Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Proteksionisme Riset Ilmiah: Mampukah Menangkal Dominasi Asing dan Mengembangkan Kapasitas Penelitian Lokal?

7 September 2018   18:53 Diperbarui: 7 September 2018   20:31 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak hanya baja dan gandum, riset ilmiah ternyata juga dapat menjadi korban dari kebijakan yang bersifat proteksionis. Pada tahun ini, DPR RI memperdebatkan rancangan undang-undang yang akan menempatkan lebih banyak batasan pada peneliti dari luar negeri. 

Beberapa perubahan yang diajukan adalah tuntutan untuk melibatkan peneliti lokal dengan posisi yang setara dan mencantumkan setiap orang Indonesia yang terlibat pada setiap hasil publikasi. Ketentuan yang mungkin paling mencengangkan adalah hukuman pidana, termasuk penjara, bagi peneliti asing yang melanggar. Menganggapnya berelebihan, beberapa perwakilan penelitian pun terpicu untuk melobi pemerintah agar rencana ini dikaji ulang.

Pengetatan peraturan ini diwacanakan dalam konteks dominasi peneliti asing, khususnya mereka dari negara maju, dalam dunia penelitian ilmiah. Sejak zaman kolonialisme, penelitian di negara berkembang telah didominasi oleh akademisi dari negara maju yang melakukan riset untuk mendukung eksploitasi sumber daya alam dalam rangka penjajahan. 

Sekarang dengan adanya globalisasi, semakin banyak peneliti asing dari negara maju yang datang untuk melakukan riset di negara berkembang. Peneliti asing, dengan institusi akademis yang lebih mapan serta pendanaan yang berlimpah, umumnya memiliki kapasitas riset yang unggul dibandingkan peneliti lokal. Oleh karena itu, kedatangan mereka diharapkan dapat mendifusikan pengetahuan teknis melalui kolaborasi riset dengan peneliti lokal.

Namun, terdapat kekhawatiran bahwa peneliti asing hanya memanfaatkan negara berkembang sebagai objek penelitian tanpa cukup melibatkan peneliti lokal. Gonzalez-Alcaide et al (2017) menganalisis frekuensi kepenulisan utama atau lead authorships, dengan juga melihat pencantuman kontak peneliti dan urutan tanda tangan pada publikasi penelitian, dari artikel-artikel pada jurnal kesehatan untuk meneliti dominasi negara maju pada kolaborasi internasional riset dengan negara berkembang. 

Hasilnya menunjukan bahwa peneliti-peneliti yang berasal dari negara dengan IPM lebih rendah cenderung tersubordinasi dalam kolaborasi riset. Di Indonesia sendiri, 90% dari artikel ilmu sosial mengenai Indonesia yang diterbitkan di jurnal internasional ditulis oleh peneliti yang tidak berdomisili di Indonesia. Akhirnya, negara berkembang seperti Indonesia memasang beberapa restriksi terhadap peneliti asing demi mengembangkan kapasitas penelitian lokal.

Cerita tersebut mungkin terdengar familiar karena menyerupai proteksionisme yang membatasi impor untuk melindungi industri domestik. Pada esensinya, restriksi terhadap peneliti asing merupakan kebijakan proteksionisme di mana barang yang bersangkutan merupakan penelitian ilmiah. Pengetatan prosedur untuk memperoleh izin penelitian dapat dianalogikan seperti non-tariff barriers seperti peraturan spesifikasi barang dan formalitas perizinan impor. 

Sedangkan syarat terkait keterlibatan peneliti lokal serupa dengan local content requirements, di mana produksi barang yang diperdagangkan harus melibatkan komponen lokal. Bahkan, kawasan perdagangan bebas seperti Wilayah Ekonomi Eropa juga memiliki paralel dalam konteks dunia penelitian ilmiah, yaitu European Research Area yang berupaya menstandarisasi peraturan riset dari negara-negara anggotanya.

