Dari revolusi tersebut, lahirlah tatanan ekonomi yang sampai sekarang dikenal sebagai kapitalisme. Sebuah sistem di mana kepemilikan modal privat dan motif mencari laba menjadi dasar mekanisme perekonomian. Dari tatanan ini, lahir sebuah kelas baru yang melawan kemapanan aristokrasi. Mereka adalah kelas menengah.
Seiring peningkatan kekayaan mereka, kelas ini menginginkan kekuatan politik yang lebih besar. "Kita berbuat banyak untuk memakmurkan negara ini, sudah sewajarnya kita diberikan hak politik lebih banyak," menjadi sikap mereka. Dengan sikap demikian, maka demokrasi menjadi jalan terang untuk meraih objektif tersebut. A match made in heaven.
Kelindan serupa dialami oleh negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Revolusi Industri mereka memantik kapitalisme dan mendorong pertumbuhan demokrasi secara nasional. Wujudnya adalah sistem politik yang semakin inklusif. Artinya, semakin besar kekuatan politik rakyat untuk menentukan arah kebijakan.
Pengalaman pertama kolaborasi kapitalisme-demokrasi ini dijadikan dasar kepercayaan para pengamat di Barat seperti Ludwig Von Mises, Milton Friedman, dan banyak lagi. Mereka percaya bahwa perkembangan kapitalisme adalah prasyarat mutlak pertumbuhan alam demokrasi. Sebuah alam yang memberikan buah hak politik dan sipil kepada individu secara cuma-cuma.
Ibarat naskah tonil, mereka percaya bahwa narasi mereka paling superior. Panggung-panggung sandiwara pasti menampilkan kisah mereka. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa kisah transformasi Revolusi Industri di Barat akan terulang di seluruh penjuru mata angin. Perbedaan budaya atau latar belakang sejarah bukan persoalan.
Apakah kepercayaan para pengamat ini salah? Sejarah peradaban kita memberikan dua bukti yang berbeda. Ada pengalaman yang memberikan verifikasi. Namun ada juga yang menunjukkan falsifikasi. Mengherankan? Tidak. Dialektika peradaban pasti menghasilkan tesis dan antitesis yang berlawanan.
Pengalaman Taiwan, Korea Selatan, dan Chile memberikan verifikasi yang jelas. Mereka mengalami keterbelakangan di awal abad ke 20. Kemudian, ketiganya jatuh ke tangan diktator militer. Mulai dari dinasti politik Chiang Kai Shek (1949 s/d 1988), Park Chung Hee (1963 s/d 1979), dan Augusto Pinochet (1973 s/d 1989).
Menurut hemat penulis, para generalissimo ini adalah kutukan dan berkat. Tentu, terjadi banyak pelanggaran HAM dan represi politik selama mereka berkuasa. Apakah tindakan itu bisa dimaafkan? Jelas tidak. Akan tetapi, mereka juga membawa modernisasi ekonomi melalui promosi kapitalisme pasar bebas dan industri berbasis ekspor. Sehingga, kemakmuran rakyat mereka meningkat.
Kemakmuran membuat alur cerita ketiganya paralel dengan naratif Barat. Muncul kelas menengah baru yang mulai sadar politik dan berupaya meraih hak politik mereka. Di Taiwan dan Korea, mereka menggulingkan pemerintahan otoritarian dengan demonstrasi masif. Di Chile, 56% rakyat mengatakan TIDAK ketika Jenderal Pinochet mencari legitimasi politik lewat referendum 1988.
Sebaliknya, pengalaman Singapura, RRT, dan Rwanda memberikan falsifikasi pada alur ini. Pada awalnya, ketiga negara ini sama-sama terbelakang dan jatuh ke tangan pemimpin adikara di abad ke-20. Mereka dipimpin Lee Kuan Yew (1959-1990), Deng Xiaoping (1978-1992), dan Paul Kagame (1994-sekarang) dengan tangan besi.
Pada ketiga negara, kapitalisme pasar bebas tumbuh subur. Bahkan, Singapura dan Rwanda kini menjadi ekonomi paling bebas di region mereka masing-masing dalam 2020 Index of Economic Freedom. Akan tetapi, perkembangan kebebasan ekonomi ini tidak diiringi dengan perkembangan politik yang demokratis.