Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Memahami Gagalnya Partai Baru Masuk Parlemen dari Perspektif Ekonomi

26 April 2019   18:54 Diperbarui: 28 April 2019   01:09 1530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi iklan Partai di televisi. (Gambar: Kanopi FEBUI)

Pemilihan legislatif (Pileg) tahun ini membawa warna-warna baru yang tercermin dengan adanya 4 partai politik (parpol) baru yang ikut kontestasi untuk bisa menembus Senayan. Kehadiran mereka dapat menyemaikan bibit-bibit harapan baru bagi mereka yang selama ini tidak puas dengan kinerja parpol yang sudah lama duduk di parlemen. 

Beberapa gagasan yang diusung para partai baru sebenarnya memungkinkan adanya perubahan dalam parlemen ke arah yang lebih baik, seperti wacana Partai Solidaritas Indonesia untuk meluncurkan aplikasi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di mana masyarakat bisa memberikan penilaian pada anggota DPR  berdasarkan presensi serta keaktifan dalam rapat-rapat yang direkam secara live.

Pileg 2019 yang dilaksanakan di Indonesia menggunakan sistem proposional dengan daftar terbuka. Di gedung DPR ada 550 kursi yang diperebutkan oleh 16 Parpol. Setiap orang memilih satu caleg atau satu parpol ketika nyoblos. 

Setelah pemilihan, suara akan dihitung dan diakumulasi jumlahnya dan selanjutnya akan dibagi menggunakan bilangan pembagi pemilih yang telah disesuaikan dengan jumlah penduduk tiap provinsi.

Sayangnya, pada Pileg tahun ini, keempat partai baru tersebut tidak berhasil menembus ambang batas parlemen sebesar 4% ini. 

Disadur dari Indo Barometer, urutan parpol dengan perolehan suara tertinggi adalah Partai Perindo dengan perolehan sebesar 2,65%, disusul oleh Partai Solidaritas Indonesia dengan perolehan sebesar 2,13%, Partai Berkarya dengan perolehan sebesar 2,12%, dan yang terakhir adalah Partai Garuda dengan perolehan sebesar 0,59%. Sedikitnya partai baru yang sukses tersebut bukan fenomena yang unik terjadi pada pileg ini saja. 

Apabila kita melihat ke belakang, pada tahun 2004, hanya 5 dari 45 parpol baru yang memperoleh suara diatas 6%; 8 di antaranya bahkan tidak lolos ke parlemen nasional yang saat itu belum memiliki peraturan ambang batas. 

Pada tahun 2009 dari 18 parpol baru, hanya Hanura dan Gerindra yang mampu lolos ambang batas parlemen sebesar 3.5% pada saat itu. Sebagian besar parpol tersebut akhirnya menghilang begitu saja. 'Untungnya', pada pileg 2014, satu-satunya parpol baru yaitu Nasional Demokrat (Nasdem) berhasil lolos ke parlemen.

Fakta ini cukup menyedihkan. Track record kegagalan parpol baru tersebut mungkin bisa memberikan efek deteren bagi masyarakat yang tergerak untuk membentuk partai baru. Banyak sekali hal yang mungkin menjadi penyebab dari terjadinya hal ini.  

Ilmu Ekonomi sendiri ternyata memiliki suatu sudut pandang tertentu yang dapat menjelaskan salah satu penyebab parpol-parpol ini kalah: strategic voting.

Asumsi, asumsi, dan asumsi.

Untuk memahami penyebabnya, kita perlu memahami teori yang mendasari Rational Choice Theory, sebuah teori dalam ilmu politik yang lahir dari irisan antara Ilmu Politik, Ilmu Ekonomi, dan Matematika.

 Premis utama dalam teori ini menyatakan bahwa perilaku masyarakat secara agregat merupakan hasil dari perilaku setiap individu dalam mengambil tindakan. Artinya, lolosnya suatu partai ke dalam parlemen nasional ditentukan oleh pilihan dari setiap individu ketika nyoblos.