Lantas bagaimana restriksi pada peneliti asing jika dilihat dengan kerangka teori proteksionisme? Kita dapat berangkat dari salah satu teori dasar perdagangan yang interpretasinya menentang proteksionisme, yakni teori keunggulan komparatif oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa negara-negara mendapatkan keuntungan saat berdagang bebas dan berspesialisasi sesuai dengan keunggulan komparatif mereka. Dalam produksi barang perdagangan, hampir semua negara dianugerahi dengan iklim dan sumber daya tertentu yang membuatnya bisa unggul dalam memproduksi suatu komoditas. Tanpa membebaskan perdagangan, negara-negara tidak akan bergerak ke arah spesialisasi produksi.

Sulit melihat bagaimana spesialisasi semacam itu dapat terjadi dalam konteks penelitian ilmiah. Tidak ada karakteristik alami dari suatu negara yang membuatnya dapat berspesialisasi pada suatu area penelitian tertentu. Paling tidak, peneliti lokal di negara-negara berkembang memiliki keunggulan absolut dari lebih mengenal budaya dan bahasa lokal. 

Pengetahuan lokal ini mungkin bisa dianggap sebagai spesialisasi yang tidak dapat diungguli oleh peneliti asing. Namun meskipun pengetahuan lokal sangat krusial dalam melancarkan suatu penelitian, keunggulan tersebut tidak cukup untuk menyaingi dominasi peneliti asing yang ditunjang oleh dana, metode dan teknologi yang seringkali superior. Oleh karena itu, proteksionisme dalam konteks penelitian dapat dibenarkan setidaknya secara teoritis.

Sama halnya dengan proteksionisme perdagangan yang dikritik mengurangi insentif persaingan, restriksi ketat terhadap peneliti asing juga menuai kontroversi karena dianggap dapat membatasi pengaruh positif dari hadirnya pihak asing, yakni difusi pengetahuan terkait metode dan teknologi penelitian. Namun, pengaruh positif tersebut, baik dalam perdagangan barang maupun riset ilmiah, memiliki prasyarat agar dapat terjadi. 

Untuk perdagangan barang, persaingan yang dipicu oleh perdagangan bebas hanya dapat menguntungkan jika industri domestik memang memiliki potensi atau kesempatan untuk bersaing. Sedangkan di dunia penelitian, kehadiran peneliti asing hanya dapat bermanfaat jika peneliti lokal diajak berkolaborasi dalam proyek penelitiannya. Oleh karena itu, syarat keterlibatan pihak lokal dalam proyek penelitian oleh peneliti luar negeri memang diperlukan. Dan memang sebagian besar negara berkembang telah memberlakukan ketentuan ini.

Masalahnya muncul saat peneliti luar negeri hanya menggunakan peneliti lokal di negara berkembang untuk memberikan bantuan pencarian sampel serta menangani urusan logistik dan administratif. Salah satu kasusnya adalah penelitian Suku Bajau oleh peneliti dari Denmark dan Amerika Serikat. Proyek tersebut meneliti kemampuan orang Suku Bajau untuk menyelam lama dalam laut dengan menggunakan ilmu genetika, jadi tentunya membutuhkan kepakaran ilmiah yang tinggi. 

Janggalnya, penelitian tersebut hanya melibatkan satu orang Indonesia yang latar belakangnya merupakan pendidikan, bukan genetika, dan berasal dari sebuah universitas kecil lokal di Sulawesi Tengah. Seperti yang tertulis dalam publikasinya, orang Indonesiat ersebut hanya menyediakan dukungan logistik dan tidak terlibat dalam substansi penelitian. Keterlibatan seperti ini tidak akan berkontribusi dalam mengembangkan kemampuan riset ilmiah dari para peneliti lokal. Maka dari itu, ketentuan terkait pelibatan peneliti lokal juga perlu diatur secara eksplisit agar difusi pengetahuan benar-benar terjadi.

RUU penelitian menjawab isu ini dengan menambahkan ketentuan bahwa peneliti lokal harus menjadi rekan peneliti yang "setara", meskipun definisi dari "setara" ini sebaiknya dibuat lebih eksplisit agar tidak menimbulkan kerancuan. Ada baiknya juga bila peneliti lokal dilibatkan tidak hanya sebagai asisten tetapi juga turut serta dalam merancang penelitian. Perspektif peneliti lokal dapat membantu mengarahkan penelitian agar menghasilkan wawasan praktis yang bermanfaat nyata bagi masyarakat lokal yang diteliti.

Kendala dari ketentuan tersebut mungkin muncul jika tidak ada peneliti di negara tersebut yang memiliki keahlian cukup sehingga dapat dijadikan rekan peneliti yang setara. Dalam kasus seperti ini, peraturan yang mengharuskan peneliti asing untuk mengadakan pelatihan bagi peneliti lokal dapat menjadi alternatif. Hal ini sudah dicanangkan sebagai syarat mendapatkan izin penelitian di beberapa negara di Afrika seperti Kenya.

Sebenarnya pengetatan peraturan yang diusulkan di DPR RI tidak hanya dimotivasi oleh pengembangan kapasitas penelitian lokal. Otoritas riset di Indonesia juga diresahkan oleh peneliti asing yang melanggar etika penelitian dan tidak bertanggung jawab dalam menjalankan risetnya. Untuk tujuan ini, peraturan penelitian yang proteksionis patut dibenarkan. Kontroversi yang timbul lebih mengacu pada pemberatan hukuman, di mana pelanggaran peraturan penelitian sekarang masuk dalam ranah hukum pidana. 

Hal ini dianggap dapat membuat peneliti asing takut untuk melakukan penelitian di Indonesia. Solusi dari hal ini sangat sederhana, yaitu dengan memperjelas informasi terkait prosedur dan hukum penelitian yang berlaku bagi para peneliti asing. Para peneliti asing tidak takut karena mereka bermaksud melanggar, tetapi karena hukum di negara berkembang seringkali tidak jelas sehingga mereka bisa saja melanggar suatu peraturan tanpa menyadarinya. Oleh karena itu, prakarsa Kemenristekdikti yang mendigitalisasi informasi dan prosedur aplikasi izin penelitian patut diapresiasi dan dilanjutkan.

Terakhir, proteksionisme perdagangan seringkali tidak dianjurkan karena dapat memicu negara lain untuk melakukan pembalasan yang akhirnya akan menimbulkan perang perdagangan. Skenario ini tidak perlu dikhawatirkan dengan proteksionisme riset. Restriksi pada peneliti asing tidak memiliki dampak ekonomi yang masif seperti kebijakan tarif atau kuota, sehingga seharusya tidak memicu pembalasan. Lagipula, permintaan terhadap penelitian di negara berkembang banyak yang bersifat inelastis. Peneliti dari Inggris yang ingin meneliti antropologi Suku Bajau tidak dapat mensubstitusikan objek penelitiannya dengan suku di negara lain, karena memang tujuan penelitiannya sudah spesifik.

Proteksionisme riset ilmiah, seperti RUU yang dibahas oleh DPR, lebih mudah dijustifikasi dibanding proteksionisme dalam konteks perdagangan. Hal ini karena sifat dari perdagangan barang dengan kolaborasi penelitian ilmiah tidak dapat disamakan. Selain itu, proteksionisme riset ilmiah kebanyakan memang tidak bermaksud untuk mengusir peneliti asing, tetapi hanya memastikan bahwa aset penelitian lokal terlindungi dan kapasitas penelitian lokal juga berkembang. 

Tentunya, pemerintah negara berkembang tidak dapat hanya bergantung pada penelitian asing untuk membagikan pengetahuan riset. Pemerintah juga harus secara aktif meningkatkan pendanaan serta insentif bagi para peneliti, berinvestasi pada infrastruktur penelitian, serta mereformasi kelembagaan riset yang sudah tidak efektif.

Oleh I Gede Sthitaprajna Virananda | Ilmu Ekonomi 2016 | Kepala Divisi Kajian Kanopi 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun