Setidaknya ada dua mekanisme yang dapat menjelaskan hubungan lingkungan perumahan dan kehidupan bertetangga terhadap obesitas. Kondisi pertama berkaitan dengan food insecurity, yaitu kondisi di mana terbatasnya akses untuk memperoleh makanan bernutrisi dengan jumlah cukup dan harga terjangkau.
Townsend et al. (2001) menemukan bahwa food insecurity memiliki hubungan positif dengan kenaikan berat badan pada usia anak-anak. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan perumahan di mana makanan sehat sulit didapat terpaksa harus mengonsumsi makanan tinggi kalori dan rendah nutrisi yang dapat menaikkan berat badan mereka hingga terkena obesitas.
Kedua, selain faktor makanan, obesitas juga dapat diatribusikan pada rendahnya aktivitas fisik. Di lingkungan perumahan kelas bawah, anak-anak cenderung tidak memiliki jadwal aktivitas fisik yang terstruktur, seperti yang ditemukan Kim dan Cubbin (2017). Akibatnya, ketidakaktifan menjadi norma dan berujung pada peningkatan peluang mengidap obesitas.
Selain berpengaruh terhadap kesehatan, lingkungan tempat tinggal juga berperan besar terhadap capaian akademik seseorang. Banyak studi yang membuktikan bahwa ada hubungan kuat anatara lingkungan rumah terhadap pencapaian seseorang di bidang pendidikan yang diukur melalui sejumlah indikator, seperti kesiapan bersekolah, nilai ujian, hingga tingkat kelulusan SMA.
Misalnya, penelitian Jeon (2013) yang menemukan adanya hubungan positif antara lingkungan tempat tinggal layak dengan kesiapan anak-anak untuk bersekolah. Hal ini diduga karena di lingkungan tempat tinggal tersebut umumnya tersedia fasilitas taman kanak-kanak atau child care yang memungkinkan anak-anak usia prasekolah untuk berlatih membaca dan menulis.
Penelitian lain yang menarik mengenai kaitan lingkungan tempat tinggal dengan capaian pendidikan dilakukan oleh Martens et al. (2013). Mereka mencoba melihat fenomena ini di kalangan anak-anak yang tinggal di social housing (mirip dengan rumah susun bersubsidi di Jakarta).
Temuannya menyatakan bahwa anak-anak yang tinggal di social housing memiliki capaian akademik yang lebih buruk dibanding anak-anak yang tinggal di selain social housing, meskipun orang tua mereka berada pada kuintil pendapatan yang sama.
Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa remaja yang tinggal di social housing yang lokasinya dekat dengan area elit menunjukkan performa akademik lebih baik dibanding social housing di area non-elit.
Selaras dengan dampaknya terhadap faktor kesehatan, neighborhood effect juga lebih kentara terjadi pada kelompok usia sekolah dibanding usia dini. Temuan ini dapat dijelaskan oleh peer effect, yakni situasi ketika dampak dari interaksi anak di luar semakin besar dan mengimbangi dampak internal dari keluarga dan lingkungan tempat tinggal.
Artinya, meskipun secara umum anak yang tinggal di social housing memiliki performa akademik lebih rendah, tetapi, begitu mereka memasuki usia sekolah dan mendapat eksposur dari lingkungan elit di sekitar social housing, performa akademik mereka dapat menjadi lebih baik.
Terakhir, menarik pula untuk melihat bagaimana tetangga dan lingkungan tempat tinggal mempengaruhi pilihan karir dan pendapatan ketika dewasa. Karir dan pendapatan seseorang berkaitan erat dengan bagaimana tahap awal kehidupannya. Sosiolog Souglas Massey dan Ekonom Jonathan Rothwell mencoba melihat bagaimana pengaruh tetangga dan lingkungan tempat tinggal yang seseorang huni selama 16 tahun pertama memengaruhi pendapatannya pada usia 30 dan 44.