Bruce Sacerdote adalah tokoh yang gigih membuktikan hipotesis tersebut. Penelitiannya menggunakan metode nature-nurture studyyang mencoba mendikotomi efek alamiah dengan efek buatan. Untuk itu, ekonom Universitas Dartmouth ini bertahun-tahun memburu data tentang adopsi yang dapat menjelaskan apakah anak yang diadopsi oleh orang tua angkat secara acak dapat dipengaruhi perilaku dan performa akademiknya.
Penelitian yang ia lakukan membuktikan bahwa anak yang diadopsi oleh orang tua angkat dengan pendidikan tinggi memiliki kemungkinan 7 persen untuk lulus dari perguruan tinggi, sementara anak yang dibesarkan oleh orang tua biologis dengan tingkat pendidikan yang sama memiliki kemungkinan 26 persen [5]. Ia menyimpulkan bahwa intervensi pola asuh orang tua pada anak tidak memiliki pengaruh signifikan, bahkan seiring anak bertambah usia, koefisiennya mendekati nol. Singkatnya, Sacerdote ingin menyampaikan bahwa faktor genetika ternyata memegang peranan lebih penting.
Ketiga, fenomena helicopter parents yang semakin ramai dalam dua dekade terakhir memang kadang membuat kita mengernyitkan dahi. Pola asuh yang memberikan perlindungan dan pengawalan ekstra pada anak ini dinilai sangat berlebihan, setidaknya bagi para ekonom atau mereka yang mempelajari ilmu ekonomi.
Sebagai gambaran, FBI memiliki catatan statistik tentang penculikan yang dikenal dengan stereotypical kidnappings, yaitu penculikan yang dilakukan oleh orang asing dengan cara merebut anak dari orang tuanya dan menahannya berhari-hari. Akan tetapi, kasus seperti ini, menurut FBI hanya terjadi dalam rentang sekali dalam 100 hingga 200 tahun [6]. Kejadian seperti ini benar-benar seperti mencari jarum dalam jerami. Oleh karena itu, tidak masuk akal jika ada orang tua yang terlalu khawatir anaknya akan menjadi korban penculikan oleh orang asing sehingga harus menguntit ke mana pun sang anak pergi. Bagi ekonom, kekhawatiran ini hanya risiko yang dibuat-buat.
Di Amerika Serikat, alasan paling klise yang dilontarkan orang tua untuk melarang anaknya menginap di rumah teman atau orang lain adalah kekhawatiran akan risiko untuk tertembak. Namun, menurut ekonom, sebenarnya ada alasan lain yang perlu menjadi kekhawatiran para orang tua dan tentunya lebih masuk akal, yaitu: ada atau tidaknya kolam renang. Statistik menunjukkan bahwa jika seorang anak menghabiskan hari di sebuah rumah yang terdapat pistol dan kolam renang, peluang anak untuk mati akibat kolam renang adalah ratusan kali lipat dibanding akibat pistol [7].
Mari kembali ke pertanyaan awal, mengapa kita harus mendengarkan ekonom ketika berbicara mengenai pola asuh? Jawabannya adalah karena ekonomi mampu membantu para orang tua untuk membuat keputusan-keputusan yang lebih masuk akal dalam mengemban tugasnya sebagai pengasuh seorang anak manusia. Perlu digarisbawahi bahwa tulisan ini tidak sedang menyudutkan atau mengglorifikasikan salah satu strategi pola asuh. Namun, tulisan ini mencoba memberikan alternatif pilihan cara berpikir versi ilmu ekonomi. Sebab, ekonomi bukan sekadar persamaan-persamaan matematis atau dalil-dalil abstrak. Lebih dari itu, ia (seharusnya) mampu menjembatani perdebatan ihwal pola asuh, agar miliaran orang tua di bumi tidak terjebak dalam pergumulan tanpa ujung.
Menutup tulisan ini, mari menyimak kutipan dari seorang ekonom sekaligus ayah dari dua pasang anak kembar, Bryan Caplan:
"Instead of thinking of kids as lumps of clay that parents "mold," we should think of kids as plastic that flexes in response to pressure - and springs back to its original shape once the pressure goes away."
 Oleh Zihaul Abdi | Ilmu Ekonomi 2016 | Staf Divisi Kajian Kanopi 2017
Referensi:
[1] [2]Â [3]Â [4] [5] [6] [7]Â