Apalagi, ditemukan korelasi positif antara UCW dan rendahnya partisipasi perempuan di dalam pasar tenaga kerja. Hal ini dapat dipahami melalui gagasan trade-off.Â
Ketika seseorang banyak bekerja di rumah, ia akan memilih untuk bekerja lebih sedikit di sektor paid economy atau tidak sama sekali. Ibu yang bekerja juga masih melakukan sebagian besar UCW di rumah, hal ini menimpakan double burden atau beban ganda bagi mereka.
Pekerjaan berbayar tidak langsung mengimplikasikan kesejahteraan atau otonomi yang lebih besar bagi perempuan, karena beberapa perempuan memang memilih untuk tidak terlibat dalam pasar tenaga kerja.Â
Namun, hal ini tetap penting dalam formulasi kebijakan karena seringkali memberikan pengaruh lebih besar kepada keluarga dan masyarakat daripada UCW.
Secara umum, mayoritas pekerja di bidang kesehatan dan perawatan adalah perempuan. Hasil simulasi Women’s Budget Group (WBG) menunjukkan bahwa jika 2% porsi PDB digelontorkan untuk investasi di bidang kesehatan dan perawatan, maka akan tercipta 2,8 juta pekerjaan baru di Indonesia.Â
Proyeksi ini dilandasi oleh teori Keynesian yang menyatakan bahwa investasi oleh pemerintah akan mendorong naik permintaan barang/jasa dan employment di sektor-sektor terkait. Investasi publik diperkirakan dapat menyajikan insentif bagi perempuan lainnya untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja berbayar di dalam bidang ini.
Jadi, berdasarkan analisis manfaat-biaya dari membiarkan peran gender tradisional mendiktekan pembagian kerja, bagaimana seharusnya UCW di rumah tangga dialokasikan? Langkah pertama dan terpenting adalah menggembosi stereotip feminin dari UCW. Buat pekerjaan ini gender-neutral.
Dengan penggembosan ini, baik suami maupun istri dapat berperan sesuai dengan preferensi dan produktivitas mereka di dalam pekerjaan tersebut. Beban pada ibu berkurang dan ayah dapat lebih berperan di dalam tumbuh kembang anak. Akhirnya, kesejahteraan keluarga secara umum meningkat dan ekonomi negara pun bertumbuh lebih cepat.
Selain berbagi tugas dengan suami dan anak, redistribusi UCW dapat dilakukan dengan mempekerjakan asisten rumah tangga (ART).Â
Namun, bagi keluarga miskin yang tidak memiliki cukup sumber daya, pemerintah perlu mengimplementasikan regulasi yang benar-benar pro-keluarga. Berikan cuti orang tua berbayar yang sama panjang serta hibah untuk ibu dari keluarga berpendapatan rendah.
Akan tetapi, setelah melihat kesenjangan antara harapan dan realita di negeri kita, rasanya tidak berlebihan jika Pasal 25 pada RUU Ketahanan Keluarga yang dicanangkan oleh DPR justru menerima cap ‘antikeluarga’ dari Sulistyowati Irianto, pengajar gender dan hukum Universitas Indonesia.