Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Ibu Kota Dipindahkan, Akankah Kesejahteraan Berpindah?

16 Agustus 2019   18:06 Diperbarui: 17 Agustus 2019   03:15 1978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hal ini tentu harus diatasi dengan baik oleh pemerintah demi menciptakan Ibu Kota baru yang layak huni dan berkelanjutan." 

Provinsi DKI Jakarta memiliki sejarah yang panjang sebagai Ibu Kota Republik Indonesia. Nama tertua Jakarta adalah Sunda Kelapa, yang kemudian berganti menjadi Jayakarta ketika berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten. 

Nama Jayakarta pun diganti dengan Batavia ketika kota tersebut ditaklukan dan dikukuhkan menjadi pusat administrasi Belanda oleh VOC di tahun 1621. Akhirnya, nama 'Jakarta'lah, yang muncul saat pendudukan Jepang, yang hingga kini digunakan.

Pemindahan pusat pemerintahan Indonesia merupakan sebuah wacana yang telah terdengar gaungnya sejak era kolonialisme. Setidaknya delapan negara telah mewujudkan wacana ini dan sejumlah negara seperti Filipina, Korea Selatan, dan Mesir tengah merampungkan persiapan untuk melakukan hal yang sama. 

Kali ini, pemindahan tersebut akan segera melepas statusnya sebagai wacana belaka dan bertransformasi menjadi suatu kebijakan yang resmi. Presiden Terpilih Republik Indonesia periode 2019-2024 Joko Widodo, kerap dipanggil Jokowi, telah mengagendakan kebijakan ini di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 atau RPJMN IV. 

Urgensi Kebijakan

Jika dipandang dengan kacamata ekonomi saja, Jakarta dapat dengan mudah dinobatkan sebagai provinsi paling sejahtera. Seperti yang disepakati para ekonom, ukuran kesejahteraan ekonomi yang paling baik adalah produk domestik bruto (PDB). 

Untuk membandingkan kondisi Jakarta dengan 33 provinsi lainnya di Indonesia, maka ukuran yang digunakan adalah produk domestik regional bruto (PDRB), yang mengukur baik total pengeluaran maupun total pendapatan daerah untuk barang dan jasa dalam suatu periode tertentu. 

Lebih jauh lagi, PDRB dibagi dengan total penduduk suatu daerah untuk menghasilkan PDRB per kapita yang lebih akurat menggambarkan seberapa sejahtera hidup seorang anggota masyarakat di daerah terkait. 

DKI Jakarta adalah salah satu dari dua provinsi yang PDRB per kapitanya menyentuh nominal ratusan juta rupiah sekaligus provinsi dengan PDRB per kapita tertinggi di seantero negeri. 

Namun, melihat Jakarta hanya melalui lensa ekonomi tidaklah cukup karena provinsi terpadat di Indonesia ini menyimpan beberapa masalah multidimensi yang tak dapat lagi diabaikan. Kini, area seluas 662,33 km2 itu tak lagi dinilai layak berperan sebagai Ibu Kota negara karena tiga alasan dan ketiganya tak lagi asing sebab sudah sering disinggung oleh berbagai pihak. 

(Sumber: kajipost)
(Sumber: kajipost)
Pertama, kepadatan penduduk seperti telah dipaparkan sebelumnya. Kedua, kemacetan yang tak kalah buruknya. Dan yang ketiga, Jakarta diprediksikan akan tenggelam pada tahun 2050, menjadikannya kota pertama di dunia yang tertimpa musibah semacam itu. 

Selain itu, pemindahan Ibu Kota juga dimaksudkan untuk mendorong pemerataan pembangunan antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur serta menggeser fokus pembangunan menjadi Indonesia-sentris dan tak lagi Jawa-sentris. 

Para Kandidat Calon Ibu Kota

Untuk mengatasi masalah ini, Jokowi bekerja sama dengan tim gabungan yang dipimpin oleh Bappenas untuk memilih sejumlah kandidat calon Ibu Kota yang baru dan membuat perencanaan perpindahan. 

Meski hingga saat ini belum ada pemenang yang pasti, pemerintah telah melirik Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Selatan (Kalsel), dan Kalimantan Timur (Kaltim). Lokasi tepatnya adalah Bukit Soeharto, Bukit Nyuling, dan Kawasan Segitiga Palangkaraya.

Ketiga provinsi ini patut dipertimbangkan karena Pulau Kalimantan masih relatif sepi dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia kecuali Papua, seperti dapat dilihat pada gambar di bawah. Meski sepi, infrastruktur yang tersedia, khususnya di Kaltim dinilai sudah mumpuni. 

(Sumber: Agustina et al., 2019)
(Sumber: Agustina et al., 2019)
Ditambah lagi, Kalimantan juga relatif aman dari ancaman gempa, kontras dengan Jakarta yang belum lama ini diguncang gempa sebesar 7,4 SR dan daerah-daerah lain yang juga kerap mengalami peristiwa yang serupa. 

