Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Apakah Ujian Seleksi Masuk Menawarkan Kesempatan yang Sama untuk Semua?

8 Agustus 2018   18:35 Diperbarui: 9 Agustus 2018   11:17 1599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Kanopi FEBUI

Dari semua jalur untuk masuk perguruan tinggi negeri, jalur ujian tertulis SBMPTN tampak sebagai jalan yang paling adil sebab sifatnya yang meritokratis. Jalur SBMPTN hanya mengandalkan nilai dari ujian yang terstandarisasi, sehingga terlihat menawarkan kesempatan yang sama bagi semua calon mahasiswa, apapun asal sekolahnya maupun seberapa dalam kantong orangtuanya. 

Dengan itu, penerimaan oleh jalur SBMPTN dipandang lebih sebagai validasi kemampuan dan kemauan mahasiswa untuk berusaha. Nyatanya, "kemampuan" yang diukur oleh ujian-ujian masuk tertulis tidak bisa dilepaskan dari latar belakang pesertanya, terutama latar belakang sosio-ekonominya.

Kasus-kasus di negara lain mendukung adanya kaitan antara latar belakang sosioekonomi dan keberhasilan dalam ujian masuk tertulis. Data The College Board menunjukkan bahwa nilai SAT naik beriringan dengan tingkat pendapatan1. Di Turki, Caner & Okten (2013) menemukan bahwa 86% peserta dari kelompok 37% penduduk termiskin Turki gagal dalam OSS, 20% lebih tinggi dibandingkan peserta dari kelompok 10% terkaya2. Untuk Korea Selatan, Kim, et al. (2014) menemukan bahwa penurunan peringkat desil dalam indeks status sosioekonomi dan lingkungan pendidikan (yang memperhitungkan pendapatan keseluruhan orang tua) mengakibatkan penurunan skor standard nine CSAT masing-masing sebesar 0.06 dan 0.433.  Kasus-kasus tersebut mewakili bagaimana penghasilan keluarga bermain peran dalam mendongkrak prospek peserta dalam ujian masuk.

vox.com
vox.com
sumber gambar

Peranan Uang Dalam Membeli Bimbingan Belajar

Salah satu penjelasan untuk ketimpangan tersebut adalah orang tua dengan pendapatan lebih besar dapat memberikan anaknya lebih banyak fasilitas, seperti bimbingan belajar. Berkat pertumbuhan industri shadow education dan munculnya inovasi baru seperti platform belajar digital, uang dapat membeli banyak bantuan dan bimbingan sekarang daripada beberapa dekade yang lalu. 

Rendahnya kualitas bimbingan dan materi persiapan yang tersedia secara gratis (sebagai contoh, sekolah negeri di Indonesia tidak punya kewajiban untuk membimbing persiapan SBMPTN) yang mungkin ada dapat memperdalam jurang bagi mereka yang mampu membayar dan bagi mereka yang tidak.

Meskipun begitu, patut diakui bahwa peranan bimbingan belajar tidak dapat sepenuhnya menjelaskan jurang dalam kinerja ujian masuk. Studi yang dilakukan Tansel & Bircan (2005) di Turki memang menunjukkan siswa yang mengikuti bimbingan belajar memiliki kinerja yang lebih baik di ujian masuk universitas4. Akan tetapi, besarnya dampak bimbingan belajar masih belum dapat ditentukan. 

Sebuah laporan National Association for College Admission Counselling menyatakan konsensus bahwa coaching hanya dapat meningkatkan hasil SAT sebesar 15-30 poin dari 1600 poin total5, dengan pengaruh terbesar di bidang Matematika. 

Penemuan sejenis ditemukan Lee (2013) di Korea Selatan, di mana dampak bimbingan belajar Verbal dan Bahasa Inggris saat SMA terhadap nilai CSAT masing-masing subjek tidak dapat disimpulkan, namun ada dampak signifikan dalam subjek Matematika6. 

Seperti yang disampaikan dalam laporan ADB mengenai shadow education, literatur dari penelitian menunjukkan penemuan yang berbeda-beda mengenai dampak bimbingan belajar terhadap pencapaian akademis, termasuk ujian masuk universitas7.

Pendapatan Melatarbelakangi Sukses

Perbedaan latar belakang mungkin dapat lebih menjelaskan ketimpangan tersebut, di mana kesenjangan dalam nilai masuk berasal dari perbedaan kemampuan kognitif mereka sejak kecil. Orang tua berpendapatan tinggi mampu menyediakan lingkungan yang lebih menstimulasi bagi anaknya; selain itu, mereka juga dapat lebih memperhatikan dan membimbing anaknya. 

Salah satu bukti adanya kesenjangan tersebut adalah dalam bidang bahasa; penelitian Fernald, et al. (2013) menunjukkan bahwa balita berumur 24 bulan dari kalangan berstatus sosioekonomi (SES) rendah menunjukkan kosakata dan kemampuan memproses bahasa yang setara dari balita berumur 18 bulan dari kalangan SES tinggi8. 

Untuk kemampuan bahasa asing, penelitian oleh Hosseinpour, et al. (2015) di Iran juga menunjukkan korelasi tinggi positif antara keterlibatan, sikap, tingkat pendidikan, dan pendapatan orang tua dengan kemampuan Bahasa Inggris anak mereka9. Kedua contoh tersebut menunjukkan bagaimana kekayaan dapat membeli lingkungan yang lebih baik dan kesempatan bagi orang tua untuk lebih mendorong anak mereka berkembang.

Namun, mungkinkah bahwa para orang tua pintar memiliki penghasilan lebih besar dan meneruskan gen tersebut ke anak mereka, seperti yang diklaim oleh ekonom Gregory Mankiw10? 

Nyatanya, kondisi ekonomi juga mampu mempengaruhi kemampuan otak mereka. Berada dalam kemiskinan dapat mengurangi kapasitas otak untuk berkonsentrasi dalam menyelesaikan masalah; seperti yang ditunjukkan oleh peneliti Princeton, seseorang yang berurusan dengan masalah keuangan menampilkan penurunan dalam fungsi kognitif yang setara dengan penurunan 13 poin IQ11.

Sebaliknya, kekayaan dapat meningkatkan kecerdasan, dan peluang sukses dalam tes. Seperti yang disampaikan buku "Intelligence and How to Get It: Why Schools and Cultures Count", anak-anak yang diadopsi oleh keluarga dengan SES tinggi memiliki IQ dengan rata-rata 12 poin lebih tinggi dibandingkan mereka yang diadopsi oleh keluarga SES rendah --- entah anak itu berasal dari keluarga SES tinggi ataupun rendah12. 

Sebuah studi oleh Mackey, et al. (2015) menunjukkan siswa dengan pendapatan lebih tinggi memiliki korteks otak yang lebih tebal di bagian yang diasosiasikan dengan persepsi visual dan akumulasi pengetahuan. Baik alam maupun asuh menentukan kecerdasan, dan pendapatan orang tua juga tidak bisa dilepaskan dari itu.

Tertinggal Akibat Sekolah dan Daerah Tertinggal

Perbedaan kualitas sekolah, yang seringkali bergantung pada daerah mereka, juga tidak bisa dilepaskan sebagai faktor. Kasus ini dapat dilihat di RRT, di mana sekolah di daerah jauh lebih lemah secara akademis dibanding di daerah kota. 

Siswa dari desa pun terikat sistem hukou --- status kependudukan yang mengikat layanan sosial ke kampung halaman --- sehingga para siswa migran harus kembali ke provinsi asal mereka untuk mengambil Gaokao. 

Lalu, adanya sekitar 700 "key school", sekolah favorit yang mendapatkan sokongan lebih banyak dari pemerintah, yang biasanya terletak di daerah perkotaan juga memperparah kesenjangan rural-urban. Siswa dari "key school" 3,5 kali lebih mungkin untuk mendapatkan pendidikan tersier dibandingkan mereka yang pergi ke SMA biasa. Karakter sosio-demografi, terutama perbedaan asal daerah dan jenis sekolah menengah, pun memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap kinerja Gaokao dibandingkan karakter sosio-ekonomi (Liu, 2013)13.

Membongkar Mitos Meritokrasi

Jika semua hal di atas benar, lantas mengapa masih ada siswa inspiratif dari keluarga berpenghasilan rendah yang sukses ujian tertulis? Bukankah mereka hanya harus bekerja lebih keras untuk mengatasi hambatan yang mereka hadapi?

Benar; bagaimanapun juga pendapatan bukan satu-satunya determinan nilai. Tetap saja, pernyataan tersebut tidak mengubah fakta bahwa ada kalangan yang secara sistematis diberatkan. 

Dengan bersikeras bahwa setiap siswa punya peluang sama, lalu memberikan perlakuan sama kepada mereka tanpa memperhatikan latar belakang, mereka yang berasal dari bawah tidak menerima bantuan yang mereka butuhkan. 

Selain itu, penggunaan standar "objektif" (seperti nilai ujian) yang buta terhadap latar belakang akan menstigmatisasi mereka yang gagal. Siswa dari kalangan SES rendah pun tampaknya gagal karena mereka kurang giat berusaha, alih-alih sistem yang rusak. Pada akhirnya, keberhasilan beberapa siswa dari kalangan SES rendah hanya dijadikan token untuk menjustifikasi sistem meritokrasi yang memincangkan mereka.

Implikasi

Suka atau tidak, tetap saja ujian masuk tertulis tampaknya menyaring siswa-siswa yang pintar. Untuk kasus Indonesia, klaim tersebut diperkuat pernyataan Ketua Panitia Pusat SNMPTN/SBMPTN 2017 Ravik Karsidi, yang menyatakan bahwa mahasiswa cetakan SBMPTN lebih baik dalam capaian indeks prestasi kumulatif14.

Walaupun begitu, ada dua pihak yang merugi ketika mereka dari keluarga berpendapatan rendah secara sistematis dikecualikan dari perguruan tinggi. Para siswa dan keluarganya jelas merugi sebab gelar sarjana mendorong mobilitas sosial ke atas dari lapisan bawah, seperti yang ditunjukkan Pew (2012) berdasarkan data di AS[1]. Selain itu, subsidi yang seharusnya membantu mereka malah menjadi salah sasaran; Caner & Okter (2013) menemukan bahwa di antara mahasiswa di perguruan tinggi negeri, mereka yang berasal dari keluarga berpendapatan dan berpendidikan lebih tinggi menerima subsidi per-siswa yang lebih tinggi dari pemerintah.

untitled-2-5b6ad875ab12ae54245c43b2.jpg
untitled-2-5b6ad875ab12ae54245c43b2.jpg
sumber gambar

Negara juga merugi jika siswa dari kalangan tersebut tidak masuk ke perguruan tinggi. Tanpa memberi kalangan sosio ekonomi rendah akses untuk menjadi pemimpin masa depan Indonesia, maka kalangan miskin tidak punya kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup mereka. 

Selain itu, suara mereka dalam dunia akademik pun menjadi lebih senyap, sebab mereka diwakili secara tidak adil. Oleh sebab itu, ada perlunya untuk tindakan inklusif di perguruan tinggi terhadap mereka dari status sosio ekonomi rendah, walaupun mereka belum tentu yang paling pintar.

Perlunya Penelitian dan Perubahan

Patut diakui bahwa klaim "kondisi sosial ekonomi mempengaruhi kesuksesan anak dalam ujian masuk tertulis" didasarkan premis yang berasal dari penelitian di luar negeri. 

Untuk Indonesia, bagaimana hubungan tersebut muncul, dan seberapa kuat, belum terlihat sebab sedikitnya data yang tersedia secara publik dan sedikitnya penelitian mengenai hal tersebut. Selain itu, sistem seleksi masuk perguruan tinggi di Indonesia cukup berbeda dengan kasus-kasus di atas. 

Berhubung kuota masuk melalui ujian tertulis cukup besar (70% dari jalur reguler), penelitian lebih lanjut mengenai apakah semua orang dari semua lapisan dapat memiliki kesempatan yang sama melalui jalur SBMPTN sangat penting.

Jika ternyata ada bukti bahwa hubungan tersebut memang ada, maka sistem yang ada perlu direformasi untuk mengurangi kesenjangan kesempatan yang dimiliki oleh siswa dari kalangan SES rendah. 

Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah memberikan bimbingan persiapan yang dapat diakses oleh semua, seperti yang dicapai kerjasama antara The College Board dan Khan Academy untuk SAT. Lalu, memberi bantuan lebih kepada mereka, seperti memperbaiki mutu sekolah atau memberikan transfer uang kondisional seperti KIP, dapat menambal kepincangan yang mereka pegang. 

Terakhir, kebijakan penerimaan afirmatif, di Indonesia dimanifestasikan dalam bentuk jalur undangan (SNMPTN), dapat dimanfaatkan untuk mengangkat dan melibatkan mereka. Alih-alih memilih siswa berlatar belakang baik dari sekolah favorit, sistem SNMPTN sebaiknya sebaiknya digunakan untuk memilih sebanyak mungkin mereka dari daerah 3T atau kondisi sosio ekonomi rentan.

Kesimpulan

Tiap mahasiswa yang lulus ujian tertulis, seperti SBMPTN, mungkin percaya bahwa mereka mencapai hal tersebut berkat kemampuan dan kemauan mereka saja. Namun, latar belakang, terutama penghasilan orang tua, tidak bisa dilepaskan dari kesuksesan mereka. 

Para orang tua "mewariskan" kelebihan yang mereka pegang lewat hal yang jelas seperti bimbingan belajar ataupun lewat hal yang lebih halus seperti perawatan anak. Akibatnya, sistem meritokrasi yang buta terhadap latar belakang ini secara sistematis mengabaikan siswa dari kalangan sosio ekonomi rendah, merugikan mereka dan juga negara. 

Untuk dapat mewujudkan prinsip ekuitas dan pemerataan pendidikan, ada perlunya untuk merombak sistem yang ada sehingga menekan kesenjangan dalam peluang masuk dan lebih peduli terhadap latar belakang mahasiswa.

*) Oleh Roes Ebara Gikami Lufti | Ilmu Ekonomi 2017 | Staf Kajian Kanopi 2018

Daftar Pustaka

Footnote (yang dipakai secara spesifik di-cite dalam teks) - berdasarkan urutan muncul

Nelson, L. (2015). Does the SAT favor certain groups of people?.

Caner, A., & Okten, C. (2013). Higher education in Turkey: Subsidizing the rich or the poor?. Economics Of Education Review, 35, 75-92. doi: 10.1016/j.econedurev.2013.03.007

Kim, Y., Kim, Y., & Loury, G. (2014). Widening Gap in College Admission and Improving Equal Opportunity in South Korea. Global Economic Review, 43(2), 110-130. doi: 10.1080/1226508x.2014.920241

Tansel, A., & Bircan, F. (2005). Effect of Private Tutoring on University Entrance Examination Performance in Turkey [Discussion Paper]. Institute for the Study of Labor. Retrieved from ftp.iza.org/dp1609.pdf

Briggs, D. (2009). Preparation for College Admission Exams (p. 12). National Association for College Admission Counseling. Retrieved from files.eric.ed.gov

i Yun Lee, 2013, Private tutoring and its impact on students' academic achievement, formal schooling, and educational inequality in Korea, Columbia University Academic Commons, https://doi.org/10.7916/D8K64R8K.

Bray, M., & Lykins, C. (2012). Shadow Education: Private Supplementary Tutoring and Its Implications for Policy Makers in Asia [Ebook] (pp. 32-36). Mandaluyong City: Asian Development Bank. Retrieved from adb.org

Fernald, A., Marchman, V., & Weisleder, A. (2012). SES differences in language processing skill and vocabulary are evident at 18 months. Developmental Science, 16(2), 234-248. doi: 10.1111/desc.12019

Hosseinpour, V., Yazdani, S., & Yarahmadi, M. (2015). The Relationship between Parents' Involvement, Attitude, Educational Background and Level of Income and Their Children's English Achievement Test Scores. Journal Of Language Teaching And Research, 6(6), 1370. doi: 10.17507/jltr.0606.27

Mankiw, G. (2009). The Least Surprising Correlation of All Time. Retrieved from gregmankiw.blogspot.com

Kelly, M. (2013). Poor concentration: Poverty reduces brainpower needed for navigating other areas of life. Retrieved from princeton.edu

Fisher, M. (2009). Why Are Rich Kids Smarter?. Retrieved from theatlantic.com

Liu, Y. (2013). Meritocracy and the Gaokao: a survey study of higher education selection and socio-economic participation in East China. British Journal Of Sociology Of Education, 34(5-6), 868-887. doi: 10.1080/01425692.2013.816237

PTN Kurangi Kuota Tanpa Tes, Rapor Tak Sepenuhnya Relevan. (2017). Retrieved from warmadewa.ac.id

The Pew Charitable Trust. (2012). Pursuing the American Dream: Economic Mobility Across Generations [Ebook] (pp. 3, 23-26). Retrieved from pewtrusts.org

Lainnya

Will, G. How merit-based college admissions became so unfair. Retrieved from washingtonpost.com

Ripley, A. (2014). The New SAT Doesn't Come Close to the World's Best Tests. Retrieved from time.com

The class ceiling. (2016). Retrieved from economist.com

Goodman, R., & Kaplan, S. (2018). The Mantra of Meritocracy. Retrieved from ssir.org

Fu, Y. (2013). China's Unfair College Admissions System. Retrieved from theatlantic.com

Gao, H. (2014). China's Education Gap. Retrieved from nytimes.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun