmuran individu, ia justru berpotensi menurunkan kekayaan suatu negara, terutama di masa krisis seperti sekarang. Lantas, bagaimanakah penjelasan di balik fenomena yang kelihatan membingungkan ini?

Tabungan, Penerimaan Agregat, dan Pendapatan Nasional

Sumber: commons.wikimedia.org
Sumber: commons.wikimedia.org

Salah satu model paling mendasar dalam makroekonomi adalah circular flow diagram. Model ini menggambarkan interaksi dan perputaran pendapatan antara "rumah tangga" dalam perekonomian, yang dapat meliputi konsumen, produsen, pemerintah, hingga masyarakat luar negeri. Dalam bentuknya yang paling sederhana, circular flow diagram terdiri dari dua sektor, yakni rumah tangga konsumen (RTK) dan rumah tangga produsen (RTP). 

Melalui hubungan timbal-balik antara kedua sektor ini, kita dapat melihat bahwa setiap peser uang yang dibelanjakan dalam sebuah perekonomian menjadi pendapatan bagi sektor lain (Samuelson, 1948). Maka, berdasarkan asumsi model dua sektor, pendapatan nasional suatu negara akan sama dengan total pengeluarannya.

Jika kita mengamati model ini lebih saksama, kita akan menyadari bahwa tabungan, terutama yang bersifat nonproduktif, justru berdampak negatif terhadap pendapatan nasional. Ketika setiap peser uang yang dibelanjakan menjadi penggerak roda ekonomi, setiap peser uang yang ditimbun justru memperlambat roda tersebut. Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah paradox of thrift (paradoks tabungan). 

Keynes sendiri menyadari hal ini, yang hasil temuannya ia publikasikan dalam The General Theory. Mengutip Keynes, "Segala upaya untuk menambah tabungan dengan mengurangi konsumsi akan juga mengurangi pendapatan sehingga upaya tersebut dipastikan menggagalkan dirinya sendiri". Ia juga membedakan antara enterprise (investasi produktif) dan thrift (tabungan). Walau kerap diatribusikan kepada Keynes, istilah paradox of thrift sendiri sebenarnya baru disematkan oleh ekonom Amerika Serikat Paul A. Samuelson pada 1948.

Sumber: krugman.blogs.nytimes.com
Sumber: krugman.blogs.nytimes.com

Meskipun paradox of thrift merupakan konsep yang sangat disimplifikasi dan telah mendapat banyak kritik, kebenarannya masih dapat kita lihat di dunia nyata. Sebagai contoh, selama krisis moneter 2008, tabungan nasional neto di Amerika Serikat mengalami penurunan meskipun terjadi kenaikan dalam tabungan pribadi. Kenaikan ini dapat diartikan sebagai penurunan permintaan agregat (aggregate demand), yang menjadi sangat berbahaya di masa krisis. Namun, kenaikan tabungan bukanlah faktor tunggal, melainkan satu dari sekian banyaknya faktor yang saling memperkuat dan menjerumuskan.

Ekspektasi Konsumen, Katalis Lingkaran Setan Deflasi

Untuk menjelaskan fenomena ini lebih dalam, perilaku konsumen sebagai penentu demand berperan sangat besar, terutama dari segi ekspektasi (Angeletos dan Lian, 2020). 

Ekspektasi konsumen mempunyai kekuatan untuk mewujudkan ramalannya sendiri; kekuatan untuk mengubah ketakutan menjadi kenyataan. Manifestasi dari kekuatan ini tak lain adalah sebuah lingkaran setan (vicious circle), suatu rentetan kejadian yang efeknya memperparah kejadian itu sendiri. Dalam kasus ini, lingkaran setan tersebut berupa sebuah spiral deflasi (deflationary spiral), yang ilustrasinya tertera pada gambar di bawah ini.

Sumber: snbchf.com
Sumber: snbchf.com

Ketika kondisi perekonomian diperkirakan memburuk, wajar apabila terjadi penurunan permintaan agregat, sebab masyarakat ingin berjaga-jaga. Namun, penurunan permintaan ini akan menyebabkan kelebihan penawaran dan jatuhnya harga. Dari sini, pendapatan perusahaan akan menurun, yang dapat menimbulkan masalah-masalah baru seperti kegagalan membayar utang (defaulting), kebangkrutan, serta pemotongan gaji dan bahkan PHK. Kondisi demikian tentunya akan membuat ekspektasi masyarakat ke depannya menjadi semakin buruk.

Pada tahap ini, perkiraan masyarakat di awal telah berhasil mewujudkan dirinya sendiri. Meski jatuhnya permintaan juga disebabkan oleh penurunan disposable income, ekspektasi turut menjadi katalis yang mempercepat siklus deflasi ini. Jika dibiarkan terus, akan sulit bagi suatu negara untuk pulih dari jurang perekonomian tersebut.

Layaknya mesin yang terlalu dingin, suatu negara yang jatuh ke dalam pusaran ini memerlukan "bahan bakar" untuk menghidupkan perekonomiannya kembali. 

Kunci dari pemulihan ini terletak pada restorasi permintaan agregat ke tingkat awal. Inilah alasan di balik pemberian bantuan langsung tunai/cash transfer oleh pemerintah dalam masa krisis seperti sekarang. Kucuran dana yang dialirkan bagi masyarakat kurang mampu memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk dibelanjakan (Jappelli dan Pistaferri, 2014), sehingga terjadi kenaikan permintaan. 

