'Bisnis layanan paling khas di Flat White Economy adalah kedai kopi'.
McWilliams (2015: 55)
Berdasar kutipan di atas, meskipun tergolong baru lahir, Flat White Economy telah memberikan petunjuk akan pengaruh dari beberapa perubahan stile di vita yang terjadi di masyarakat kepada industri kafe dan kedai kopi. Peningkatan permintaan di industri kedai kopi modern itu telah membuat kopi dijuluki sebagai "new beer" atau bir baru dengan asumsi bahwa kedai kopi telah dan akan terus mengambil alih peran sosial yang sebelumnya diisi oleh pub. Terbukti dalam 12 bulan dari 2015-2016, pertumbuhan konsumsi kedai kopi Inggris menyentuh angka 10.4%, rekor terbesar dalam lima tahun belakangan. (Mintel, 2016).
Peran sosial tersebut dapat ditelisik dari bagaimana coffee shops telah menjadi ruang publik yang 'Flat Whiters' butuhkan sebagai pusat kreativitas yang ditunjang oleh fasilitas digital seperti free wi-fi dan kualitas suasana yang diberikan untuk dapat duduk, bertemu kolega dan pelanggan, serta bekerja sesuai kebutuhan. Analisis dari rekan McWilliams di CEBR pun menunjukkan korelasi positif yang kuat antara jumlah kedai kopi independen per hektar di London dengan pekerjaan sektor Flat White Economy per hektar.
Pertumbuhan Kedai Kopi Indonesia: Efek Flat White Economy?
Bisnis kedai kopi di Indonesia terus tumbuh menjadi emerging business yang muncul seperti cendawan di musim penghujan. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah kedai kopi di Indonesia secara signifikan dalam tiga tahun terakhir dan naiknya konsumsi domestik kopi di Indonesia. Namun, ada satu pertanyaan yang muncul di kepala, apakah pertumbuhan tersebut juga merupakan pengaruh dari flat white economy di Indonesia?
Kita dapat mulai dengan menilik perekonomian Indonesia pada tahun lalu. Sektor creative economy Indonesia berhasil tumbuh menjadi pilar perekonomian dengan pertumbuhan sekitar 5,76 persen.
Sejalan dengan hal itu, sektor ekonomi digital (e-commerce) Indonesia tercatat meroket jauh, mencetak USD 40 miliar, angka terbesar untuk sektor itu di Asia Tenggara. Bahkan pada 2022, firma McKinsey mengestimasikan pertumbuhan pasar e-commerce Indonesia dapat merangkul sekitar 26 juta pekerja atau 20 persen angkatan kerja Indonesia. Pertumbuhan kedua sektor 4.0 yang sebagian besar tenaga kerjanya berasal dari kaum milenial ini menciptakan habitual behaviour atau kebiasaan baru bagi kalangan tersebut dalam bekerja dan menjalani kehidupan.
Kebiasaan tersebut mencakup budaya konsumsi kopi saat bekerja (McWilliams, 2015). Pernyataan tersebut turut didukung oleh studi bertajuk fenomena kopi kekinian yang dilakukan Alfirahmi pada tahun 2019. Studi tersebut menunjukkan sebuah tren bahwa sejalan dengan perkembangan sektor ekonomi dan teknologi digital yang semakin pesat, perhatian dan minat kalangan muda terhadap kopi cenderung meningkat sebagai akibat dari tereksposnya budaya konsumsi kopi sesama milenial melalui jaringan media sosial digital, terutama saat mereka bekerja dan beraktivitas.
Perkembangan habitual behavior ini tentunya membuat bisnis kedai kopi semakin menjanjikan di Indonesia. Bahkan, menengok jumlah kedai kopi yang terdata saat ini dan asumsi penjualan rata-rata per outlet 200 cup per hari, serta harga kopi per cup Rp22.500, Toffin memperkirakan nilai pasar kedai kopi di Indonesia akan mencapai Rp4,8 triliun per tahun pada tahun 2020.
Proyeksi pertumbuhan pada 2020 ini juga berdasarkan insight dari konsumen yang dikumpulkan melalui survei daring kepada kalangan muda (generasi milenial) penggemar kopi di Indonesia. Hasil survei tersebut antara lain menunjukkan bahwa 40 persen generasi ini membeli coffee drink mereka dari kedai kopi RTD. Dengan rata-rata alokasi belanja untuk minuman kopi (share of wallet) Rp200.000,00 per bulan, bisnis kedai kopi jenis ini diprediksi akan tumbuh signifikan pada tahun-tahun mendatang.