Malah, ketiga negara ini mengembangkan konstruksi politik-ekonomi yang melawan naskah Barat. Ia bernama authoritarian/illiberal capitalism. Dalam sistem ini, negara memberikan kebebasan ekonomi kepada rakyat. Sementara kebebasan politik dan sipil? No way. Negara menekan ekspresi kedua kebebasan ini demi kepentingan stabilitas kolektif.
Sampai di abad ke 21, kita disajikan dua naskah yang berbeda; Kapitalisme demokratis dan kapitalisme otoritarian. Sandiwara pertama bercerita soal sistem ekonomi dinamis yang memupuk alam demokrasi. Sementara yang kedua berkisah tentang represi hak politik-sipil sebagai prasyarat mutlak sistem ekonomi yang dinamis.
Pertunjukan mana yang menerima banyak perhatian? Sampai awal abad ke 21, kapitalisme demokratis menjadi idaman penonton. Semua bersorak melihat bertunasnya kapitalisme demokratis di negara bekas Pakta Warsawa dan Uni Soviet. Jumlah rezim demokrasi bertambah pesat secara global, seperti yang diilustrasikan kurva ini:
Makin kesini, selera penonton bergeser. Animo terhadap tumbuhnya tunas demokrasi menurun. Mereka justru terpukau oleh kebangkitan Tiongkok. Ternyata, sebuah negara yang membangun kapitalisme otoritarian (ekonomi pasar bebas dengan sistem satu partai) dapat menyaingi Amerika Serikat. Bahkan, ia dianggap lebih efektif dalam menyelesaikan masalah ekonomi seperti resesi dan kemiskinan dengan garis kepemimpinannya yang sentralistis.
Terlebih lagi, menguatnya populisme membuat narasi kapitalisme otoritarian semakin menarik. Para otokrat populis seperti Putin, Erdogan, Orban, dan Trump (to an extent) melihat kapitalisme sebagai senjata untuk mengendalikan narasi politik lewat kontrol ekonomi terhadap media, industri vital, dan lain sebagainya. Sehingga, mereka dapat menggalang kekuatan politik yang lebih besar untuk menggasak demokrasi.
Lantas, kemana cerita ini harus berlanjut? Apakah kapitalisme dan demokrasi harus bercerai demi populisme? Atau rezim kapitalisme otoriter harus dipaksa mengadopsi demokrasi?Â
Malah, ada suara dari kiri jalan yang menyajikan lanjutan radikal. "Akhiri saja kapitalisme, demokrasi sejati akan subur!" Hei Bung, pemikir seperti Friedrich Von Hayek dan Milovan Djilas sudah memperingatkan kita. Mengakhiri kapitalisme sama saja melangkah menuju totalitarianisme, di mana para birokrat borjuis menjadi penindas baru peradaban manusia.
Inilah pilihan naskah yang harus kita perdebatkan. Sayang, sekarang bukan episode yang tepat untuk berdebat. Mari kita tunggu sampai normalitas dan kewarasan kembali dalam politik dunia. Paling tidak seperti the prospering 90s. Baru kita bisa memadu ide dan memilih dengan kepala dingin. Percayalah, kebebasan (liberty) akan memikat kepala dingin itu.
Oleh: Rionanda | Staff Kajian Kanopi 2020 | Ilmu Ekonomi 2019
DAFTAR PUSTAKA
- Amico, Laura. (2020). DO DEMOCRACY AND CAPITALISM REALLY NEED EACH OTHER? Diakses dari https://hbr.org/2020/03/do-democracy-and-capitalism-really-need-each-other. (22 Maret 2020, 22:55).
- Ming, Xia. (2006). "China Threat" or a "Peaceful Rise of China"? Diakses dari https://archive.nytimes.com/www.nytimes.com/ref/college/coll-china-politics-007.html. (22 Maret 2020, 22:54).
- Packenhamm, Robert A dan William Ratliff. (2007). What Pinochet Did for Chile. Diakses dari https://www.hoover.org/research/what-pinochet-did-chile. (22 Maret 2020, 22:54).
- Wolf, Martin. (2017). Capitalism and Democracy, the Odd Couple. Diakses dari https://www.ft.com/content/cec2664c-9a2e-11e7-b83c-9588e51488a0. (22 Maret 2020, 22:50).