Ibarat pelatih sepak bola, presiden yang silih berganti telah menempatkan dana asing di berbagai posisi yang berbeda dalam permainan. Musuh yang berbeda-beda memancing strategi andalan yang berbeda pula. Namun nyatanya, berbagai hasil akhir kerap memancing reaksi yang beraneka macam dari para pendukung setia.
Dinamika pro-kontra tentang dana asing adalah hal yang wajar untuk diperdebatkan, dimulai dari argumen pro yang menganggap dana asing sebagai pemantik ekonomi, hingga argumen kontra yang menuntut proteksionisme pada ekonomi lokal.Â
Di samping perbedaan situasi negara, orientasi politik juga menjadi andil penting di dalamnya. Dana asing menjadi instrumen penting yang selalu dan akan selalu menarik untuk diulik. Lantas, bagaimana catatan performa dana asing di Indonesia?
Terbitnya warisan yang turun temurun
Nyatanya, keterbukaan terhadap dana asing bukanlah hal yang baru di Indonesia. Kebijakan ekonomi ini telah diterapkan di Hindia Belanda pada awal abad XIX, yang merupakan hasil perdebatan panjang antara kaum konservatif dan paham liberalisme Victoria di negeri Belanda. Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria 1870 menjadi bentuk kemenangan kaum liberal untuk melakukan ekspansi dagang.
Dampaknya, aliran modal yang masuk ke Hindia Belanda makin deras dengan diberlakukannya UU Agraria 1870 yang kemudian menjadi katalis berkembangnya pertanian dan perkebunan. Sistem kerja yang lebih modern serta dikenalnya mata uang, alat pertanian, dan komoditas ekspor menjadi keuntungan lainnya.Â
Di sisi lain, liberalisasi ini juga menimbulkan semakin kompleksnya diferensiasi dan stratifikasi di kalangan pribumi. Di samping meluasnya lapangan kerja, rantai "setoran" yang panjang menyebabkan uang yang diterima oleh kalangan petani semakin berkurang.
Setelah Indonesia merdeka, sosok yang dikenal dengan prinsip marhaenisme atau sosio-demokrasi, Bung Karno, menyatakan konsep tiga paradigma yang dikenal dengan nama "Trisakti" atau tiga kekuatan yang berfungsi sebagai kesaktian bangsa, yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Bung Karno bersikukuh pada pendirian bahwa Indonesia mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Dengan alasan yang sama, pada tanggal 17 Agustus 1965, pemerintah memutuskan untuk menarik diri dari keanggotaan IMF, Bank Dunia, dan PBB.Â
Beralih ke Orde Baru, istilah PMA telah dikenal sejak era Presiden Soeharto. Kala itu, masa pemulihan perekonomian negara, UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing berhasil terbit. Salah satu catatan historis yang terjadi setelah adanya UU itu adalah beroperasinya PT Freeport Indonesia. Kala itu, UU PMA terpisah dengan UU soal penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Presiden Soeharto yang cenderung condong ke Blok Barat sangat bertentangan dengan Soekarno, terutama dalam liberalisasi dana asing. Dalam periode 1967 hingga 1971 saja, pemerintah Indonesia sudah membuka pintu untuk 428 investor asing dengan total nilai investasi mencapai $1,6 miliar. Dengan upah buruh yang murah, Soeharto juga melakukan liberalisasi pada sektor industri, pertanian, dan pangan.
Pasang surut penanaman modal asing berlanjut pada era reformasi. Gejolak nilai rupiah dan inflasi pascakrisis 1998 menimbulkan tantangan tersendiri bagi Presiden Habibie. Sempat diragukan untuk mengatasi masalah ekonomi atas dasar latar belakang pendidikan, beliau justru berhasil menguatkan nilai rupiah dari Rp17.000/USD menjadi Rp6.500/USD.