Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Migrasi, Benarkah Sebuah Solusi bagi Masalah Penuaan Populasi Eropa?

13 Agustus 2018   20:12 Diperbarui: 13 Agustus 2018   20:31 3106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa tahun lalu, Benua Eropa sempat diramaikan oleh pindahnya ratusan ribu migran dari Suriah akibat adanya perang saudara yang menimpa negara tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan pertentangan dari kelompok anti-migran di Eropa, karena dipercaya telah membawa dampak negatif bagi mereka, baik dari segi sosial maupun ekonomi. 

Namun, studi yang dilakukan oleh United Nations Population Division menyatakan bahwa migrasi dapat menjadi solusi bagi negara-negara maju di dunia, termasuk di Eropa yang tengah dihadapi dengan ancaman penuaan populasi. Lantas, apakah masalah penuaan populasi yang mengancam sejumlah negara maju, terutama di Eropa? Apakah migrasi benar-benar merupakan solusi yang efektif bagi masalah penuaan populasi tersebut? Ataukah terdapat solusi lain yang lebih efektif bagi masalah penuaan populasi bagi benua biru tersebut?

Masalah Penuaan Populasi

Masalah penuaan populasi merupakan kondisi peningkatan proporsi orang lanjut usia (di atas 60 tahun) terhadap populasi akibat meningkatnya angka harapan hidup dan menurunnya tingkat fertilitas sebagai ciri transisi demografi. Keberhasilan pembangunan ekonomi dan penguasaan teknologi oleh negara-negara maju telah mendorong peningkatan kualitas hidup dan angka harapan hidup (life expectancy) tersebut. 

Adanya perubahan gaya hidup menjadi lebih dinamis, peningkatan keterlibatan wanita dalam angkatan kerja, dan penyakit menular seksual telah berkontribusi terhadap penurunan tingkat fertilitas (jumlah kelahiran per 1000 wanita) di sejumlah negara maju. 

Selain itu, ada faktor sosio-ekonomi yang menyebabkan wanita dan pasangan menunda memiliki anak, yaitu semakin mahalnya harga perumahan, jabatan karir yang fleksibel dan paruh waktu bagi perempuan, serta perawatan anak yang terjangkau dan didanai publik (gratis). Usia wanita yang terlalu tua untuk memiliki anak juga menyebabkan turunnya tingkat kesuburan wanita.[1]

Salah satu benua yang seluruh negaranya mengalami penuaan populasi adalah Eropa. Hal ini dibuktikan dari data Eurostat, yang menunjukkan tingkat fertilitas di Eropa mengalami tren penurunan, dimana tingkat kelahiran kasar (jumlah kelahiran hidup per 1.000 orang) menurun dari 16,3 di tahun 1970, menjadi 10,1pada tahun 2016.

dok. eurostat
dok. eurostat
Indikator selanjutnya untuk menunjukkan adanya penuaan populasi di Eropa adalah meningkatnya rasio ketergantungan penduduk lansia (old-age dependency ratio), yakni rasio perbandingan antara jumlah penduduk diatas 64 tahun dengan penduduk usia produktif. Berdasarkan data dari Eurostat, rasio ketergantungan penduduk lansia pada tahun terus meningkat sejak 1997, dari 22,2% menjadi 29,9% di 2017. Angka ini diprediksi akan semakin meningkat, seiring bertambahnya penduduk lansia dan rendahnya tingkat fertilitas.

dok. eurostat
dok. eurostat
Selain dua indikator tersebut, terdapat indikator lain untuk melihat dampak penuaan populasi yaitu grafik piramida penduduk. Sebagai contoh pada gambar di bawah terdapat perbandingan grafik piramida penduduk pada 3 periode yang berbeda (1950, 2017, dan proyeksi 2050), di Jerman. Pada grafik tersebut menunjukkan adanya transisi model demografi, yang ditandai oleh peningkatan kelompok penduduk lansia serta penurunan kelompok penduduk balita. Transisi ini tidak hanya terjadi di Jerman, tetapi juga di seluruh negara Eropa.

dok. eurostat
dok. eurostat
Sumber gambar 

Dampak Dari Penuaan Populasi

Permasalahan penuaan populasi yang terjadi di sejumlah negara maju, termasuk di Benua Eropa, telah memunculkan masalah ekonomi baru. Bagi pasar tenaga kerja, penuaan populasi akan mengurangi jumlah angkatan kerja (penduduk berusia 15-64 tahun). Hal ini akan membuat berkurangnya pasokan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja kasar. Sebagai contoh di Inggris diperkirakan pada 2020, hanya 20 juta orang dari total 60 juta penduduk Inggris, atau sepertiga dari total penduduk yang akan jatuh ke dalam kategori ini.[2]

Bagi pemerintah di negara yang terdampak, penuaan populasi akan mengancam peningkatan defisit anggaran. Pasalnya, pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang lebih besar untuk membiayai dana pensiun, fasilitas kesehatan, jaminan sosial. Sebagai contoh, sekitar dua pertiga dari dana kesehatan di Inggris dihabiskan oleh penduduk usia diatas 65 tahun.[3] 

Tak hanya peningkatan anggaran belanja pemerintah yang lebih besar pada sektor-sektor untuk mendanai penduduk lansia, terdapat masalah lain yaitu penurunan penerimaan pajak. Pasalnya penerimaan pajak akan semakin berkurang disebabkan semakin berkurangnya pertumbuhan penduduk usia produktif di negara-negara maju.

Adanya ancaman tersebut telah mendorong studi baru mengenai migrasi sebagai solusi masalah penuaan populasi di benua Eropa. Pasalnya, benua Eropa merupakan benua yang paling menarik dikunjungi oleh para migran.

Latar Belakang Migrasi di Eropa

Migrasi yang dilakukan ke Eropa dilatarbelakangi oleh faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). Konflik yang terjadi di Timur Tengah, padatnya populasi dan rendahnya penghasilan di daerah asal merupakan beberapa faktor pendorong migrasi ke Eropa. 

Sementara itu, perekonomian negara-negara di Eropa yang lebih maju dan tingginya penghasilan telah menjadi faktor penarik bagi para migran. Penuaan populasi di Eropa juga telah memaksa pemerintah negara-negara di Eropa untuk memilih mengizinkan para migran atau menghadapi kemerosotan ekonomi dan sosial.

Jika melihat sejarah, jauh sebelum konflik di Suriah meletus, telah terjadi tiga kali gelombang migrasi menuju negara-negara di Eropa yang diakibatkan oleh konflik. Arus gelombang migrasi pertama terjadi pada era Perang Dunia II, ketika pembantaian Nazi terhadap para penduduk Yahudi di Jerman telah menyebabkan banyak migrasi penduduk Jerman menuju sejumlah negara Eropa lainnya. 

Kemudian, banjir migran ke Eropa terjadi oleh etnis keturunan Indochina di Vietnam yang melarikan diri dari Perang Vietnam 1955. Kemudian yang ketiga adalah arus migrasi dari penduduk negara-negara pecahan Yugoslavia ketika terjadi perang Yugoslavia pada tahun 1991.[4]

Studi yang dilakukan oleh Christof Van Mol dan Helga de Valk (2016), membagi fase migrasi di Eropa menjadi tiga periode. Periode pertama diawali dari tahun 1950 -- masa awal perjanjian migrasi oleh beberapa negara Eropa -- hingga tahun 1974 akibat adanya krisis minyak. Pada periode ini, pemerintah mendatangkan para migran untuk mengisi kekurangan tenaga kerja di Eropa Utara-Barat. 

Periode kedua yang dimulai dari krisis minyak hingga jatuhnya Tirai Besi pada tahun 1980, telah membuat pemerintah Eropa Utara-Barat semakin membatasi migrasi. Pada akhir periode ini, arus migrasi mulai beralih ke negara-negara di Eropa Selatan. Periode ketiga dimulai sejak jatuhnya Tirai Besi hingga saat ini, ditandai dengan meningkatnya pengaruh Uni Eropa dan kontrol migrasi dari negara-negara ketiga ke Uni Eropa, serta adanya dorongan mobilitas intra-Eropa.

Migrasi Sebagai Sebuah Solusi?

Migrasi dapat mengisi kekurangan pasokan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja kasar di Eropa. Pasalnya, para migran umumnya berada pada usia produktif dan tidak memiliki pekerjaan di negara asal. 

Data menunjukkan bahwa antara tahun 1997 dan 2011, sekitar 75% pekerjaan yang dibuat di Inggris diisi oleh pekerja yang berasal dari luar Inggris. Di sebagian besar negara OECD, para migran juga berkontribusi lebih banyak dalam pajak dan kontribusi sosial daripada yang mereka terima dalam bentuk tunjangan.

Kehadiran para migran juga diharapkan dapat meningkatkan tingkat fertilitas di Eropa. Hal ini disebabkan tren penurunan fertilitas umumnya terjadi pada penduduk asli. Meskipun solusi ini hanya akan efektif dalam jangka pendek saja, dikarenakan adanya proses adaptasi budaya negara tujuan oleh para migran serta mahalnya biaya memiliki anak di Eropa.

Selain dampak positif, migrasi juga mendatangkan dampak negatif bagi negara yang dikunjungi. Perbedaan budaya, agama, bahasa, dan gaya hidup memunculkan konflik antara pendatang dengan penduduk lokal. 

Para migran yang umumnya berasal dari negara berkembang juga telah membawa penurunan standar kualitas hidup di Benua Eropa. Hal ini kemudian membuat banyak munculnya kelompok anti-migran di Eropa. Studi di Italia juga menunjukkan bahwa imigrasi bukanlah solusi tunggal untuk mengatasi masalah penuaan populasi.

Adanya alternatif solusi lain yang ditawarkan oleh teknologi lebih dipercaya kelompok anti-migran untuk mengatasi masalah penuaan populasi di Eropa. Pengembangan bioteknologi seperti bayi tabung, inseminasi buatan, serta donor sel telur dan embrio telah berhasil mengatasi masalah infertilitas. 

Bahkan pada kasus ekstrem, teknologi kloning yang dikembangkan oleh ilmuwan, diyakini mampu menghilangkan masalah penuaan populasi pada dunia modern. Namun, sayangnya solusi dari teknologi ini tidak akan efektif jika budaya infertilitas oleh penduduk lokal di Benua Eropa tetap terjadi. Maka dari itu, migrasi tetap diperlukan untuk menghindari penurunan penduduk usia produktif di Eropa.

Penelitian OECD mengenai apakah para migran membawa manfaat atau beban bagi negara tempat mereka bermigrasi, menunjukkan bahwa dampak mereka tergantung pada keterampilan dan kondisi pasar kerja di negara-negara tempat mereka bermigrasi. Studi tersebut menunjukkan bahwa pekerja migran mengisi di sektor ekonomi yang tumbuh dan menurun dengan cepat. 

Studi lain juga menunjukkan bahwa imigran dari European Economic Area (EEA) berkontribusi lebih besar dari penduduk asli dalam pendapatan perekonomian Inggris. Selain itu, anak-anak imigran dari luar EEA akan mengurangi rasio ketergantungan dan meningkatkan ekonomi Inggris di masa mendatang. Sehingga secara keseluruhan, penelitian menunjukkan bahwa selama masa hidup imigran cenderung menjadi penyumbang neto bagi perekonomian di Inggris.7

Di samping itu, pemerintah negara-negara maju juga perlu meregulasi migrasi agar dapat mengoptimalkan manfaat yang ditimbulkan. Pembatasan jumlah migran, pemberian akses pendidikan dan pelatihan bagi para migran, serta standardisasi dapat menjadi langkah-langkah agar migrasi tidak menimbulkan kerugian bagi negara-negara maju di Eropa.

Kesimpulan

Di balik pertentangan terhadap migrasi yang terjadi di sejumlah negara di Benua Eropa, ternyata migrasi mendatangkan banyak manfaat bagi negara-negara tersebut. Masalah penuaan populasi yang diakibatkan oleh peningkatan angka harapan hidup dan penurunan tingkat fertilitas telah mendorong pemerintah untuk mulai terbuka dengan para migran. 

Pasalnya, meskipun terdapat dampak negatif yang ditimbulkan dari migrasi serta adanya alternatif mengatasi infertilitas dengan teknologi, migrasi tetaplah diperlukan.  Hasil penelitian OECD menunjukkan bahwa migrasi berhasil membantu perekonomian negara-negara maju terhindar dari kemerosotan akibat masalah penuaan populasi. Namun, hal tersebut tetap memerlukan kontrol dari pemerintah negara-negara di Eropa agar migrasi tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar dari manfaat yang diberikan.

Oleh Putra Yudhatama | Ilmu Ekonomi 2017 | Staff Kajian KANOPI FEBUI

Daftar Pustaka

Lainnya:

United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division (2017). World Population Ageing 2017 - Highlights (ST/ESA/SER.A/397).

Badan Pusat Statistik, Subdirektorat Statistik Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial (2014). Statistik Penduduk Lansia 2014. Jakarta -- Indonesia: Badan Pusat Statistik. Diakses dari https://www.bappenas.go.id/files/data/Sumber_Daya_Manusia_dan_Kebudayaan/Statistik%20Penduduk%20Lanjut%20Usia%20Indonesia%202014.pdf

Fargues, P. (2011). International Migration and the Demographic Transition: A Two-Way Interaction. International Migration Review,45(3), 588-614. Diakses dari http://remote-lib.ui.ac.id:2093/stable/23016205

Sean Byrne (2018). The push and pull factors behind migration to Europe. Diakses dari https://www.rte.ie/eile/brainstorm/2018/0203/938046-the-push-and-pull-factors-behind-migration-to-europe/

Dr. George W. Leeson (2012, July). Migration as a policy response to population ageing. Diakses dari http://www.irgc.org/wp-content/uploads/2012/04/G.Leeson_Governance-migration_july12.pdf

UN Administrator (2013).  The Impact of Youth Migration. Diakses dari  http://www.unworldyouthreport.org/index.php?option=com_k2&view=item&layout=item&id=85&Itemid=226

Van Mol C., de Valk H. (2016) Migration and Immigrants in Europe: A Historical and Demographic Perspective. In: Garcs-Mascareas B., Penninx R. (eds) Integration Processes and Policies in Europe. IMISCOE Research Series. Springer, Cham

 

[1] G. Nargund (2009). Declining birth rate in Developed Countries: A radical policy re-think is required. Diakses darihttps://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4255510/

[2]https://www.populationpyramid.net/united-kingdom/2020/

[3] Delphine Robineau (2016). Ageing Britain: two-fifths of NHS budget is spent on over-65s. Diakses dari https://www.theguardian.com/society/2016/feb/01/ageing-britain-two-fifths-nhs-budget-spent-over-65s

[4] Amanda Puspita Sari (2015). Sejarah Migrasi Manusia di Benua Eropa. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20150908150704-134-77378/sejarah-migrasi-manusia-di-benua-eropa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun