Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

"The Invisible Killer: How Air Pollution is Doing More than Just Ravaging Us"

8 November 2019   17:15 Diperbarui: 9 November 2019   18:30 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kualitas udara yang buruk, tingkat kriminalitas yang tinggi dan pendapatan per kapita yang rendah adalah mimpi buruk bagi negara-negara di dunia. Seperti yang kita tahu, polusi udara merupakan masalah genting di beberapa negara termasuk Indonesia. Kegentingan ini semakin memuncak ketika situs penyedia informasi kualitas udara dan polusi harian kota-kota besar di dunia AirVisual menobatkan Jakarta sebagai kota paling berpolusi ketiga di dunia pada Agustus silam.

AirVisual menggunakan Air Quality Index (AQI) untuk menggambarkan tingkat polusi udara di suatu daerah yang dihitung berdasarkan enam jenis polutan utama, yaitu PM 2,5, PM10, karbon monoksida, asam belerang, nitrogen oksida, dan ozon permukaan tanah. Pada 29 Agustus 2019, AQI Jakarta tergolong di kategori tidak sehat dengan angka 158, di mana konsentrasi PM2,5 mencapai 70 g/m. PM 2,5 atau Particulate Matter 2,5 sendiri merupakan partikel kecil tak kasat mata yang berukuran hanya 2,5 mikrometer, setara dengan tiga persen dari diameter rambut manusia. Saking kecilnya, masker hijau yang biasa kita gunakan sehari-hari bisa ditembus oleh partikel ini.

Kualitas udara yang buruk kini tidak hanya dirasakan oleh warga Jakarta. Daerah yang berada di luar pulau Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan juga turut merasakan hal ini. Namun, memburuknya kualitas udara yang terjadi di ketiga daerah ini disebabkan oleh faktor yang berbeda.

Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika, penurunan kualitas udara di Jakarta disebabkan oleh tiga faktor yaitu polusi kendaraan, pembangunan dan musim kemarau. Berbeda dengan Sumatera dan Kalimantan, kualitas udara yang buruk disebabkan oleh kebakaran hutan yang terus berulang setiap tahunnya.

Kita semua setuju bahwa kualitas udara yang buruk tidak bagus untuk kesehatan. Udara yang kotor dapat menimbulkan berbagai penyakit kronis pada manusia bahkan menyebabkan kematian. Menurut World Health Organization (WHO), polusi udara berkontribusi terhadap 4,2 juta kematian dini di dunia pada tahun 2016 dan 91% kematian dini tersebut terjadi di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah.

Polusi Udara Sejalan dengan Tingkat Kejahatan

Suatu hari, anda berangkat ke tempat kerja dalam keadaan emosi yang stabil. Lalu anda dihadapkan dengan situasi jalanan yang panas, macet dan kepulan asap knalpot dimana-mana. Bagaimana perasaan anda ketika menghadapi situasi tersebut? Pastinya hal ini akan merusak mood anda dalam menjalankan aktivitas pada hari itu. Bisa jadi, anda yang awalnya bahagia seketika menjadi marah. Hal ini mengilustrasikan bahwa kondisi lingkungan sekitar berpengaruh terhadap kondisi psikologis seseorang.

Tahukah anda bahwa ternyata polusi udara tidak hanya menyerang manusia secara fisik tapi juga mental? Tingkat polusi udara yang tinggi mempengaruhi perilaku manusia yang semakin agresif bahkan memicu seseorang untuk bertindak kriminal.

Pada Februari 2018, Sage Journal mempublikasikan sebuah studi yang menunjukkan dampak dari peningkatan polusi udara terhadap tingkat kriminal dan perilaku tidak etis. Penelitian yang dilakukan oleh Jackson G. Lu, dkk. ini menganalisis data panel selama 9 tahun dari 9.360 kota di Amerika Serikat untuk menyelidiki dampak polusi udara terhadap tujuh kategori kejahatan yang datanya diambil dari U.S. Federal Bureau of Investigation .

Studi ini menemukan bahwa polusi udara meningkatkan tingkat kejahatan. Udara yang berpolusi meningkatkan tingkat kecemasan dan kegelisahan masyarakat. Kegelisahan dan kecemasan masyarakat ini berujung kepada peningkatan terjadinya perilaku tidak etis dan kriminal. Perilaku tidak etis akibat dari polusi tersebut bisa disertai dengan kekerasan seperti agresi (Corrigan & Watson, 2005) dan tanpa kekerasan seperti seperti pencurian uang (Kouchaki & Desai, 2015).

Penelitian lain berjudul "The effect of pollution on crime: Evidence from data on particulate matter and ozone" (2019, Pdf) yang dipublikasikan September lalu juga menyajikan informasi terkait hubungan jangka pendek antara paparan polusi udara terhadap beberapa kasus kriminal di Amerika Serikat.

Sama halnya seperti penemuan Jackson G. Lu, dkk. studi ini juga menemukan bahwa terdapat hubungan positif yang kuat antara peningkatan polusi udara dengan peningkatan kejahatan, khususnya penyerangan. Studi ini menyebutkan bahwa kenaikan partikel PM 2,5 sebesar 10% akan berdampak pada peningkatan kejahatan kekerasan sebesar 0,14% per negara per hari.

Akan tetapi, studi ini tidak menemukan hubungan antara polusi udara dengan tingkat kejahatan tanpa kekerasan. Hal ini karena kejahatan dengan kekerasan dan tanpa kekerasan didorong oleh faktor yang berbeda. Studi yang dipublikasikan September lalu ini menduga bahwa kejahatan tanpa kekerasan seperti mencuri lebih didasari oleh faktor untuk memenuhi kebutuhan, sedangkan kejahatan dengan kekerasan lebih disebabkan oleh faktor kejengkelan atau kemarahan (berhubungan dengan kondisi psikologis).

Studi ini menyebutkan bahwa pengurangan polutan partikel PM 2,5 dan ozon sebesar 10% di seluruh AS dapat mengurangi kerugian sosial dari aktivitas kejahatan sebesar 1,4 miliar USD.  Biaya yang ditanggung masyarakat ini bisa dialokasikan untuk sesuatu yang lebih produktif seperti membangun sarana pendidikan, kesehatan dan infrastruktur pendukung lainnya.

Polusi Udara Berbanding Terbalik dengan Pendapatan Potensial

Pernahkah anda mengira bahwa polusi udara telah menyerang manusia bahkan sebelum kita terlahir ke dunia? Mengacu terhadap beberapa studi yang telah dilakukan di Amerika, ternyata polusi udara berdampak buruk terhadap seseorang meskipun ia belum lahir ke dunia.

Pada 2016, Claudia Persico bersama koleganya mempublikasikan sebuah studi yang menunjukkan hubungan antara perkembangan otak seseorang dengan kondisi lingkungan ketika ia berada di dalam kandungan ibunya.

Studi ini menganalisis 13.000 anak yang lahir di Florida antara tahun 1994 dan 2002, dimana mereka merupakan saudara kandung. Adapun kondisi lingkungan ketika ibunya mengandung kedua anak tersebut berbeda, di mana anak yang satu dikandung ketika kondisi lingkungan masih kotor dan satunya lagi tidak. Sederhananya, salah satu anak yang dikandung ibu tersebut tercemar oleh lingkungan yang lebih buruk.

Studi ini menemukan bahwa kondisi lingkungan ketika anak tersebut dikandung memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan otak mereka. Anak yang dikandung di suatu kondisi lingkungan yang lebih kotor memiliki nilai ujian yang lebih rendah, kemungkinan untuk tinggal kelas yang lebih tinggi dan probabilita mengidap gangguan kognitif (autis) lebih tinggi dibandingkan dengan saudara kandungnya.

Bahkan, polusi udara ternyata berdampak terhadap hal-hal yang bahkan sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh kita. Mengacu pada studi Claudia Persico, dkk. polusi udara secara tidak langsung berdampak terhadap pendapatan potensial seseorang. Mengapa demikian?

Studi tersebut menyebutkan bahwa anak-anak yang kian hanya tercemar oleh lingkungan yang kotor ketika dalam kandungan memiliki perkembangan otak yang lebih lambat dibandingkan yang tidak. Hal ini dapat mendorong mereka menjadi semakin apatis terhadap pendidikannya.

Hal ini juga didukung oleh studi Janet Currie, dkk. (Pdf) yang terbit pada tahun 2009. Mereka menyebutkan bahwa tingkat karbon monoksida yang tinggi akan meningkatkan kuantitas anak-anak yang absen dari sekolah sebagai akibat dari kondisi kesehatan yang terganggu, meskipun tingkat polusi masih di bawah standar kualitas federal. Peningkatan kuantitas anak-anak yang absen dari sekolah akan berpengaruh buruk terhadap pendidikan mereka. Padahal, dengan memiliki pendidikan yang baik, seseorang akan memiliki produktivitas yang tinggi.

Dengan tingkat produktivitas yang tinggi, maka seseorang bisa mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi pula. Oleh karena itu, polusi secara tidak langsung mengurangi kemampuan seseorang untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh Persico, dkk. sejalan dengan riset Adam Isen, dkk. berjudul "Every breath you take---every dollar you'll make: The long-term consequences of the Clean Air Act of 1970"(2017, Pdf).

Dari riset tersebut, para ahli menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara paparan polusi di awal kelahiran dengan pendapatan di masa depan. Tingginya tingkat paparan polusi di awal kelahiran berdampak terhadap partisipasi angkatan kerja dan pendapatan yang lebih rendah pada usia 30 tahun.

Refleksi

Jika menelisik kembali pada kualitas udara di Jakarta yang dilaporkan oleh AirVisual pada 29 Agustus 2019, tercatat bahwa Jakarta merupakan kota paling berpolusi ketiga di dunia pada angka 158 dan PM 2,5 pada angka 70 g/m.

Jika kita melihat paparan studi di atas tersebut, bagaimana bisa Indonesia keluar dari Middle Income Trap jika produktivitas tenaga kerjanya terus dihambat oleh polusi udara yang marak terjadi? Bagaimana bisa Indonesia melepas statusnya sebagai negara berkembang jika generasi penerusnya terus dikontaminasi oleh polusi udara? Bagaimana bisa Indonesia memanfaatkan bonus demografi pada 10 tahun mendatang jika anggarannya terus meradang akibat hal-hal yang kurang produktif?

Oleh karena itu, sudah semestinya pemerintah terdorong untuk mengatasi masalah polusi udara di Indonesia supaya tidak mendatangkan malapetaka bagi Indonesia nantinya.

Oleh Agung Dermawan | Ilmu Ekonomi 2018 | Staff Biro Penerbitan dan Informasi Kanopi FEB UI 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun