Berdasarkan gejala-gejala yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dilihat bahwa Indonesia juga tidak luput dari deindustrialisasi prematur. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh liberalisasi sektor perdagangan (Muhamad et al., 2020).
Gambar 2. Sumber: Andriyani & Irawan (2018)
Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk kembali ke jalur transformasi struktural untuk mengakselerasi pembangunan ekonomi? Proteksionisme untuk industri muda seperti yang dilakukan AS, Inggris, dan negara-negara Asia Timur bukanlah pilihan. Sebab, Indonesia adalah anggota WTO dan akan menghadapi konsekuensinya jika melanggar perjanjian yang ada.
Meskipun tidak dengan menjiplak langsung, kita tetap dapat mengambil pelajaran dari the East Asian Miracle. Cherif & Hasanov (2019) berpendapat bahwa kesuksesan negara-negara Asia Timur dapat terjadi karena mereka mengimplementasikan tiga prinsip utama yang membentuk “True Industrial Policy”. Mereka menyebutnya dengan Technology and Innovation Policy (TIP).
Pertama, TIP didasarkan pada intervensi negara untuk memfasilitasi perpindahan perusahaan domestik ke sektor-sektor yang sophisticated (yang membutuhkan teknologi tinggi dan intensitas R&D). Kedua, negara juga harus menetapkan orientasi kepada ekspor untuk mempertahankan tekanan kompetitif dan memberi insentif bagi perusahaan untuk berinovasi. Ini berbeda dengan strategi substitusi impor yang menyebabkan inefisiensi, kurangnya inovasi, dan ketergantungan pada input impor utama. Terakhir, pemerintah perlu mengoreksi kegagalan pasar dan menegakkan akuntabilitas. Pemerintah negara berkembang, terkhusus Indonesia, tidak boleh lepas tangan untuk menyetir negara menuju reindustrialisasi.
Kesimpulan
Layaknya makanan, segala sesuatu yang belum diolah secara paripurna hanya mengundang mara bahaya bagi konsumennya. Begitu pula dengan kebijakan yang belum dipertimbangkan secara matang. Apalagi, ketika konsekuensinya menyangkut hajat hidup banyak orang.
Keputusan yang diambil oleh pemerintah suatu negara, misalnya, tidak hanya melibatkan satu atau dua orang saja; ia akan berdampak kepada ratusan juta rakyatnya. Jadi, pemerintah harus bijak untuk tidak memberi makan rakyatnya janji manis globalisasi mentah-mentah. Merekalah yang harus “memasak” kebijakan industri dan perdagangan sesuai dengan “selera” dan “kebutuhan nutrisi” negaranya.
Oleh Rosalia Marcha Violeta | Ilmu Ekonomi 2018 | Kepala Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2020
Referensi tanpa hyperlink