Layaknya mesin yang terlalu dingin, suatu negara yang jatuh ke dalam pusaran ini memerlukan "bahan bakar" untuk menghidupkan perekonomiannya kembali.Â
Kunci dari pemulihan ini terletak pada restorasi permintaan agregat ke tingkat awal. Inilah alasan di balik pemberian bantuan langsung tunai/cash transfer oleh pemerintah dalam masa krisis seperti sekarang. Kucuran dana yang dialirkan bagi masyarakat kurang mampu memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk dibelanjakan (Jappelli dan Pistaferri, 2014), sehingga terjadi kenaikan permintaan.Â
Uang yang mengalir kembali ke dalam siklus perekonomian pun akan menghasilkan multiplier effect, yang pada akhirnya menjadi benefisial bagi seluruh pelaku ekonomi.
Tentu, dampak ini tidak akan tercapai apabila tambahan pendapatan tersebut justru ditabungkan oleh penerimanya. Mirisnya, ketika menambah tabungan menjadi opsi yang kelihatan paling logis, justru opsi itulah yang dapat menyeret perekonomian lebih dalam ke jurang deflasi. Jelas sudah bahwa keputusan menabung di masa krisis merupakan sebuah contoh prima dari fallacy of composition; sebuah opsi yang logis sekaligus irasional; sebuah dilema pelik yang sulit dihindari.
Melihat di Luar Ceteris Paribus: Kondisi Indonesia Sekarang
Mengesampingkan berbagai analisis teoretis yang sudah dilakukan sebelumnya, kita harus menyadari bahwa keadaan ekonomi di lapangan tidak selalu seperti yang termaktub di dalam buku.Â
Dalam menerapkan teori ekonomi ke dalam kehidupan nyata, kita perlu melihat di luar asumsi ceteris paribus. Dunia nyata bukanlah model ekonomi yang dapat mengabaikan faktor-faktor eksternal demi kepraktisan---dunia nyata adalah sebuah jejaring kompleks dengan berbagai variabel yang saling mengikat dan memengaruhi.
Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengamati kondisi Indonesia di tengah pandemi ini terlebih dahulu. Sejak kuartal kedua 2020, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Indonesia telah memasuki zona pesimistis, seiring dengan keanjlokannya ke angka di bawah 100.Â
Kondisi ini semakin memburuk hingga Oktober, di mana indeks tersebut justru mencapai angka 79,0. Bayang-bayang deflasi juga sudah menghantui, dengan tingkat inflasi pada Juli dan Agustus menyentuh angka negatif. Tidak mengherankan apabila Indonesia sangat rawan terperosok ke dalam jurang resesi, alih-alih mengalami pemulihan pada tahun berikutnya.
Kisah-kisah depresi ekonomi di masa lampau cukuplah menjadi peringatan bagi Indonesia agar tidak jatuh ke lubang yang sama. Oleh karenanya, intervensi pemerintah sangat diperlukan untuk menstimulasi perekonomian hingga dapat kembali ke jalur pertumbuhan. Penargetan cash transfer sebagai salah satu instrumen utama kebijakan fiskal sangat perlu perbaikan agar tepat sasaran dan berdampak maksimal.Â
Sebagai individu, kita juga harus menyadari dampak ekonomi dari kegiatan sesimpel apa pun yang kita lakukan; tindakan yang kelihatan kecil di skala mikro dapat menumpuk dan menjadi signifikan di skala makro. Siapa yang tahu, mungkin saja keputusan menabung yang kita lakukan sekarang dapat menjadi bagian dari sebuah lingkaran setan yang riaknya masih akan terasa hingga beberapa tahun mendatang.