Uang yang mengalir kembali ke dalam siklus perekonomian pun akan menghasilkan multiplier effect, yang pada akhirnya menjadi benefisial bagi seluruh pelaku ekonomi.

Tentu, dampak ini tidak akan tercapai apabila tambahan pendapatan tersebut justru ditabungkan oleh penerimanya. Mirisnya, ketika menambah tabungan menjadi opsi yang kelihatan paling logis, justru opsi itulah yang dapat menyeret perekonomian lebih dalam ke jurang deflasi. Jelas sudah bahwa keputusan menabung di masa krisis merupakan sebuah contoh prima dari fallacy of composition; sebuah opsi yang logis sekaligus irasional; sebuah dilema pelik yang sulit dihindari.

Melihat di Luar Ceteris Paribus: Kondisi Indonesia Sekarang

Mengesampingkan berbagai analisis teoretis yang sudah dilakukan sebelumnya, kita harus menyadari bahwa keadaan ekonomi di lapangan tidak selalu seperti yang termaktub di dalam buku. 

Dalam menerapkan teori ekonomi ke dalam kehidupan nyata, kita perlu melihat di luar asumsi ceteris paribus. Dunia nyata bukanlah model ekonomi yang dapat mengabaikan faktor-faktor eksternal demi kepraktisan---dunia nyata adalah sebuah jejaring kompleks dengan berbagai variabel yang saling mengikat dan memengaruhi.

Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengamati kondisi Indonesia di tengah pandemi ini terlebih dahulu. Sejak kuartal kedua 2020, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia telah memasuki zona pesimistis, seiring dengan keanjlokannya ke angka di bawah 100. 

Kondisi ini semakin memburuk hingga Oktober, di mana indeks tersebut justru mencapai angka 79,0. Bayang-bayang deflasi juga sudah menghantui, dengan tingkat inflasi pada Juli dan Agustus menyentuh angka negatif. Tidak mengherankan apabila Indonesia sangat rawan terperosok ke dalam jurang resesi, alih-alih mengalami pemulihan pada tahun berikutnya.

Kisah-kisah depresi ekonomi di masa lampau cukuplah menjadi peringatan bagi Indonesia agar tidak jatuh ke lubang yang sama. Oleh karenanya, intervensi pemerintah sangat diperlukan untuk menstimulasi perekonomian hingga dapat kembali ke jalur pertumbuhan. Penargetan cash transfer sebagai salah satu instrumen utama kebijakan fiskal sangat perlu perbaikan agar tepat sasaran dan berdampak maksimal. 

Sebagai individu, kita juga harus menyadari dampak ekonomi dari kegiatan sesimpel apa pun yang kita lakukan; tindakan yang kelihatan kecil di skala mikro dapat menumpuk dan menjadi signifikan di skala makro. Siapa yang tahu, mungkin saja keputusan menabung yang kita lakukan sekarang dapat menjadi bagian dari sebuah lingkaran setan yang riaknya masih akan terasa hingga beberapa tahun mendatang.

Diulas oleh: Devan Hadrian | Ilmu Ekonomi 2020 | Trainee Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2020

REFERENSI

Mankiw, N. G. (2021). Principles of Economics (Ninth ed.). Boston, MA: Cengage. ISBN 978-0-357-03831-4.

Keynes, J. M. (1936). The General Theory of Employment, Interest and Money. London, United Kingdom: Palgrave Macmillan. ISBN 978-0-230-00476-4.

Snowdon, Brian; Vane, Howard R. (2005). Modern Macroeconomics -- Its origins, development and current state. Cheltenham, United Kingdom: Edward Elgar. ISBN 1-84542-208-2.

Samuelson, Paul A. (1948). Economics: An Introductory Analysis. New York, NY: McGraw-Hill Book Company.

Krugman, Paul. (2009, July 07). The paradox of thrift - for real. The New York Times. Diakses pada 22 November 2020, melalui https://krugman.blogs.nytimes.com/2009/07/07/the-paradox-of-thrift-for-real/

Dorgan, George. (2013, January 11). Irvin Fisher's Deflationary Spiral. Diakses pada 25 November 2020, melalui https://snbchf.com/economic-theory/deflationary-spiral/

Angeletos, G., & Lian, C. (2020). Confidence and the Propagation of Demand Shocks. NBER Working Paper Series. doi:10.3386/w27702

Jappelli, T., & Pistaferri, L. (2014). Fiscal Policy and MPC Heterogeneity. American Economic Journal: Macroeconomics, 6(4), 107-136. doi:10.1257/mac.6.4.107

Bayu, Dimas J. (2020, September 30). Ekonomi Terpukul Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat selama Covid-19. Katadata. Diakses pada 26 November 2020, melalui https://katadata.co.id/0/analisisdata/5f72e0b3f3233/ekonomi-terpukul-perubahan-pola-konsumsi-masyarakat-selama-covid-19

Bank Indonesia. (2020, November 11). Survei Konsumen Oktober 2020 : Perbaikan Keyakinan Konsumen Masih Tertahan. Diakses pada 26 November 2020, melalui https://www.bi.go.id/id/ruang-media/info-terbaru/Pages/Survei-Konsumen-Oktober-2020-Perbaikan-Keyakinan-Konsumen-Masih-Tertahan.aspx

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun