Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Panggung Sandiwara Kapitalisme dan Demokrasi: Menilik Dua Naskah

10 April 2020   17:01 Diperbarui: 10 April 2020   17:02 1939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://ourworldindata.org/grapher/world-gdp-over-the-last-two-millennia

"Dunia ini panggung sandiwara

Ceritanya mudah berubah

Bisa Mahabharata atau

Tragedi dari Yunani."

Bait pembuka sajak Taufik Ismail ini kembali menggedor kita semua. Lihat saja gejolak di sekitar kita sampai hari ini. Begitu banyak masalah yang merisak. Dalam tiga bulan, cerita peradaban kita begitu banyak berubah. Dari pembunuhan Jenderal Qasem Soleimani sampai pandemi Covid-19.

Akan tetapi, dinamika ini hanya riak kecil di tengah sebuah arus besar bernama sejarah. Apalagi kalau kita lihat tiga abad terakhir. Peradaban kita berubah begitu pesat. Seandainya ada mesin waktu, kita pasti tidak mengenal peradaban kita di abad ke 19. Bagaimana perubahan cepat ini terjadi?

sumber: https://ourworldindata.org/grapher/world-gdp-over-the-last-two-millennia
sumber: https://ourworldindata.org/grapher/world-gdp-over-the-last-two-millennia

Sebetulnya, ada berbagai faktor yang mempengaruhi. Mulai dari perubahan paradigma intelektual, dinamika politik, dan lain sebagainya. Namun, ada satu faktor penting yang perlu kita bahas, yaitu faktor perubahan struktur ekonomi.

Sejak peradaban manusia dimulai sampai tahun 1760, struktur ekonomi kita relatif tidak berubah. Dunia masih bergantung pada sektor ekstraktif untuk menciptakan kekayaan. Artinya, manusia masih bertumpu pada sektor agraris, perikanan, dan pertambangan tradisional. Sehingga, kemakmuran umat manusia relatif stagnan pada periode tersebut.

Selanjutnya, penemuan mesin uap oleh James Watt pada tahun 1760 menghancurkan stagnasi tersebut. Pada masanya, mesin uap adalah disrupsi yang membuka potensi ekonomi kita. Inovasi ini memicu terjadinya Revolusi Industri pertama yang dimulai di Inggris dan menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Dari revolusi tersebut, lahirlah tatanan ekonomi yang sampai sekarang dikenal sebagai kapitalisme. Sebuah sistem di mana kepemilikan modal privat dan motif mencari laba menjadi dasar mekanisme perekonomian. Dari tatanan ini, lahir sebuah kelas baru yang melawan kemapanan aristokrasi. Mereka adalah kelas menengah.

Seiring peningkatan kekayaan mereka, kelas ini menginginkan kekuatan politik yang lebih besar. "Kita berbuat banyak untuk memakmurkan negara ini, sudah sewajarnya kita diberikan hak politik lebih banyak," menjadi sikap mereka. Dengan sikap demikian, maka demokrasi menjadi jalan terang untuk meraih objektif tersebut. A match made in heaven.

Kelindan serupa dialami oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Revolusi Industri mereka memantik kapitalisme dan mendorong pertumbuhan demokrasi secara nasional. Wujudnya adalah sistem politik yang semakin inklusif. Artinya, semakin besar kekuatan politik rakyat untuk menentukan arah kebijakan.

Pengalaman pertama kolaborasi kapitalisme-demokrasi ini dijadikan dasar kepercayaan para pengamat di Barat seperti Ludwig Von Mises, Milton Friedman, dan banyak lagi. Mereka percaya bahwa perkembangan kapitalisme adalah prasyarat mutlak pertumbuhan alam demokrasi. Sebuah alam yang memberikan buah hak politik dan sipil kepada individu secara cuma-cuma.

Ibarat naskah tonil, mereka percaya bahwa narasi mereka paling superior. Panggung-panggung sandiwara pasti menampilkan kisah mereka. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa kisah transformasi Revolusi Industri di Barat akan terulang di seluruh penjuru mata angin. Perbedaan budaya atau latar belakang sejarah bukan persoalan.

Apakah kepercayaan para pengamat ini salah? Sejarah peradaban kita memberikan dua bukti yang berbeda. Ada pengalaman yang memberikan verifikasi. Namun ada juga yang menunjukkan falsifikasi. Mengherankan? Tidak. Dialektika peradaban pasti menghasilkan tesis dan antitesis yang berlawanan.

Pengalaman Taiwan, Korea Selatan, dan Chile memberikan verifikasi yang jelas. Mereka mengalami keterbelakangan di awal abad ke 20. Kemudian, ketiganya jatuh ke tangan diktator militer. Mulai dari dinasti politik Chiang Kai Shek (1949 s/d 1988), Park Chung Hee (1963 s/d 1979), dan Augusto Pinochet (1973 s/d 1989).

Menurut hemat penulis, para generalissimo ini adalah kutukan dan berkat. Tentu, terjadi banyak pelanggaran HAM dan represi politik selama mereka berkuasa. Apakah tindakan itu bisa dimaafkan? Jelas tidak. Akan tetapi, mereka juga membawa modernisasi ekonomi melalui promosi kapitalisme pasar bebas dan industri berbasis ekspor. Sehingga, kemakmuran rakyat mereka meningkat.

Kemakmuran membuat alur cerita ketiganya paralel dengan naratif Barat. Muncul kelas menengah baru yang mulai sadar politik dan berupaya meraih hak politik mereka. Di Taiwan dan Korea, mereka menggulingkan pemerintahan otoritarian dengan demonstrasi masif. Di Chile, 56% rakyat mengatakan TIDAK ketika Jenderal Pinochet mencari legitimasi politik lewat referendum 1988.

Sebaliknya, pengalaman Singapura, RRT, dan Rwanda memberikan falsifikasi pada alur ini. Pada awalnya, ketiga negara ini sama-sama terbelakang dan jatuh ke tangan pemimpin adikara di abad ke-20. Mereka dipimpin Lee Kuan Yew (1959-1990), Deng Xiaoping (1978-1992), dan Paul Kagame (1994-sekarang) dengan tangan besi.

Pada ketiga negara, kapitalisme pasar bebas tumbuh subur. Bahkan, Singapura dan Rwanda kini menjadi ekonomi paling bebas di region mereka masing-masing dalam 2020 Index of Economic Freedom. Akan tetapi, perkembangan kebebasan ekonomi ini tidak diiringi dengan perkembangan politik yang demokratis.

Malah, ketiga negara ini mengembangkan konstruksi politik-ekonomi yang melawan naskah Barat. Ia bernama authoritarian/illiberal capitalism. Dalam sistem ini, negara memberikan kebebasan ekonomi kepada rakyat. Sementara kebebasan politik dan sipil? No way. Negara menekan ekspresi kedua kebebasan ini demi kepentingan stabilitas kolektif.

Sampai di abad ke 21, kita disajikan dua naskah yang berbeda; Kapitalisme demokratis dan kapitalisme otoritarian. Sandiwara pertama bercerita soal sistem ekonomi dinamis yang memupuk alam demokrasi. Sementara yang kedua berkisah tentang represi hak politik-sipil sebagai prasyarat mutlak sistem ekonomi yang dinamis.

Pertunjukan mana yang menerima banyak perhatian? Sampai awal abad ke 21, kapitalisme demokratis menjadi idaman penonton. Semua bersorak melihat bertunasnya kapitalisme demokratis di negara bekas Pakta Warsawa dan Uni Soviet. Jumlah rezim demokrasi bertambah pesat secara global, seperti yang diilustrasikan kurva ini:

Sumber: https://www.ft.com/content/cec2664c-9a2e-11e7-b83c-9588e51488a0
Sumber: https://www.ft.com/content/cec2664c-9a2e-11e7-b83c-9588e51488a0

Makin kesini, selera penonton bergeser. Animo terhadap tumbuhnya tunas demokrasi menurun. Mereka justru terpukau oleh kebangkitan Tiongkok. Ternyata, sebuah negara yang membangun kapitalisme otoritarian (ekonomi pasar bebas dengan sistem satu partai) dapat menyaingi Amerika Serikat. Bahkan, ia dianggap lebih efektif dalam menyelesaikan masalah ekonomi seperti resesi dan kemiskinan dengan garis kepemimpinannya yang sentralistis.

Terlebih lagi, menguatnya populisme membuat narasi kapitalisme otoritarian semakin menarik. Para otokrat populis seperti Putin, Erdogan, Orban, dan Trump (to an extent) melihat kapitalisme sebagai senjata untuk mengendalikan narasi politik lewat kontrol ekonomi terhadap media, industri vital, dan lain sebagainya. Sehingga, mereka dapat menggalang kekuatan politik yang lebih besar untuk menggasak demokrasi.

Lantas, kemana cerita ini harus berlanjut? Apakah kapitalisme dan demokrasi harus bercerai demi populisme? Atau rezim kapitalisme otoriter harus dipaksa mengadopsi demokrasi? 

Malah, ada suara dari kiri jalan yang menyajikan lanjutan radikal. "Akhiri saja kapitalisme, demokrasi sejati akan subur!" Hei Bung, pemikir seperti Friedrich Von Hayek dan Milovan Djilas sudah memperingatkan kita. Mengakhiri kapitalisme sama saja melangkah menuju totalitarianisme, di mana para birokrat borjuis menjadi penindas baru peradaban manusia.

Inilah pilihan naskah yang harus kita perdebatkan. Sayang, sekarang bukan episode yang tepat untuk berdebat. Mari kita tunggu sampai normalitas dan kewarasan kembali dalam politik dunia. Paling tidak seperti the prospering 90s. Baru kita bisa memadu ide dan memilih dengan kepala dingin. Percayalah, kebebasan (liberty) akan memikat kepala dingin itu.

Oleh: Rionanda | Staff Kajian Kanopi 2020 | Ilmu Ekonomi 2019

DAFTAR PUSTAKA

  1. Amico, Laura. (2020). DO DEMOCRACY AND CAPITALISM REALLY NEED EACH OTHER? Diakses dari https://hbr.org/2020/03/do-democracy-and-capitalism-really-need-each-other. (22 Maret 2020, 22:55).
  2. Ming, Xia. (2006). "China Threat" or a "Peaceful Rise of China"? Diakses dari https://archive.nytimes.com/www.nytimes.com/ref/college/coll-china-politics-007.html. (22 Maret 2020, 22:54).
  3. Packenhamm, Robert A dan William Ratliff. (2007). What Pinochet Did for Chile. Diakses dari https://www.hoover.org/research/what-pinochet-did-chile. (22 Maret 2020, 22:54).
  4. Wolf, Martin. (2017). Capitalism and Democracy, the Odd Couple. Diakses dari https://www.ft.com/content/cec2664c-9a2e-11e7-b83c-9588e51488a0. (22 Maret 2020, 22:50).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun