Peraturan ini membawa dampak buruk bagi India menghilangkan 86% dari uang yang beredar. Hal ini langsung menyebabkan kepanikan dalam masyarakat, mereka langsung menghabiskan uang mereka secepat mungkin sebelum tanggal tidak berlakunya nominal uang tersebut. Terjadi antrean panjang di mana-mana untuk membeli barang atau menaruh uang tunai di bank hingga dilaporkan 82 orang tewas akibat antrean tersebut. Ekonomi India juga menjadi terhambat dengan turunnya angka PDB hingga 6.1% di Januari- Maret 2017.Â
Redupnya ekonomi dapat dikaitkan dengan banyak lapisan masyarakat yang masih bergantung dengan uang tunai seperti pedagang kaki lima, toko retail dan mereka yang masih belum memiliki kapital yang cukup untuk menikmati financial service.Â
Selain sistem ekonomi yang tidak inklusif, terdapat juga kekhawatiran keamanan. Dalam era di mana teknologi semakin canggih, kejahatan yang terjadi juga semakin canggih. Baru saja kurang dari setahun yang lalu, Equifax sebuah perusahaan kredit di Amerika Serikat dibobol tetapi tidak secara fisik melainkan secara digital.Â
Semua data klien dicuri oleh hacker dan hal tersebut mengganggu sistem pembayaran yang ada., Segala sesuatu yang berbentuk digital baik data ataupun sebuah sistem, sangat rentan untuk di hacksehingga bagi konsumen, uang tunai lebih aman dibandingkan dengan uang elektronik.
Masalah terakhir adalah praktik oligopoli yang dapat dilakukan oleh bank. Uang elektronik membutuhkan biaya infrastruktur yang mahal. Bank BCA mengaku bahwa penggunaan uang elektronik justru merugikan bank tersebut karena harus menyediakan kartu dan juga mesin pembaca kartu namun. Oleh karena itu, bank mengalihkan biaya infrastruktur ini kepada konsumen baik melalui biaya top up ataupun melalui pembelian kartu prabayar untuk pertama kalinya, misalnya Bank Mandiri menetapkan harga kartu e-money sebesar Rp20.000.Â
Sementara ini, polemik top-up kartu telah diselesaikan oleh Bank Indonesia dengan membatasi biaya top-up sebesar Rp1.500,- Bank dapat melakukan apa pun yang menguntungkan mereka dengan semena-mena karena konsumen tidak memiliki banyak pilihan untuk memilih uang elektronik yang ingin mereka pakai sedangkan uang elektronik sudah menjadi sesuatu yang dianggap harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Jika kita melihat negara lain, kebanyakan uang elektronik tidak mengharuskan biaya tambahan ketika men top-up kartu prabayar pelanggan mereka. Di Jepang, kartu Suica tidak terdapat biaya tambahan isi ulang.Â
Begitu juga dengan Oyster Card di Inggris. Harga Oyster carddibanderol 5 per kartu, namun bisa di-refund dan bisa diisi ulang. Melihat kedua contoh ini, peraturan yang diadakan oleh bank komersial sangat berkontradiksi dengan usaha pemerintah untuk mewujudkan masyarakat tanpa uang tunai.
Masyarakat tanpa uang tunai memiliki kelebihan dan kekurangan. Perubahan ini tidak hanya mempengaruhi satu aktor melainkan berbagai aktor mulai dari konsumen, produsen, dan pemerintah. Dalam jangka pendek, Indonesia masih belum siap untuk menghilangkan uang tunai namun, ketika infrastruktur Indonesia sudah merata, Indonesia dapat mencoba menjadi masyarakat tanpa uang tunai seperti Swedia di mana ekonomi negara tersebut sudah maju dan infrastrukturnya sudah lengkap.Â
Tanggung jawab pemerintah yang paling besar adalah memastikan seluruh masyarakat dapat ikut serta dalam sistem ekonomi, jangan sampai mimpi untuk menjadi cashless society melalaikan tanggung jawab tersebut.
Oleh Safira Majory -- Staf Kajian Kanopi FEB UI 2017