Tindakan setiap individu dalam teori ini didasarkan pada asumsi yang tidak asing di telinga mereka yang mempelajari mikroekonomi: rasionalitas. Asumsi yang didasarkan pada mazhab ekonomi neoklasikal ini menyatakan bahwa: 1) Setiap individu hanya mementingkan kepentingan pribadi, 2) berusaha memaksimalkan kepuasan, 3) bertindak berdasarkan kondisi informasi yang lengkap.

Setiap pemilih juga diasumsikan berorientasi pada kebijakan setiap parpol terhadap suatu isu. Dalam Spatial Model yang dicetuskan oleh Anthony Downs, setiap parpol dapat diurutkan secara ideologis dari kiri ke kanan dalam ruang satu dimensi (tergambar dengan kurva di bawah). 

Seiring perkembangannya, pengurutan parpol ini bisa juga diterapkan dalam setiap kebijakan. Misalnya, sebuah kebijakan yang terkait dengan tingkat pajak, dapat diurutkan parpol mana yang akan mengusahakan tingkat pajak yang rendah dan parpol mana yang akan mengusahakan tingkat pajak yang tinggi.  Setiap individu diasumsikan memiliki satu titik kepuasan puncak (single-peaked preferences) dalam dimensi tersebut.

Grafis
Grafis
Berangkat dari asumsi-asumsi ini, setiap individu akan memiliki preferensi parpol pilihan yang akan memaksimalkan kepuasan mereka berdasarkan cost-benefit analysis. 

Maksimalisasi kepuasan ini didasarkan pada kepuasan setiap alternatif yang ada dan hambatan yang dimilikinya, dan dapat dihitung secara matematis. Dalam kasus ini, alternatif yang ada adalah seluruh partai yang ikut dalam Pileg 2019:

Penggolongan Partai Politik Peserta Pemilu
Penggolongan Partai Politik Peserta Pemilu
Preferensi setiap individu harus memenuhi 2 asumsi teknikal: completeness dan transitivity. Completeness berarti setiap individu mampu membandingkan setiap alternatif parpol dengan lainnya. Contohnya, A mampu mengurutkan preferensi parpolnya sebagai berikut:

Grafis Kepuasan
Grafis Kepuasan
Dalam kasus di atas, transitivity adalah kondisi di mana apabila PSI lebih disukai dibanding PDIP dan PDIP lebih disukai dibanding Golkar, maka PSI lebih disukai dibandingkan Golkar.

Memilih Berdasarkan Hati...

Dalam dunia yang ideal, seseorang tentunya akan memilih parpol yang mampu memaksimalkan kepuasan (u). Kondisi ini dinamakan dengan Sincere Voting. 

Menyoblos parpol yang paling bisa memberikannya kepuasan, seseorang akan berharap bahwa parpol tersebut akan lulus dan membawa kepentingannya di parlemen, sehingga dalam implementasi kebijakan mampu memberikan kepuasan yang tinggi bagi orang tersebut.

Parpol baru, yang diharapkan membawa kebijakan dan gagasan baru, bisa mengambil suara para pemilih yang selama ini merasa belum terwakilkan oleh parpol yang ada atau suara para pemilih yang selama ini loyal terhadap partai lain. 

Dengan kata lain, apabila semua orang melakukan sincere voting, parpol baru dapat memiliki peluang yang cukup besar untuk bisa lolos ambang batas parlemen dan memiliki representasi di parlemen, selama ia mampu memberikan gagasan baru yang mampu menjawab permasalahan bangsa.

Sekilas, sistem yang saat ini digunakan terkesan cukup adil dan layak untuk digunakan. Namun, sebenarnya, sistem pileg semacam ini dapat menyebabkan seseorang memilih parpol yang sebenarnya bukan merupakan pilihan utamanya, yang pada akhirnya menyebabkan suara kelompok masyarakat tertentu tidak terepresentasi.

... atau Strategi?

Strategic Voting adalah kondisi memilih di mana seseorang tidak memilih pilihan utamanya untuk mencegah kemenangan pilihan yang lebih buruk. Misalnya, ada seorang pendukung koalisi 02 yang secara khusus mendukung partai Berkarya. Ia berniat untuk memilih partai Berkarya. 

Namun, Partai Berkarya sebagai partai baru rawan untuk tidak lolos ke parlemen, dan membuatnya memilih PKS (partai terfavorit setelahnya) yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk menang. 

Hal ini mungkin dicegah untuk menghindari beberapa hal: 1) tidak terepresentasikannya suara mereka di DPR karena Partai Berkarya rawan tidak lolos parlemen sebagai parpol baru, 2) koalisi 01 untuk lebih banyak menguasai kursi parlemen melalui parpol 'besar' mereka. Kedua kejadian ini dinilai oleh pemilih sebagai kejadian yang paling tidak diinginkan, sehingga untuk mencegahnya terjadi, ia memilih parpol lain.

Seandainya skenario di atas benar-benar terjadi, hal ini menunjukan bahwa di pileg 2019 dan mungkin pileg-pileg sebelumnya, strategic voting lebih banyak memberikan dampak buruk daripada dampak baik pada parpol baru. 

Padahal, mungkin saja, ada pendukung parpol lama yang bisa beralih mendukung parpol baru apabila ia mengasumsikan bahwa parpol yang paling disukai sudah pasti lolos ke parlemen. Misalnya, seorang pendukung PDIP bisa saja malah nyoblos PSI karena sudah yakin bahwa PDIP akan lolos ke parlemen.

Tentu, ini tidak berarti semua pemilih akan memilih berdasarkan strategi. Ada berbagai metode perhitungan matematis yang rumit dan berbeda-beda yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah kelompok strategic voters. 

Di Indonesia, konsep strategic voting sendiri belum banyak dikenal dan belum banyak diteliti. Padahal, mengingat bahwa sebenarnya kelompok strategic voters  ini mampu mempengaruhi hasil pileg, akan menjadi menarik bagi para pengamat politik untuk mengetahui kira-kira berapa jumlah mereka.

Memahami dan Mencari Solusi

Minimnya analisa perihal kelompok strategic voters di Indonesia menunjukan bahwa masih cukup besar porsi masyarakat, terutama aktor-aktor politik, yang belum sadar dan memahami keberadaan kelompok ini. Jumlah, penyebab, dan akibat dari adanya kelompok ini secara spesifik di Indonesia belum pernah dibahas dan dianalisa. 

Apabila ulasan mengenai hal ini mulai membumi di Indonesia, dinamika perpolitikan Indonesia akan menjadi lebih menarik dan komprehensif. Selain itu, parpol baru juga akan menjadi tertantang untuk menemukan solusi yang mampu mencegah dampak buruk yang mereka rasakan dengan keberadaan kelompok strategic voters ini. 

Dengan demikian, mungkin parpol-parpol baru dengan gagasan menarik dapat melaju ke parlemen dan mewakilkan suara-suara rakyat Indonesia demi perubahan ke arah yang lebih baik.

Oleh: Kevin Bagas Ksatria I Ilmu Ekonomi UI 2018 I Staf Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2019

References

  1. Theory in Social and Cultural Anthropology: An Encyclopedia., Chapter: Rational Choice Theory., Publisher: Sage, Editors: R. Jon McGee, Richard Warms, pp.688-690
  2. Downs, Anthony. (1957). An Economic Theory of Democracy. Journal of Political Economy, 65(2). pp. 135-150.
  3. Dewan, Torun & Shepsle, Kenneth A. (2011). Political Economy Models of Election. Annual Review of Political Science, 14, pp. 311-330. Doi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun