Di Amerika Serikat dari tahun 1965-1999 hanya 9% keluarga kelas bawah (dengankecenderungan tingkat pendidikan yang rendah) dibandingkan dengan 62% keluarga kelas atas(dengan kecenderungan tingkat pendidikan yang tinggi) yang berhasil berhenti merokok.Â
Menurut Keith Humphreys (2015), ada 3 penyebab yang muncul. Masyarakat kelas bawahmenghisap rokok dengan lebih mendalam dan menyebabkan tingkat adiksi lebih tinggi. Selain itu, lingkungan kerja yang cenderung memisahkan masyarakat kelas bawah dan atasmengakibatkan sulitnya memiliki lingkungan untuk berhenti merokok bagi masyarakat kelasbawah. Terakhir, akses terhadap kesehatan khususnya program untuk berhenti merokokcenderung masih tertinggal dibandingkan dengan masyarakat kelas menengah ke atas
Di luar dugaan-dugaan umum tersebut, penelitian dalam ranah Ilmu Psikologi sebagai ilmuyang terkait secara langsung dengan fenomena ini belum bisa memberikan banyak jawabanmengenai penyebab terjadinya DRD.Â
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwanasal Jepang, Prancis, dan Amerika Serikat menyatakan bahwa rendahnya hormon Serotonin(hormon yang berkontribusi pada perasaan well-being dan bahagia) menyebabkanmeningkatnya DRD. Terdapat juga penelitian lain yang menyatakan adanya keterkaitan antaraadiksi, kesalahan pengelolaan uang, dan DRD namun menyatakan perlunya penelitian lebihlanjut.
Di tengah ketidakpastian mengenai penyebab DRD, menyalahkan kaum miskin dengansemena-mena atas kondisi yang terjadi hanya akan memperkeruh jurang yang ada. Meskipuntelah terbukti bahwa mereka bertindak berdasarkan impuls dan tidak didasari oleh pemikiranyang rasional, terdapat alasan-alasan kuat yang berasal dari luar diri mereka untuk kembali menghabiskan banyak dari pengeluarannya untuk rokok. Akan lebih bijaksana untuk berempatibagi mereka serta turut mencari solusi yang tepat untuk mengubah pola konsumsi mereka,dibanding sekedar menggerutu dan menyalahkan mereka sebagai penghambat perkembanganIndonesia.
Oleh Kevin Bagas Ksatria | Ilmu Ekonomi 2018 | Trainee Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2018 (Kajian)
Referensi
1. Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2018.
2. Dhruv Khullar. How Behavioral Economics Can Produce Better Health Care.https://www.nytimes.com/2017/04/13/upshot/answer-to-better-health-care-behavioral-economics.html. Diakses pada 25 November 2018.
3. James Mackillop, Michael Amlung, dkk. 2011. Delayed reward discounting and addictivebehavior: a meta-analysis.
4. Leonard Green, Joel Myerson. 1993. Alternative Frameworks for the Analysis of SelfControl.