Hal semacam ini sebetulnya bisa diatasi dengan membangun sistem mitigasi bencana yang baik, namun berhubung sistem yang dimiliki Indonesia masih jauh dari cukup, maka akan lebih baik jika pusat pemerintahan sebagai bagian krusial negara terhindar dari risiko tersebut. 

(Sumber: Irsyam et al., 2017)
(Sumber: Irsyam et al., 2017)
Lantas, dengan dicopotnya titel Ibu Kota dari Jakarta, apakah daerah yang kepadanya disematkan titel tersebut akan mencapai tingkat 'kesejahteraan' yang dinikmati warga Jakarta? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita memotongnya menjadi bagian-bagian yang lebih mudah dicerna. 

Akankah Kesejahteraan Berpindah?

Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB)  Syafruddin, setidaknya satu juta personil aparatur sipil negara (ASN) juga harus ikut berpindah ke Ibu Kota baru kelak. Dengan bertambahnya penduduk, total pendapatan atau pengeluaran mereka yang terkalkulasi ke dalam PDRB meningkat.

Pertambahan PDRB ini menghasilkan pertambahan PDRB per kapita, sebab jumlah penduduk hanya meningkat satu juta, tetapi peningkatan pendapatan atau pengeluaran pasti lebih dari satu juta rupiah. Perkiraan ini dibuat dengan asumsi yang berpindah hanya ASN saja, belum ditambah dengan keluarga mereka dan warga baru yang mungkin ikut berpindah untuk mencoba peruntungan.

Pertambahan penduduk berarti kebutuhan akan berbagai barang dan jasa di Ibu Kota baru juga meningkat. Kenaikan ini membawa dapat membawa hembusan napas kehidupan bagi perekonomian daerah-daerah penyangganya. 

Sebagai contoh, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemprov Kalsel Nurul Fajar menyatakan bahwa Kalsel sudah bersiap untuk menopang kebutuhan beras, tenaga kerja, serta sektor-sektor lainnya. 

Selanjutnya, pemindahan Ibu Kota juga melibatkan pembangunan berbagai jenis infrastruktur. Penambahan infrastruktur ini akan mempermudah akses masyarakat ke sarana dan prasarana yang dibutuhkan, terkhusus di dalam sektor pendidikan dan kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. 

Lalu, adanya infrastruktur yang lebih canggih akan berujung kepada bertambahnya investor yang tertarik untuk menanamkan modal mereka karena sentimen terhadap iklim berbisnis di Ibu Kota baru maupun daerah sekitarnya akan menjadi lebih positif. 

Contohnya, fenomena 'harga naik setiap Senin' kini juga telah melanda Kalimantan meskipun lokasi Ibu Kota yang spesifik belum kunjung diumumkan. 

Sisi Lain Kesejahteraan

Setiap hal mempunyai sisi baik dan buruk, begitu pula kebijakan pemindahan Ibu Kota ini. Meskipun, Pulau Kalimantan secara virtual aman dari gempa, ada bencana lain yang mengintai  yakni kebakaran hutan. 

Banyaknya titik panas yang terdapat di pulau ini berakibat pada berkurangnya keragaman hayati, bertambahnya emisi karbon, dan kerugian akibat deforestasi. Ketiga dampak negatif ini dapat diperburuk ketika nanti pemerintah harus membabat lahan hijau demi mengakomodasi pembangunan. 

Selanjutnya, penting untuk diketahui bahwa kota ini disebut tidak akan menjadi kota metropolitan seperti Jakarta dan didesain untuk menampung 1,5 juta orang saja. Jadi, kelebihan populasi di Pulau Jawa dan berbagai masalah yang mengikutinya tidak akan bisa diselesaikan hanya oleh kebijakan pemindahan Ibu Kota ini sendiri. 

Ditambah lagi, Jakarta tetap akan menjadi sebuah kota metropolitan dan sentra bisnis Indonesia. Konsekuensinya, rakyat Indonesia kemungkinan tidak akan berpindah keluar dan sebaliknya justru tetap berpindah masuk ke Jakarta seperti dikatakan oleh Direktur Asia Institute di University of Tasmania, James Chin. 

Masalah selanjutnya adalah kualitas air. Calon Ibu Kotabaru adalah daerah yang pernah digunakan sebagai tambang sehingga dikhawatirkan air di lokasi tersebut telah terkontaminasi. Hal ini tentu harus diatasi dengan baik oleh pemerintah demi menciptakan Ibu Kota baru yang layak huni dan berkelanjutan.

Kesimpulan

Di balik segala iming-iming kesejahteraan yang ditawarkan oleh jabatan Ibu Kota ini, ada beberapa hal yang perlu disoroti karena memiliki potensi untuk berkembang menjadi masalah di masa depan. 

Meskipun Ibu Kota baru di Kalimantan dan daerah sekitarnya mungkin akan merasakan secuil kesejahteraan Jakarta, pemerataan pembangunan dan redistribusi kesejahteraan untuk seluruh Indonesia masih butuh lebih dari sekadar kebijakan yang satu ini.

Oleh Rosalia Marcha Violeta | Ilmu Ekonomi 2018 | Staf Divisi Kajian Kanopi 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun