Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

What's Wrong with Economics? Perlunya Pluralisme dalam Ilmu Ekonomi

27 Juli 2018   19:20 Diperbarui: 8 Agustus 2018   19:06 1259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"The answers you get depend on the questions you ask."

Thomas S. Kuhn

Reformasi selalu dibutuhkan apabila tradisi dan otoritas dominan sedang tidur nyenyak dalam kondisi status quo. Hal tersebut tidak terbatas hanya dalam dunia politik; reformasi adalah suatu normalitas dan perubahan adalah sesuatu yang perlu dirangkul, terutama dalam bidang ilmiah, yang dimana setiap perubahan paradigma merupakan fluktuasi dalam suatu progresi linear menuju pemahaman yang lebih sempurna.

Ilmu ekonomi tidak terkecuali dalam proses transformasi ilmiah ini, terutama apabila kegagalan ilmu ekonomi dalam menghadapi krisis keuangan dunia 2008 yang berlanjut pada terjadinya The Great Recession masih segar dalam ingatan. 

Ekonom-ekonom kondang dari departemen-departemen ilmu ekonomi terbaik di dunia sebelum tahun 2008 menganggap bahawa teori-teori dan model matematis abstrak yang telah mereka bangun, serta implementasinya dalam dunia pembuatan kebijakan, telah cukup untuk mencegah berulangnya krisis.

Robert Lucas bahkan pernah mendeklarasikan "the central problem of depression-prevention has been solved," dalam pidatonya pada tahun 2003 sebagai presiden American Economic Association. Olivier Blanchard, mantan chief economist IMF, masih sempat mendeklarasikan pada tahun 2008 bahwa "the state of macro is good". Keyakinan buta intelegensia ilmu ekonomi serta kegagalan yang mereka hadapi setelahnya  menjadi bukti bahwa revolusi ilmiah dalam ilmu ekonomi saat ini sangatlah diperlukan -- sama seperti ketika penemuan mekanika kuantum merevolusikan pemahaman dalam ilmu fisika.

Sayangnya, saat ini perubahan masih tampak jauh dari realitas. Tidak ada transformasi signifikan dalam diskursus ilmiah akademisi ilmu ekonomi, dan hal ini terlihat dalam dunia pembuatan kebijakan ekonomi yang statik dan masih menggunakan metode lama yang terbukti tidak efektif dalam menghadapi masalah-masalah ekonomi zaman ini seperti kesenjangan yang meroket dan pertumbuhan ekonomi yang tidak kunjung mencapai potensi pra-krisis.

Ini merupakan suatu keanehan yang patut dipertanyakan. Apabila kita menilik sejarah, The Great Depression dan stagflasi era 70-an menjadi katalis yang berhasil merevolusikan perkembangan ekonomika, mengapa The Great Recession tidak menghasilkan pemberontakan yang sama dalam dunia intelektual ilmu ekonomi, padahal krisis tersebut merupakan krisis ekonomi terburuk yang melanda dunia semenjak hampir satu abad terakhir? Krisis ekonomi di zaman lampau seperti The Great Depression telah melahirkan Keynesianisme dan  stagflasi memberikan ruang bagi monetarisme ala Friedman untuk tumbuh, mengapa tidak ada tokoh lain yang dapat menghadirkan katarsis yang menjadi permulaan baru bagi perkembangan ilmu ekonomi?

Jawaban bagi pertanyaan tersebut sebenarnya mudah dan sudah dapat dilihat dari judul artikel ini: tidak adanya pluralisme dalam ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi saat ini sedang mengalami inersia, terutama dalam perihal teori. Hal tersebut terjadi karena selama ini, hanya satu mazhab saja yang diberikan perhatian dalam dunia ilmiah ilmu ekonomi, yaitu mazhab neoklasik. Mayoritas mahasiswa ilmu ekonomi bahkan sangat mungkin belum pernah menemukan istilah 'neoklasik' sebelumnya karena dalam pendidikan ilmu ekonomi, pemahaman mazhab neoklasik seolah disamakan dengan ilmu ekonomi secara keseluruhannya.

Ilmu ekonomi sangat berbeda dibandingkan dengan ilmu sosial lainnya dalam hal ini. Dalam ilmu hubungan internasional, dapat ditemukan mazhab-mazhab yang berbeda seperti realisme, liberalisme, dan konstruktivisme. Dalam ilmu psikologi terdapat mazhab psikoanalisis Freud, fungsionalisme, kognitivisme, dan sebagainya yang diberikan perhatian yang sama dalam  diskursus ilmiah. Hasil dari pluralisme adalah terjadinya keragaman pendapat dan perspektif yang menggabungkan pandangan dari aliran-aliran yang berbeda. Ilmu ekonomi sayangnya tidak memiliki keanekaragaman yang sama.

Ada alasan lain mengapa pluralisme sangat dibutuhkan. Pandangan neoklasik, meskipun telah menghasilkan wawasan dan formalisme yang mendalam dalam menganalisis berbagai fenomena ekonomi, masih dihadapi dengan berbagai masalah fundamental terkait dengan postulat-postulat yang mendasari cara pandang neoklasik. Salah satu masalah dengan pandangan neoklasik adalah fokus terhadap teori abstrak dibandingkan dengan bukti empiris. Banyak hal yang diajarkan dalam buku teks ilmu ekonomi yang sebenarnya tidak faktual secara empiris meskipun bersifat elegan dan konsisten secara teoretis.

Dalam buku Principles of Economics karya Mankiw misalkan, mahasiswa masih diajarkan konsep-konsep seperti 'increasing marginal cost' dalam teori produksi meskipun bukti empiris telah menunjukkan bahwa hal tersebut jarang dihadapi perusahaan di dunia sebenar. 

Mahasiswa juga masih diajarkan teori loanable funds, yang mebyatakan investasi dan pinjaman berasal dari tabungan dengan adanya pihak bank yang bertindak sebagai financial intermediary. Secara empiris, teori tersebut merupakan sesuatu yang salah dan bank-bank sentral seperti Bank of England mulai mengakui bahwa sirkulasi uang dalam ekonomi modern sebenarnya mengikuti mekanisme yang berbeda.

Hal lain yang bermasalah dari mazhab neoklasik adalah perhatian yang mereka berikan terhadap asumsi simplistik dan positivis seperti rasionalitas manusia dan ekuilibrium dalam pasar. 

Faktanya, manusia adalah makhluk yang sering dihadapi bias kognitif  seperti yang telah dibuktikan dalam behavioral economics. Manusia juga dihadapi dengan aturan-aturan sosial dan institusional yang membuat mereka bertindak jauh dari apa yang dapat dianggap sebagai rasional secara ekonomi. Manusia bukan hanya homo economicus melainkan juga merupakan homo sociologicus.

Kedua hal tersebut menjadi alasan utama mengapa ilmu ekonomi gagal memprediksi dan mendiagnosa krisis 2008. Kepercayaan bahwa manusia selalu bertindak rasional mendasari Efficient Market Hypothesis (EMH) yang dipopulerkan oleh ekonom Eugene Fama. EMH menyatakan bahwa harga aset seperti saham, obligasi dan sebagainya selalu mencerminkan seluruh informasi mengenai aset tersebut; harga  asset selalu merefleksikan nilai intrinsik aset tersebut. 

Asset bubble merupakan hal yang dianggap tidak mungkin dapat terjadi menurut EMH dan pasar modal akan selalu berada dalam situasi stabil. Kepercayaan tersebut menjadi salah satu justifikasi yang mendasari deregulasi pasar modal di Amerika Serikat yang berujung pada munculnya shadow banking system dan segala bentuk financial derivatives. Seperti yang diketahui, deregulasi tersebut menjadi salah satu faktor utama terjadinya krisis 2008.

Alasan lain mengapa ekonom dan pembuat kebijakan gagal memprediksi krisis 2008 adalah karena ketergantungan mereka terhadap model abstrak seperti Dynamic Stochastic General Equilibrium (DSGE). DSGE merupakan model yang seringkali digunakan oleh ekonom dan pembuat kebijakan untuk menjelaskan fenomena-fenomena serta dampak kebijakan ekonomi. 

DSGE tidak mampu memprediksi krisis 2008 karena model tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi neoklasik seperti rasionalitas dan  ekuilibrium. DSGE tidak memasukkan financial frictions dalam perhitungan modelnya dengan asumsi bahwa pasar modal akan selalu bersifat stabil dan tidak mempengaruhi ekonomi riil secara langsung. 

Selain itu, DSGE juga menganut konsep representative agent, yang mengagregasikan keseluruhan tindakan agen-agen yang heterogen dan berbeda-beda seolah mereka adalah satu individu yang sama serta selalu mencoba memaksimalkan utilitas. Dari kedua hal tersebut dapat dilihat mengapa DSGE gagal memprediksi terjadinya krisis 2008: model tersebut didasarkan atas asumsi rasionalitas dan ekuilibrium  sedangkan krisis 2008 terjadi akibat irasionalitas dan disekuilibrium.

Kegagalan mazhab neoklasik seperti yang sudah dijelaskan di contoh-contoh di atas menjadi bukti mengapa pluralisme sangat dibutuhkan. 

Pluralisme mengandung arti membuka pintu untuk cara-cara pandang lainnya yang secara kolektif dikenal dengan istilah 'ilmu ekonomi heterodoks'.  Perspektif-perspektif tersebut antara lain adalah ilmu ekonomi Post-Keynesian, Marxist, Feminist, Ecological, Austrian, Institutional. Secara keseluruhan, perspektif-perspektif tersebut disatukan oleh fokus yang mereka berikan terhadap sisi lain kehidupan manusia yang sering kali diisi oleh irasionalitas dan supremasi institusi-institusi dalam mengatur tindakan manusia.

Ekonom teori neoklasik sering mendengungkan perlunya microfoundations sebagai basis dalam analisis makroekonomi. Mereka lupa bahwa macrofoundations juga turut diperlukan dalam analisis ekonomi. Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda khususnya kelas, yang mempunyai arti penting dalam fenomena ekonomi. Sebagai contoh, ilmu ekonomi Marxist memandang fenomena ekonomi dari lensa relasi kekuasaan di antara pekerja dan kapitalis serta tren sejarah, mazhab Feminist menambah perspektif gender dalam fenomena ekonomi.

Ekonom neoklasik sering mendiskreditkan mazhab heterodoks dengan alasan bahwa mazhab-mazhab tersebut tidak membawa kontribusi yang bermakna bagi perkembangan ilmu ekonomi dan pengaplikasiannya dalam dunia pembuatan kebijakan. Hal tersebut merupakan pandangan yang jelas salah. 

Ekonom mazhab Post-Keynesian misalkan, seperti Steve Keen dan Wynne Godley merupakan satu-satunya kelompok ekonom yang mampu memprediksi terjadinya krisis 2008 dalam model-model ekonomi mereka. Hal tersebut dapat terjadi karena paradigma utama dalam mazhab Post-Keynesian didasarkan pada aksioma bahwa sistem kapitalisme yang adalah suatu sistem secara inheren tidak stabil dan manusia tidak dapat dianggap rasional akibat wujudnya konsep uncertainty.

Namun begitu, hal tersebut tidak berarti bahwa mazhab neoklasik merupakan sesuatu yang harus sepenuhnya dibuang dan diganti. Yang dibutuhkan di sini adalah pluralisme, penggabungan dari kedua paradigma homo economicus mazhab neoklasik dan paradigma homo sociologicus mazhab-mazhab heterodoks. Seperti dunia politik yang jauh lebih dan efektif dan demokratis ketika adanya perbedaan pendapat, ideal seperti itu jugalah yang harus turut muncul dalam dunia ilmu ekonomi.

Dalam teori neoklasik, kompetisi dalam pasar persaingan sempurna sering dianggap sebagai cara yang terbaik untuk mengalokasikan sumber daya. Ironisnya, hal ini justru tidak terjadi di dunia ilmiah ekonomika itu sendiri, karena teori neoklasik memegang monopoli dalam marketplace of ideas. Akibatnya, sumber daya intelektual tidak teralokasikan dengan baik dan kontribusi yang optimal dari ilmu ekonomi tidak tercapai. Pluralisme sangat dibutuhkan untuk menghancurkan monopoli tersebut.

Oleh Faris Abdurrachman | Ilmu Ekonomi 2017 | Staff Kajian Kanopi FEB UI 2018

 

Referensi

  1. Abdurrachman, F. (1 Desember 2017). Democratizing Economics: A Case for Reform. Diakses dari https://www.kompasiana.com/kanopi_febui/5a1d63d6677ffb34e82fb1a2/democratizing-economics-a-case-for-reform
  2. Reed, H. (13 April 2018).  Rip it up and start again: the case for a new economics. Diakses dari https://www.prospectmagazine.co.uk/magazine/the-case-for-a-new-economics
  3. Christian Arnsperger and Yanis Varoufakis, "What Is Neoclassical Economics?", Post-Autistic Economics Review, issue 38. (n.d.). Diakses dari http://www.paecon.net/PAEReview/issue38/ArnspergerVaroufakis38.htm
  4. Earle, J., Moran, C., Ward-Perkins, Z., & Haldane, A. G. (2017). The econocracy: The perils of leaving economics to the experts. Manchester University press.
  5. Harvey, J. T. (3 Agustus 2012). How Economists Contributed to the Financial Crisis. Diakses dari https://www.forbes.com/sites/johntharvey/2012/02/06/economics-crisis/#32d01c793b3
  6. Krugman, P. (2 September 2009). How Did Economists Get It So Wrong? Diakses dari https://www.nytimes.com/2009/09/06/magazine/06Economic-t.html
  7. Lavoie, M. (2015). Post-Keynesian economics: New foundations. Edward Elgar.
  8. Proctor, J. (2017). Rethinking economics: An introduction to pluralist economics. Routledge is an imprint of the Taylor & Francis Group, an Informa Business.
  9. Vines, D., & Wills, S. (2018). The rebuilding macroeconomic theory project: An analytical assessment. Oxford Review of Economic Policy,34(1-2), 1-42. doi:10.1093/oxrep/grx062
  10. http://www.debtdeflation.com/blogs/2012/05/22/predicting-the-global-financial-crisis-post-keynesian-macroeconomics-2/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun