Dalam dunia yang ideal, seseorang tentunya akan memilih parpol yang mampu memaksimalkan kepuasan (u). Kondisi ini dinamakan dengan Sincere Voting.Â
Menyoblos parpol yang paling bisa memberikannya kepuasan, seseorang akan berharap bahwa parpol tersebut akan lulus dan membawa kepentingannya di parlemen, sehingga dalam implementasi kebijakan mampu memberikan kepuasan yang tinggi bagi orang tersebut.
Parpol baru, yang diharapkan membawa kebijakan dan gagasan baru, bisa mengambil suara para pemilih yang selama ini merasa belum terwakilkan oleh parpol yang ada atau suara para pemilih yang selama ini loyal terhadap partai lain.Â
Dengan kata lain, apabila semua orang melakukan sincere voting, parpol baru dapat memiliki peluang yang cukup besar untuk bisa lolos ambang batas parlemen dan memiliki representasi di parlemen, selama ia mampu memberikan gagasan baru yang mampu menjawab permasalahan bangsa.
Sekilas, sistem yang saat ini digunakan terkesan cukup adil dan layak untuk digunakan. Namun, sebenarnya, sistem pileg semacam ini dapat menyebabkan seseorang memilih parpol yang sebenarnya bukan merupakan pilihan utamanya, yang pada akhirnya menyebabkan suara kelompok masyarakat tertentu tidak terepresentasi.
... atau Strategi?
Strategic Voting adalah kondisi memilih di mana seseorang tidak memilih pilihan utamanya untuk mencegah kemenangan pilihan yang lebih buruk. Misalnya, ada seorang pendukung koalisi 02 yang secara khusus mendukung partai Berkarya. Ia berniat untuk memilih partai Berkarya.Â
Namun, Partai Berkarya sebagai partai baru rawan untuk tidak lolos ke parlemen, dan membuatnya memilih PKS (partai terfavorit setelahnya) yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk menang.Â
Hal ini mungkin dicegah untuk menghindari beberapa hal: 1) tidak terepresentasikannya suara mereka di DPR karena Partai Berkarya rawan tidak lolos parlemen sebagai parpol baru, 2) koalisi 01 untuk lebih banyak menguasai kursi parlemen melalui parpol 'besar' mereka. Kedua kejadian ini dinilai oleh pemilih sebagai kejadian yang paling tidak diinginkan, sehingga untuk mencegahnya terjadi, ia memilih parpol lain.
Seandainya skenario di atas benar-benar terjadi, hal ini menunjukan bahwa di pileg 2019 dan mungkin pileg-pileg sebelumnya, strategic voting lebih banyak memberikan dampak buruk daripada dampak baik pada parpol baru.Â
Padahal, mungkin saja, ada pendukung parpol lama yang bisa beralih mendukung parpol baru apabila ia mengasumsikan bahwa parpol yang paling disukai sudah pasti lolos ke parlemen. Misalnya, seorang pendukung PDIP bisa saja malah nyoblos PSI karena sudah yakin bahwa PDIP akan lolos ke parlemen.