Mulai tanggal 1 Oktober 2017, secara efektif seluruh gerbang tol tidak menerima pembayaran dengan uang tunai. Aksi ini mempertegas usaha pemerintah untuk mewujudkan masyarakat tanpa uang tunai. Sebelumnya, sistem pembayaran pada transportasi umum, seperti Commuter Line dan TransJakarta, pun telah dirombak sepenuhnya untuk menyesuaikan dengan uang elektronik.
Meskipun demikian, upaya pemerintah untuk menegaskan penggunaan uang elektronik masih diiringi berbagai polemik dan hambatan, mulai dari masalah top-up hingga disparitas dalam infrastruktur. Sehingga muncul pertanyaan, apakah cashless societymerupakan gagasan yang tepat untuk Indonesia?Â
Meningkatnya nilai transaksi menggunakan uang elektronik pun diikuti dengan perkembangan jumlah mesin pembaca uang elektronik yang telah meningkat hingga empat kali lipat dalam 4 tahun terakhir, yaitu dari 139.157 mesin di tahun 2013 menjadi 465.974 mesin di tahun 2017. Peredaran uang elektronik pun turut meningkat 10 kali lipat selama tujuh tahun terakhir, dari 7,9 juta di tahun 2010 hingga 69 juta di tahun 2017. Angka-angka di atas mencerminkan bahwa secara perlahan tapi pasti, masyarakat mulai mengenal uang elektronik dan beradaptasi untuk menerapkannya.
Ada beberapa alasan mengapa pemerintah ingin menggalakkan sistem uang elektronik di Indonesia. Hal pertama adalah isu efektivitas. Sering kali transaksi antara penjual dan pembeli dipersulit dengan tidak adanya kembalian. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, pembayaran uang tunai di gardu tol rata-rata memakan waktu 8 detik sampai 9 detik per transaksi, namun jika menggunakan non tunai melalui uang elektronik hanya perlu 2 detik sampai 3 detik.Â
Selain itu menurut Subkati Syukur, Direktur Operasi II Jasa Marga, uang elektronik akan meningkatkan keefektifan pembayaran gerbang tol, sehingga gardu tol tidak dibutuhkan lagi dan digantikan dengan mesin pembaca e-money. Penggunaan e-money pun menghilangkan risiko human error dalam memberi kembalian dan bahkan menghilangkan kemungkinan mendapat uang palsu.
 makroekonomi. Di Indonesia, sering kali terdapat ketidakpastian dalam ekonomi. Ketidakpastian dalam ekonomi menyebabkan kekhawatiran dari konsumen. Kekhawatiran ini dapat menyebabkan konsumen membuat keputusan irasional untuk mengambil semua uang kas yang dia punya dari bank dan menyimpannya sendiri. Hal ini terbukti dari adanya ketimpangan pajak di Indonesia karena orang-orang lebih memilih untuk menggunakan uang tunai dalam shadow economy, yaitu sistem jual beli yang menghindari pajak.Â
Selain itu, uang digital juga dapat mencegah terjadinya transaksi di pasar gelap, 'pencucian uang' dan kejahatan lainnya yang dapat terjadi akibat kesulitan pemerintah dalam melacak keberadaan uang tunai. Kekhawatiran keamanan ini merupakan kekhawatiran yang perlu diperhatikan, melihat kasus Panama Paper yang akhirnya hanya dapat dilacak akibat tidak dipakainya uang tunai dalam kejahatan tersebut sehingga pemerintah dapat melacak di mana uang tersebut berada. India, di mana underground economytelah menelan $460 miliar setiap tahun berencana untuk membatasi jumlah uang tunai yang beredar di masyarakat.
Jumlah pemakai internet di Indonesia
Oleh karena itu, masyarakat desa dan mereka yang masih belum mapan dalam ekonomi tidak akan dapat menerima manfaat uang elektronik justru uang elektronik akan merugikan mereka karena semakin banyak orang yang menggunakan uang elektronik dan meninggalkan uang tunai, semakin sulit bagi mereka untuk melakukan transaksi karena mereka hanya dapat bertransaksi dengan uang tunai, terutama dalam nominal yang kecil. Hal inilah yang terjadi di India ketika Narendra Modi menarik uang tunai 500 dan 1000 Rupee.Â