Ternyata, riset De Neve et al. (2015:33) menemukan fakta empirik yang melawan kepolosan di atas. Angka korelasi untuk pertumbuhan positif adalah 0,286 dan pertumbuhan negatif adalah -0,420. Artinya, setiap kenaikan pertumbuhan positif sebesar 1% hanya mendorong SWB sebanyak 0,286%. Sebaliknya, setiap kenaikan pertumbuhan negatif sebanyak -1% menurunkan SWB sampai -0,420%.
Dari sini, timbul sebuah hubungan yang asimetris dan paradoksal antara pertumbuhan ekonomi dan SWB. Tren pertumbuhan ekonomi yang positif tidak serta merta diiringi dengan kenaikan SWB. Sebagai gambaran, lihat saja kurva berikut ini (De Neve et al, 2015:22):
Bukti di atas menunjukkan tidak ada konvergensi di antara dua variabel ini. Justru, amplitudo penurunan SWB lebih besar dibandingkan tingkat pertumbuhan negatif. Fenomena ini menunjukkan bahwa animal spirits dalam diri manusia langsung memicu pesimisme berlebihan saat dihadapkan dengan kejatuhan pertumbuhan ekonomi.
Fornaro dan Wolf (dalam voxeu.org, 2020) menjabarkan bahwa penyebaran virus menyebabkan dua hal. Pertama, severe supply shock karena matinya perdagangan global.Â
Kedua, menurunnya permintaan agregat secara drastis karena pembatasan sosial. Terjadinya kedua penyebab ini secara simultan menimbulkan supply-demand doom loop yang menyuburkan sentimen pesimis dari animal spirits. Be afraid, be very afraid!
Kita belum pernah mengalami krisis seperti ini sebelumnya. Ibarat peninju, kita terkena pukulan telak dari dua sisi; kesehatan dan ekonomi. Jika krisis kesehatan belum selesai, jangan harap perekonomian akan pulih. Kepastian ini memperparah ketidakpastian di antara manusia Indonesia, mengingat situasi pandemi kita yang malah semakin parah.
Meski demikian, let's look on the bright side of life. Ternyata, pertumbuhan ekonomi negatif juga membawa dampak positif terhadap situasi ekologi.Â
Selama beberapa dekade terakhir, terjadi consumption-driven growth yang tidak berkelanjutan dan membahayakan lingkungan (Guercio, 2015:1). Akibatnya, pertumbuhan ekonomi negatif merepresentasikan detoksifikasi lingkungan secara makro lewat penurunan konsumsi.
Penelitian dari Cumming dan von Cramon-Taubadel (2018:9536) mengupas premis ini lebih jauh. Bukti empirik yang mereka temukan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berjalan seiring keberlanjutan lingkungan.Â
Divergensi ini terjadi karena dua alasan. Pertama, perbedaan mendasar dampak pertumbuhan populasi pada pertumbuhan ekonomi. Kedua, umpan balik pembangunan ekonomi menuju pertumbuhan populasi.